Berita  

Ketika Tokoh-Tokoh PKS Bersuara Tidak Adanya KH Hasyim Asy’ari di Kamus Sejarah Indonesia

PKS Kamus Sejarah Indonesia Hasyim Asyari

Ngelmu.co – Menghilangnya nama pendiri NU KH Hasyim Asy’ari dari Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, terus membuat para tokoh PKS, bersuara.

Tak hanya mengkritik, PKS juga meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menarik kamus tersebut dari peredaran.

HNW

Hidayat Nur Wahid (HNW) yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI, misalnya.

Melalui akun Twitter pribadinya, @hnurwahid, ia menyoroti persoalan baru yang lahir dari Kemendikbud.

“Setelah hilangnya frasa agama, Pendidikan Pancasila, sekarang muncul masalah baru dari Kemendikbud, [tepatnya dari] yang membuat Kamus Sejarah Indonesia [Jilid I],” kritik HNW.

“Karena menghilangkan peran KH Hasyim Asy’ari [yang merupakan] pahlawan nasional [sekaligus] pendiri NU,” imbuhnya.

“[Kamus tersebut] Malah menyebut tokoh-tokoh PKI, seperti Semaun, DN Aidit, dan lain-lain,” sambungnya lagi.

Keberatan dengan temuan ini, HNW pun meminta, agar Kemendikbud segera menarik kamus terkait, dan merevisinya.

Jazuli Juwaini

Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini juga buka suara.

Ia menilai, menghilangnya nama KH Hasyim Asy’ari sebagai keteledoran, serta menunjukkan ketidakpahaman tim penyusun tentang sejarah bangsa.

Menurut Jazuli, jika terbukti sengaja, sama artinya penyusun telah mengkhianti sejarah bangsa.

“Seluruh anak bangsa harus paham secara utuh sejarah bangsa Indonesia,” tegasnya, Selasa (20/4) kemarin.

“Tidak boleh ada yang memutus mata rantai sejarah perjalanan bangsa,” sambung Jazuli.

“Kalau hal ini disengaja, merupakan pengkhianatan terhadap sejarah,” lanjutnya lagi.

Ia pun meminta Kamus Sejarah Indonesia Jilid I segera ditarik dari peredaran karena bisa menyesatkan anak bangsa.

Sebab, bagi Jazuli, sebagai pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari harus masuk dalam dokumen sejarah mana pun.

Sosoknya luar biasa berperan, baik pada masa penjajahan, hingga Indonesia berhasil meraih kemerdekaan.

“Hadratus Syekh Hasyim, sebagai pendiri NU dengan resolusi jihadnya yang terkenal, mampu membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia.”

“Begitu juga perannya sebagai rujukan, ketika bangsa ini membentuk dasar negara dan konstitusi bernegara.”

“Jangan putus mata rantai sejarah tersebut. Jangan lupakan jasa ulama besar bangsa ini,” pesan Jazuli.

Bukhori Yusuf

Anggota Komisi VIII DPR RI F-PKS Bukhori Yusuf juga menyesalkan temuan ini.

Di matanya, tim penyusun telah gegabah, sehingga mengabaikan kaidah historiografi bangsa yang objektif.

Bukhori menekankan, bahwa kiprah ulama pun para tokoh Islam lainnya, berhak mendapat kedudukan proporsional.

Pasalnya, secara sah, keberadaan mereka telah mewariskan sumbangsih yang signifikan dalam upaya pendirian republik ini.

“Insiden ini sangat fatal, dan harus disikapi serius,” ujar Bukhori, Selasa (20/4).

Jika ada upaya melenyapkan profil KH Hasyim Asy’ari, sambungnya, sama saja dengan perilaku ahistoris dan kontraproduktif bagi pengembangan wawasan kebangsaan.

“Tidak cukup sampai di situ. Minimnya porsi ulama dalam narasi sejarah juga mengindikasikan historiografi kita yang diskriminatif dan kolonialistik.”

Penghapusan nama KH Hasyim Asy’ari dari memori intelektual, menurut Bukhori, juga merupakan pengkhianatan terhadap amanat Bung Karno.

Sebab, Presiden pertama RI iu berpesan untuk jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Hal ini juga seperti bentuk pengabaian terhadap peran umat Islam, dalam mendirikan serta mempertahankan negara.

Bukhori juga mengkritik lebih lanjut, penulisan sejarah Indonesia yang tertuang dalam buku formal sekolah.

Menurutnya, tak jarang berwatak Belanda-Sentris atau Eropa-Sentris, sehingga kurang kritis secara metodologi.

“Fenomena ini, akhirnya membuat kita datang pada suatu kesadaran untuk meninjau kembali historiografi Indonesia,” kata Bukhori.

“[Historiografi Indonesia] yang tertuang dalam buku-buku formal di sekolah, di mana sedikit sekali mengungkap peran ulama dan santri dalam perjuangan penegakan kedaulatan, hingga mempertahankan NKRI.”

Historiografi Harus Kritis dan Objektif

Sebagai negara berketuhanan, kata Bukhori, Indonesia, jelas tidak sepenuhnya kompatibel dengan narasi sejarah sekularisme [sebagaimana dituliskan oleh para sejarawan barat dan orientalis].

“Bukan berarti kita antiterhadap narasi sejarah yang dituliskan mereka, tetapi cukup dimaknai sebagai pengayaan khazanah,” ucapnya.

“Sementara historiografi kita, harus dibangun dari kajian yang kritis, referensi yang kuat, dan penulisan yang objektif,” sambung Bukhori.

“Dengan tidak mengesampingkan peran umat Islam, sebagai salah satu isu krusialnya.”

Sebab, kata Bukhori, narasi sejarah akan membentuk kepribadian bangsa.

“Kita perlu adil sejak dalam pikiran. Termasuk pengakuan kita secara jujur, bahwa para ulama dan santri adalah domain penting dalam historiografi Indonesia.”

Fahmy Alaydroes

Fahmy Alaydroes yang juga Anggota Komisi X DPR RI F-PKS, mengkritik, “Baru saja melalaikan kurikulum Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam PP 57/2021.”

“Kini, Kemendikbud, menghilangkan nama pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari [dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang diterbitkannya].”

Padahal, kata Fahmy, KH Hasyim Asy’ari punya peran besar dan penting dalam sejarah.

“Beliau yang menggelorakan semangat perlawanan umat Islam [Resolusi Jihad Fisabilillah] melawan pasukan Belanda dan Inggris yang mau kembali menjajah Indonesia.”

Maka di matanya, hal ini bukan kesalahan biasa, “Pertama, nama beliau terlalu besar ketokohan dan jasanya untuk dilupakan.”

Kedua, kata Fahmy, terlalu naif untuk lembaga sekelas Kemendikbud, ceroboh soal ini.

“Ketiga, yang menimbulkan pertanyaan publik, mengapa kesalahan-kesalahan yang dilakulan tim Kemendikbud di bawah pimpinan Nadiem, kerap dilakukan terhadap issue yang sangat mendasar dan sensitif?”

Apalagi di tengah suasana bangsa yang masih ‘meradang’, Kemendikbud telah beberapa kali melakukan kesalahan.

Isunya pun lekat dengan prinsip dan poin-poin sensitif. “Sungguh sangat disayangkan. Semoga menjadi peringatan dan pembelajaran,” tutup Fahmy.

Polemik Kamus Sejarah Indonesia Jilid I

Kamus Sejarah Indonesia Jilid I [339 halaman] menjadi polemik, karena ketika nama KH Hasyim Asy’ari tidak tercantum, justru muncul sejumlah nama tokoh komunis.

Seperti profil Henk Sneevliet yang tersemat pada halaman 87.

Sosok yang tak lain adalah pendiri Indische Social-Democratische Vereniging (ISDV), organisasi kiri, partai komunis pertama di Asia.

Kamus tersebut juga mengulas profil Raden Darsono Notosudirjo (Darsono), di halaman 51.

Tokoh Sarekat Islam (SI) yang pernah menjabat sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 1920-1925.

Begitu juga dengan profil Semaoen, Ketua PKI [semula ISDV] yang ada di halaman 262. Ia adalah aktivis komunis, sekaligus pimpinan aksi PKI [1926].

DN Aidit yang juga pernah menjabat sebagai Ketua PKI pun masuk dalam Kamus Sejarah tersebut, tepatnya di halaman 58.

Siapa Aidit? Pembawa PKI sebagai partai terbesar keempat di Indonesia, pada Pemilu 1955.

Sekaligus menjadikan partai komunis terbesar ke-3 di dunia, setelah Rusia dan Cina.

Tak heran jika berbagai pihak protes dan mengkritik keras temuan ini.

Pasalnya, ketika nama KH Hasyim Asy’ari luput dari penulisan, mengapa tokoh-tokoh PKI justru ditampilkan?

Penjelasan Kemendikbud

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, menjelaskan soal Kamus Sejarah yang terunggah di situs Rumah Belajar Kemendikbud, sejak 2019 lalu itu.

Kemendikbud Kemdikbud Kamus Sejarah Hasyim Asyari NU Circle
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid. Foto: Instagram/hilmarfarid

“Terjadi keteledoran, yang mana, naskah yang belum siap, kemudian diunggah ke laman Rumah Belajar,” tutur Hilmar, Selasa (20/4).

“Naskah yang sebenarnya belum siap [itu] ikut masuk dalam proses penyertaan pemuatan buku tersebut, di website,” sambungnya.

Hilmar pun tak menampik kesalahan teknis dalam penyusunan kamus.

Baca penjelasan selengkapnya, di sini: Kemendikbud Tarik Kamus Sejarah Tanpa Nama KH Hasyim Asy’ari