Berita  

Mengenal Kebijakan Darurat Sipil yang Pernah Megawati Terapkan di Aceh

Megawati Terapkan Kebijakan Darurat Sipil

Ngelmu.co – Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, pernah menerapkan status darurat sipil di Aceh, pada 2004 silam. Kini, Presiden Joko Widodo, disebut akan menerapkan hal yang sama, setelah memburuknya kondisi Indonesia dalam menghadapi wabah virus Corona (COVID-19). Lantas, seperti apa darurat sipil yang belakangan kerap dibicarakan?

Sebelumnya, kita ulas lebih dulu, bagaimana Megawati (Mega), mengumumkan penurunan status Aceh, dari darurat militer ke darurat sipil.

Penurunan status tersebut, dilakukan melalui Keppres nomor 43 Tahun 2004, yang berlaku mulai tanggal 19 Mei 2004, pukul 00.00 WIB.

“Saya, hari ini, Selasa 18 Mei 2004, telah mengambil keputusan, mengubah status bahaya dengan tingkat darurat militer ke tingkat darurat sipil. Keputusan tersebut saya tuangkan dalam Keppres nomor 43 Tahun 2004, dan akan berlaku terhitung mulai pukul 00.00 WIB tanggal 19 Mei,” demikian pernyataan Mega, dalam pidatonya di Istana Negara, Jl veteran, Jakarta Pusat.

Saat itu, Mega didampingi oleh Menkopolkam ad interim, Hari Sabarno dan Sesneg, Bambang Kesowo.

Dalam pidatonya, Mega mengatakan, keputusan tersebut diambil setelah mencermati perkembangan keadaan di Aceh, dari waktu ke waktu.

“Sekarang kita menyaksikan keadaan telah berbeda dengan tahun lalu, gangguan keamanan berkurang, Pemilu 5 April lancar, ancaman pemisahan diri telah dipatahkan TNI/Polri. Sisa-sisa kekuatan akan terus dikejar. Acaman kekerasan, senjata menipis, kegiatan ekonomi pulih, aktivitas pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten, kota, sampai desa berjalan lancar,” kata Mega.

Sejak saat itu, Indonesia belum pernah lagi menggunakan kebijakan Darurat Sipil.

Kini, Jokowi meminta, agar dilakukan kebijakan pembatasan sosial dalam skala besar, demi menanggulangi persebaran virus Corona. Pembatasan sosial skala besar, akan diiringi dengan kebijakan darurat sipil.

“Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi, sehingga tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” tuturnya, di Istana Bogor, Senin (30/3).

Menurut Jokowi, kedua kebijakan itu saling bertautan. Tanpa darurat sipil, maka kebijakan pembatasan sosial berskala besar, tak akan berjalan dengan baik.

Namun, pertanyaan yang sekarang muncul adalah, apa itu pembatasan berskala besar dan darurat sipil? Apakah Indonesia memiliki dasar hukum untuk melakukan dua kebijakan yang cukup ekstrem tersebut?

Pembatasan Sosial Skala Besar

Indonesia memiliki instrumen hukum, yakni pada Undang-undang No. 6 Tahun 2018, tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya di Pasal 1 Ayat (11). Beleid itu berbunyi:

“Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran atau kontaminasi.”

Namun, UU tersebut, membutuhkan peraturan pemerintah (PP), untuk bisa di-implementasikan ke tingkat pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota. PP yang saat ini sedang disiapkan oleh pemerintah.

“Sebagai panduan bagi provinsi, kabupaten/kota, sehingga mereka bisa kerja,” kata Jokowi.

Darurat Sipil

Kapan Indonesia bisa dikatakan masuk dalam Darurat Sipil? Jika merujuk pada Pasal 1 ayat (1), disebut tiga hal yang dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat:

1. “Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia, terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan, atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.”

2. “Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun juga.”

3. “Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus, ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.”

Sekarang, apa yang bisa dilakukan seorang penguasa, saat kondisi darurat? Dilansir kabar24.bisnis.com, terdapat tiga pasal yang mengaturnya:

Pasal 18

Ayat (1) Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan, harus diminta-izin terlebih dahulu.

lzin ini oleh Penguasa Darurat Sipil diberikan penuh atau bersyarat. Yang dimaksud dengan rapat-rapat umum dan pertemuan-pertemuan umum adalah rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum.

Ayat (2) Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa waktu tertentu.

Pasal 19

Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.

Pasal 20

Penguasa Darurat Sipil berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain.

Baca Juga: Istana Beberkan 5 Syarat Keringanan Cicilan Kredit, Publik Merasa Kena Prank

Artinya, jika nantinya Indonesia benar-benar menerapkan kebijakan Darurat Sipil, setiap warga harus siap dan rela, pergerakannya menjadi dibatasi dan diawasi.

Jelas, wacana penerapan kebijakan ini terus mendapat pertentangan dari berbagai pihak, termasuk para pengamat dan ahli di bidang terkait.