Berita  

Netizen Serang Balik Narasi Influencer yang ‘Kampanyekan’ Omnibus Law

Influencer Omnibus Law RUU Ciptaker
Aktivis Greenpeace memasang poster pada manekin saat aksi damai menolak pembahasan RUU Cipta Kerja di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020). Aksi tersebut menyerukan kepada pemerintah dan anggota DPR untuk tidak melanjutkan pembasan RUU Cipta Kerja, karena kurang berpihak kepada rakyat, lebih menguntungkan korporasi serta dinilai mengancam kelestarian lingkungan. (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)

Ngelmu.co – Belum lama ini, beberapa nama influencer ramai dibicarakan, karena dinilai ikut mengampanyekan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Tak tinggal diam, netizen pun ‘menyerang balik’ narasi yang sebelumnya mereka suguhkan ke publik.

Sebagaimana dibeberkan oleh pengamat media sosial dari Drone Emprit, Ismail Fahmi, melalui akun Twitter-nya, @ismailfahmi.

Kampanye untuk mendukung RUU Ciptaker, menurutnya, berawal dari Instagram.

Dimulai sejak 10-12 Agustus, melalui unggahannya, para influencer meminta masyarakat mendukung RUU Ciptaker; solusi pemerintah untuk masalah ketenagakerjaan.

Menurut mereka, aturan hukum tersebut dapat memudahkan aliran investasi yang dibutuhkan untuk membuka banyak lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Setelah dua hari kampanye berlangsung, pada 13 Agustus, ‘serangan balik’ dari netizen kepada para influencer—yang diduga dibayar untuk mendukung RUU ini—dilayangkan.

Tak berhenti di Instagram, ‘seragan balik’ juga muncul di media sosial Twitter.

Perbincangan pun menjadi semakin ramai. Setidaknya, jumlah cuitan di Twitter, mencapai 3.516, pada puncak perbincangan; 15 Agustus.

Tetapi jika ditotal secara keseluruhan di Twitter, mencapai 5.847 cuitan.

Pada 13 Agustus, jumlah meme yang mendapat like, juga mulai berisi kritikan serta ‘serangan balik’ terhadap para influencer.

Terkait percakapan ini, ada lima akun yang memiliki pengaruh paling tinggi.

Lantas, mengapa RUU Ciptaker, banyak menerima penolakan?

Sebab, RUU ini dinilai membuka ruang untuk mengeksploitasi para pekerja, sekaligus memangkas hak-hak mereka.

Bahkan, Amnesty International di Indonesia, juga mengkritik beberapa ketentuan yang ada dalam RUU tersebut, seperti:

  • Penghapusan upah minimum kabupaten/kota (UMK),
  • Penentuan upah dengan mengacu kebutuhan hidup layak saat pekerja masih lajang,
  • Penghapusan batas maksimum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
  • Penghapusan beberapa jenis cuti berbayar (paid leave), hingga
  • Ketentuan yang memperbolehkan pengusaha mempekerjakan karyawannya lebih dari 40 jam/pekan.

Perlu diketahui, RUU Ciptaker, merupakan aturan yang telah disiapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sejak 2019.

Menurut Presiden ke-7 RI itu, Omnibus Law, merupakan ‘jalan keluar’ untuk memecah berbagai aturan yang tumpang tindih; menghambat kecepatan administrasi birokrasi, khususnya di bidang investasi.

Beleid itu, memungkinkan pemerintah mengubah beberapa undang-undang dalam satu proses; Omnibus Law.

Baca Juga: Ardhito Pramono Mengaku Dibayar Rp10 Juta untuk Setiap Cuitan #IndonesiaButuhKerja

Meski penolakan jelas disuarakan, Ketua Dewan Perwkilan Rakyat (DPR), Puan Maharani, berjanji lembaganya akan menyelesaikan seluruh RUU yang ada dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020, pada Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021.

Targetnya penyelesaian RUU dalam daftar Prolegnas 2020, menurut Puan, tetap memperhatikan skala prioritas. Sehingga kebutuhan hukum bisa dipenuhi.

Omnibus Law RUU Ciptaker, menjadi salah satu yang akan ‘dikebut’ untuk diselesaikan oleh DPR.

Puan menjamin, pembahasan RUU Ciptaker, akan dibahas secara transparan dan hati-hati.

“DPR juga akan terus melanjutkan pembahasan RUU tentang Cipta Kerja, secara cermat, hati-hati, transparan, terbuka,” ujarnya.

“Dan yang terpenting adalah mengutamakan kesinambungan kepentingan nasional, baik di masa sekarang, maupun masa yang akan datang.”

Demikian kata Puan, dalam pidato pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Jumat (14/8) lalu.