Kesalahan Cina di Awal Pandemi Terungkap dari Bocornya Dokumen

Dokumen covid Corona China Bocor

Ngelmu.co – Bocornya sebuah dokumen mengungkap kesalahan Cina, dalam menangani masa kritis di awal pandemi. Salah satu poin penting, menunjukkan betapa lambatnya penanganan COVID-19.

Rata-rata waktu penanganan, sejak muncul gejala hingga diagnosis terkonfirmasi, dalam dokumen tertulis 23,3 hari.

Padahal, sebelumnya pihak berwenang di Hubei, mengatakan bahwa mereka telah melakukan penanganan wabah awal secara efisien dan transparan, kepada publik.

Tetapi tidak demikian dengan yang ada dalam bocoran dokumen resmi, yang beredar secara internal.

Dokumen itu berisi penanganan Cina, terhadap wabah virus Corona, tertulis ‘dokumen internal, harap dirahasiakan’.

Dokumen tersebut juga menunjukkan adanya kelemahan penanganan oleh pejabat kesehatan setempat.

Pasalnya, terdapat perbedaan angka antara yang diumumkan Cina, dengan jumlah kasus dalam dokumen.

Perbedaan Jumlah Kasus

Contoh pada awal pandemi, Cina, mengumumkan 2.478 kasus.

Namun, dalam dokumen justru terlapor total 5.918 kasus yang baru terdeteksi pada 10 Februari lalu.

Dua kali lipat lebih dari jumlah resmi yang pemerintah Cina, buka ke publik.

Bahkan, jumlah yang lebih besar ini tidak pernah sepenuhnya terungkap, karena sistem penghitungan Cina, nampak mengalami kekacauan, di pekan awal pandemi.

Tidak lain karena mereka diduga meremehkan tingkat keparahan wabah.

Jumlah-jumlah ‘rahasia’ itu tercantum dalam dokumen setebal 117 halaman.

Dokumen bocor dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Provinsi Hubei, lalu didapat serta diverifikasi oleh CNN.

Sejak awal pandemi, dokumen tersebut adalah kebocoran paling signifikan dari pihak internal Cina, secara keseluruhan.

Memberi gambaran jelas, tentang apa yang secara internal otoritas lokal ketahui.

Tetapi pemerintah Cina, sejauh ini menolak dengan tegas segala tuduhan Amerika Serikat (AS).

Begitu pun pemerintah negara Barat lainnya. Cina, membantah telah sengaja menyembunyikan informasi yang berkaitan dengan virus di awal pandemi.

Baca Juga: Terungkap Cara Cina Kelola Kamp di Xinjiang, “Tak Ada Belas Kasih”

Dokumen bocor itu memang tidak memberikan bukti adanya upaya kesengajaan untuk mengaburkan temuan virus Corona.

Tetapi dokumen tersebut, mengungkap banyak ketidakkonsistenan, dari yang diumumkan ke publik, juga yang diketahui pihak berwenang.

Dokumen itu mencakup periode yang tidak lengkap, antara Oktober 2019-April 2020.

Dokumen bocor tersebut juga mengungkapkan bahwa birokrasi atas-bawah (top-down), telah membatasi sistem perawatan kesehatan yang tidak fleksibel.

Termasuk prosedur kaku yang tidak memadai untuk menangani krisis.

Cina, terus berupaya membela penanganan wabah, sebagaimana dalam konferensi pers, 7 Juni lalu.

Dewan Negara Cina, merilis Buku Putih, berisi penuturan bahwa pemerintahannya selalu menerbitkan informasi terkait pandemi secara ‘tepat waktu, terbuka, dan transparan’.

“Sambil berusaha sekuat tenaga untuk membendung virus, Cina, juga bertindak dengan rasa tanggung jawab yang tinggi.”

“Terhadap kemanusiaan, rakyatnya, keturunannya, dan komunitas internasional.”

“Cina, telah memberikan informasi tentang COVID-19 secara profesional dan efisien, menyeluruh.”

“Cina, telah merilis informasi otoritatif dan rinci sedini mungkin, secara teratur, sehingga efektif menanggapi perhatian publik dan membangun consensus publik.”

Setidaknya, demikian yang tertulis pada Buku Putih tersebut.

Belum Merespons

Mengutip CNN, pihaknya telah menghubungi Kementerian Luar Negeri Cina, Komisi Kesehatan Nasional, dan Komisi Kesehatan Hubei, untuk mengomentari temuan dokumen.

Namun, hingga penyusunan berita ini, belum juga mendapat tanggapan.

Di sisi lain, pakar kesehatan mengatakan, dokumen tersebut menjelaskan hal-hal penting yang Cina, ketahui pada masa awal.

“Banyak kasus yang dicurigai di sana, seharusnya dimasukkan ke dalam kasus-kasus yang dikonfirmasi,” kata pihak Dewan Hubungan Luar Negeri, Huang.

“Angka-angka yang mereka berikan, bersifat konservatif, ini mencerminkan betapa membingungkannya, kompleks, dan kacau situasinya,” sambungnya, usai meninjau dokumen-dokumen tersebut.

Ia, juga menganggapnya sebagai dokumen asli.

William Schaffner selaku Profesor Penyakit Menular di Vanderbilt University, juga menyampaikan komentar senada dengan Huang.

Ia, mengatakan pendekatan yang Cina ambil, terbilang konservatif.

Menurut Schaffner, penyajian data kasus akan berbeda, jika ahli epidemiologi AS, berada di sana, untuk ikut membantu.

Andrew Mertha, Direktur Program Studi China di Universitas Johns Hopkins, juga buka suara.

Ia, mengatakan para pejabat Cina, mungkin termotivasi untuk ‘merendahkan’ angka kasus, menutupi masalah kekurangan dana dan kesiapsiagaan, di badan perawatan kesehatan lokal.

Sebab, pada pertengahan Februari, para pejabat Cina, segera memperbaiki sistem pelaporan dengan menempatkan kasus yang ‘terdiagnosis secara klinis’, ke dalam kategori ‘terkonfirmasi’.

Perbedaan Paling Mencolok

Namun, jumlah korban tewas yang tercantum dalam dokumen, justru mengungkapkan perbedaan paling mencolok.

Pada Sabtu, 7 Maret lalu, total korban tewas di Hubei–sejak awal wabah–mencapai 2.986 orang.

Tetapi dalam laporan internal, terdaftar sebanyak 3.456.

Dengan rincian 2.675 kematian yang terkonfirmasi, 647 kematian ‘didiagnosis secara klinis’, dan 126 kasus kematian yang ‘dicurigai’.

Pada Februari, Dali Yang–Profesor Ilmu Politik di Universitas Chicago–mengatakan angka ‘masih penting karena persepsi global’.

“Mereka masih berharap (wabah) itu seperti tahun 2003, dan seperti Sindrom Pernapasan Akut Parah (SARS), pada akhirnya akan dapat diatasi, dan semuanya dapat kembali normal.”

Demikian pendapatnya, setelah mempelajari secara ekstensif asal-muasal wabah.

Pernyataan itu, juga Dali sampaikan, merujuk pada panggilan 7 Februari, antara Presiden Xi Jinping, dan Presiden Donald Trump.

“Saya pikir itu juga kesan (angan-angan) yang Trump miliki, bahwa (wabah) ini akan menghilang,” pungkas Dali.