Ngelmu.co – Menteri PAN-RB [Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi] Tjahjo Kumolo, mengaku harus kehilangan banyak PNS [pegawai negeri sipil] pintar di lingkungannya, karena mereka terpapar radikalisme.
“Kami banyak kehilangan orang-orang pintar yang seharusnya bisa duduk di eselon 1, eselon 2, bisa Jadi Kepala Badan atau lembaga.”
“Tapi dalam TPA [Tes Potensi Akademik], ia terpapar dalam masalah radikalisme terorisme. Ini tanpa ampun.”
Demikian kata Tjahjo, saat menjadi penanggap rilis LSI [Lembaga Survei Indonesia], bertajuk, ‘Tantangan Reformasi Birokrasi: Persepsi Korupsi, Demokrasi, dan Intoleransi di Kalangan PNS‘.
“Kami sudah ada datanya semua, lewat media sosialnya yang ia pegang. Kedua, lewat PPATK [Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan], dan sebagainya,” imbuhnya, Ahad (18/4) kemarain.
Menurut Tjahjo, hal ini harus dicermati bersama, “Saya masih cukup sedih. Hampir setiap bulan, saya memutuskan dalam sidang kepegawaian.”
“Masih ada saja PNS yang harus saya non-job-kan atau saya berhentikan. Mereka punya paham radikalisme dan terorisme,” sambungnya.
“Ia juga tidak memahami area rawan korupsi, pengguna narkoba dan pengedar. Itu sebagian kecil PNS kita yang harus dicermati bersama,” lanjutnya lagi.
Di sisi lain, LSI justru memaparkan hasil survei yang menilai toleransi di lingkungan PNS, telah membaik.
Mendengar hal tersebut, Tjahjo pun mengamini. Ia menilai produktivitas ASN selama tiga tahun terakhir, cukup membaik.
“Saya kira, di kementerian atau lembaga, tidak mempersoalkan agama apa, suku apa, tetapi semua diukur dari kepantasan dan sistem merit,” tuturnya.
“Ini reformasi birokrasi yang diinginkan Pak Jokowi,” beber politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Masalah radikalisme, sambung Tjahjo, menjadi perhatian serius KemenPAN-RB.
“Dalam berbagai kesempatan, saya selalu menyampaikan bahwa terdapat tantangan utama yang saat ini dihadapi oleh bangsa Indonesia,” ujarnya.
“Yaitu radikalisme, narkoba, area rawan korupsi, dan bencana alam,” jelas Tjahjo.
Namun, ia telah mengeluarkan lima kebijakan untuk menangani persoalan PNS, khusus radikalisme.
“Dalam beberapa tahun ini, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait dengan sosialisasi pencegahan dan penanganan intoleransi serta radikalisme,” ungkap Tjahjo.
Adapun lima kebijakan yang dimaksud:
Pertama, SE MenPAN-RB 137/2018 tentang Penyebarluasan Informasi melalui Media Sosial bagi ASN, di antaranya mengatur delapan hal yang harus diperhatikan oleh ASN dalam menggunakan sosial media.
Kedua, Rilis BKN Nomor 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN.
Ketiga, SKB [Surat Keputusan Bersama] 11 instansi pemerintah, yaitu:
- KemenPANRB,
- Kemendagri,
- Kemenag,
- Kemendikbud,
- Kemenkominfo,
- Kemenkumham,
- BNPT,
- BIN,
- BKN,
- BPIP, dan
- KASN.
Tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada 12 Aparatur Sipil Negara.
Dengan substansi utama yang diatur pada SKB tersebut meliputi:
- Membangun sinergitas dan koordinasi kementerian/lembaga dalam rangka penanganan tindakan radikalisme ASN;
- Membentuk Tim Satgas dalam rangka penanganan tindakan radikalisme ASN yang meliputi intoleransi, anti ideologi Pancasila, anti NKRI, dan menyebabkan disintegrasi bangsa;
- Setiap instansi pemerintah wajib melakukan pencegahan, pembinaan, pengawasan, dan penjatuhan sanksi terhadap perilaku radikalisme ASN sebagai bentuk optimalisasi pengawasan.
Keempat, SE 70/2020 tentang Pengelolaan Kegiatan Tempat Ibadah di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Kelima, SE Bersama MenPAN-RB dan Kepala BKN Nomor 2 Tahun 2021 dan Nomor 2/SE/I/2021 tentang Larangan bagi ASN untuk Berafiliasi Dengan dan/atau Mendukung Organisasi Terlarang dan/atau Organisasi Kemasyarakatan yang Dicabut Status Badan Hukumnya yang mengatur larangan bagi ASN untuk terlibat dalam organisasi terlarang, pencegahan ASN, agar tidak terafiliasi dengan organisasi terlarang dan penindakannya.
Baca Juga:Â Menag Yaqut Harap Ikut Susun Materi Rekrutmen Demi Cegah PNS Radikal
Dalam SE bersama itu, pihaknya menyebut organisasi terlarang dan ormas yang telah dicabut status badan hukumnya, adalah:
- Partai Komunis Indonesia,
- Jemaah Islamiyah,
- Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar),
- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
- Jemaah Ansharut Daulah (JAD), dan
- Front Pembela Islam (FPI).
Organisasi terlarang serta ormas yang dicabut status badan hukumnya berdasarkan peraturan Undang-undang, keputusan pengadilan dan/atau keputusan pemerintah dinyatakan dibubarkan, dibekukan dan/atau dilarang melakukan kegiatan, karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Maka itu Tjahjo berharap, lima kebijakan tersebut dapat mencegah PNS, terpapar radikalisme.
Ia juga menyebut, lima kebijakan itu sebagai ikhtiar KemenPAN-RB untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.
Sementara dalam survei [3 Januari-31 Maret 2021], LSI mendapatkan sebanyak 76,9 persen PNS, mengaku tidak keberatan jika orang berbeda agama memimpin kementerian/lembaga/organisasi perangkat daerah.
Begitu pun dengan 78,9 Persen PNS yang juga tidak keberatan, jika orang berbeda agama menjadi kepala bagian/divisi.
Meskipun 15,1 persen PNS, tetap mengaku keberatan, jika orang berbeda agama menjadi pimpinan di kementerian/lembaga/organisasi perangkat daerah.
Begitu juga dengan 14,1 persen PNS yang keberatan, jika orang berbeda agama menjadi kepala bagian/divisi.
“Mayoritas responden tidak keberatan, jika orang yang berbeda agama menjadi kepala bagian/divisi, atau menjadi pimpinan K/L/Perangkat Daerah.”
Demikian papar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan, dalam kesempatan yang sama, Ahad (18/4) kemarin.