Konsistensi Republik Indonesia Dukung Perjuangan Palestina

Indonesia Dukung Perjuangan Palestina

Ngelmu.co“Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia, harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Demikian bunyi pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 19945.

Maka wajar jika simpati Indonesia tertuju kepada Palestina; bangsa yang belum merdeka hingga saat ini.

Era Sukarno

Sejak era Presiden Sukarno, Indonesia menempatkan posisi sebagai pendukung Palestina, sekaligus mengecam tindakan sewenang-wenang Israel.

Dalam artikelnya untuk jurnal Global and Strategies (2013), M Muttaqien, menjelaskan, ada dua hal yang menjadi konsen Indonesia terhadap Palestina.

Pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia.

Maka Yerusalem–yang berlokasi di Palestina–menjadi isu penting, lantaran statusnya sebagai tanah suci ketiga dalam ajaran Islam.

Kedua, Indonesia mengikuti komunitas internasional pada umumnya yang menganggap konflik Palestina-Israel, sebagai isu sentral untuk mengupayakan perdamaian di Timur Tengah.

Atas dasar ini, Indonesia selalu menjalankan politik luar negeri yang menginginkan solusi damai, sekaligus dukungan terhadap perjuangan Palestina merdeka.

Pada masa pemerintahan Sukarno, Indonesia sempat menjadi sorotan dunia, karena menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang pertama di Bandung (1955).

Dalam perhelatan ini, Sukarno menegaskan keberpihakannya terhadap bangsa Palestina; dengan cara tidak mengundang Israel.

Sang proklamator RI itu menilai, rezim zionis tersebut merupakan bagian dari kolonialisme atas bangsa-bangsa Asia dan Afrika.

Menurut Muttaqien, politik luar negeri Sukarno, seputar isu-isu Asia Barat berpihak pada Pan-Arabisme yang dipunggawai sahabatnya dalam Kubu non-Blok, Gamal Abdel Nasser.

Dengan gerakan tersebut, ada harapan bahwa bangsa Arab, bersatu untuk mengusir kolonialisme Eropa dari Asia Barat dan Afrika Utara.

Hasil Nyata Penjajahan

Sukarno memandang, pembentukan Israel, tidak lain sebagai satu hasil nyata penjajahan Eropa yang masih bercokol di Asia; usai Perang Dunia II.

Alasannya, entitas Yahudi itu eksis dengan jalan mencaplok tanah milik bangsa Palestina.

Solidaritas Indonesia terhadap Palestina dan negara-negara Arab, pada umumnya juga terjadi ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games; September 1962.

Indonesia tidak memberikan visa kepada para atlet Israel.

Presiden Sukarno, konsisten dengan kebijakan ini meskipun dengan konsekuensi bahwa Komite Olimpiade Internasional (KOI), tidak mengizinkan Indonesia mengikuti gelaran Olimpiade berikutnya.

Tegas dan Kukuh

Sosok berjulukan ‘penyambung lidah rakyat’ itu juga menolak imbauan KOI, agar Indonesia meminta maaf, lantaran dituding melakukan diskriminasi politis.

Alih-alih menggadaikan sikap anti-penjajahan, Sukarno justru terbilang sukses dengan menggelar ajang tandingan Olimpiade, yakni Games of New Emerging Forces (GANEFO) di akhir 1962.

Ketegasan sikap resmi Indonesia itu tentunya tidak lepas dari aspek historis hubungan internasional dengan negara-negara Arab.

Seperti diketahui, Indonesia memperoleh kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Tidak lama setelahnya, negara-negara Arab seperti Mesir, Lebanon, Suriah, dan Arab Saudi, mengakui kedaulatan Indonesia pada 1947.

Setahun kemudian, Yaman juga mengakui hal yang sama.

Baca juga:

Keberpihakan negara-negara Arab waktu itu dipandang penting untuk menegaskan posisi Indonesia dalam forum-forum internasional.

Misalnya, terkait status Irian Barat yang masih dikuasai Belanda.

Adapun Israel, mengakui kemerdekaan Indonesia pada Januari 1950, atau setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RI.

Di satu sisi, ‘tertinggalnya’ Israel ini cukup beralasan, karena entitas Yahudi tersebut baru terbentuk pada 1948.

Namun, di sisi lain, tidak ada signifikansi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Israel.

Presiden dan perdana menteri Israel–kala itu–Chaim Weizmann dan David Ben-Gurion, sempat mengirimkan surat telegram resmi kepada Sukarno dan Hatta.

Dua pemimpin nasional kita itu pun menanggapinya dengan dingin.

Wapres Hatta hanya menjawabnya dengan terima kasih, tanpa sedikit pun menyinggung keinginan yang diharapkan Weizmann dan Ben-Gurion, yakni RI mengakui Israel sebagai negara berdaulat.

Lebih lanjut, menteri luar negeri Israel–saat itu–Moshe Sharett, meminta kepada Hatta agar Israel, dibolehkan mengirimkan misi diplomatik ke Jakarta.

Namun, Hatta mengimbau Sharett, agar menunda keinginan ini tanpa menyebut batas waktu.

Era Soeharto

Ketegasan sikap RI, berlanjut di zaman pemerintahan Soeharto. Di masa Orde Baru, Indonesia masih mendukung perjuangan bangsa Palestina.

Sekaligus mengecam Israel sebagai entitas penjajah.

Namun, sedikit berbeda dengan rezim Sukarno, penguasa Orde Baru, tidak langsung berkonfrontasi dengan Israel.

Menurut Muttaqien, Presiden Soeharto lebih menyukai upaya-upaya mediasi untuk menyudahi konflik Palestina-Israel.

Di samping itu, Orde Baru juga diketahui lebih berpihak pada Barat, utamanya dalam soal ekonomi dan politik keamanan.

Maka itu–misalnya–ketika negara-negara Arab, melakukan embargo minyak kepada Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Indonesia tidak dalam posisi mendukung langkah ini.

Sebab, pada 1970-an, ekonomi Indonesia masih bertumpu pada sektor migas yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing asal Barat.

Sebagai bukti pragmatisme Orde Baru, Muttaqien mengutip fakta ketika OPEC, menyepakati kenaikan harga minyak ekspor hingga 10 persen pada Oktober 1975.

Sebagai anggota OPEC, Indonesia saat itu hanya menaikkan harga komoditas tersebut 1,6 persen.

Meskipun kemudian sempat menjadi 10 persen; setelah konferensi OPEC di Doha, Qatar pada Desember 1976.

Di zaman Orde Baru pula, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) terbentuk (1967).

Namun, menurut Muttaqien, Presiden Soeharto, terbilang telat untuk mengizinkan pendirian kantor perwakilan PLO di Jakarta.

Menlu RI–saat itu–Adam Malik, baru memberikan izin pada 1974; setelah pertemuan puncak Liga Arab berlangsung di Rabat, Maroko.

Di mana salah satu hasilnya, mengakui PLO sebagai satu-satunya organisasi yang merepresentasikan rakyat Palestina.

Di saat yang bersamaan, PBB juga mengakui kepemimpinan Yasser Arafat atas PLO.

Pemimpin besar Palestina itu pada 1993, mengunjungi Jakarta, dan Presiden Soeharto menyambut baik.

Era BJ Habibie

Selepas lengsernya Orde Baru, kepemimpinan Presiden BJ Habibie, kurang begitu tampil mengenai upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Sebab, menurut Muttaqien, dalam masa pemulihan demokrasi ini, Indonesia masih konsen pada isu-isu seputar hak asasi manusia, khususnya di Timor Timur.

Pemerintah Indonesia, lebih berfokus pada persoalan dalam negeri, khususnya untuk menjaga situasi kondusif; setelah Kerusuhan 1998.

Bagaimanapun, dukungan terhadap Palestina, tetap mengalir dari rakyat Indonesia.

Era Gus Dur dan Megawati

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri, isu Palestina, kembali hangat.

Secara keseluruhan, dua rezim ini masih menegaskan posisi Indonesia sebagai pendukung kemerdekaan Palestina.

Indonesia juga mendukung penerapan solusi dua negara yang di dalamnya, Israel harus mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.

Saat Gus Dur berkuasa, RI sempat diwacanakan akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Pelbagai protes pun segera tertuju pada wacana ini.

Namun, Menlu–saat itu–Alwi Shihab, menegaskan, komitmen Indonesia untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel; hingga entitas Yahudi itu mengakui kedaulatan Palestina.

Era SBY

RI konsisten. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), masih menunjukkan keberpihakan pada Palestina.

Sekalipun Indonesia pada saat itu cenderung dekat dengan AS, SBY menegaskan sikapnya terkait kedaulatan Palestina.

Pada 2006, Hamas memenangi pemilihan umum di Palestina.

Negara-negara Barat merespons dengan menjatuhkan boikot kepada Palestina, karena memandang Hamas sebagai organisasi teroris.

Namun, Menlu RI–saat itu–Nur Hassan Wirajuda, mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia, menghormati pilihan rakyat Palestina yang tersalurkan via jalan demokratis tersebut.

Berbeda dengan Barat, Indonesia memandang Hamas, mampu menyelenggarakan pemerintahan yang baik; sembari ikut memperjuangkan Palestina merdeka.

Era Jokowi

Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi)–yang hampir genap dua periode–Indonesia juga teguh dalam sikap membela kedaulatan Palestina.

Misal, Jokowi mengecam klaim Presiden AS–kala itu–Donald Trump yang merestui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Pernyataan-pernyataan kepala negara–baik langsung maupun diwakili menteri–di pelbagai forum dunia juga menegaskan posisi Indonesia yang mendukung penyelesaian damai antara Palestina-Israel.

Indonesia akan terus konsisten mendukung Palestina!