Berita  

Peneliti UI Prediksi COVID-19 Sudah Masuk Indonesia Sejak Akhir Januari

Peneliti UI Prediksi COVID-19 di Indonesia

Ngelmu.co – Bukan awal Maret, virus Corona (COVID-19), di-prediksi sudah masuk ke Indonesia, sejak akhir Januari lalu. Setidaknya itu yang disampaikan oleh Staf Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dr. Pandu Riono, MPH, Ph.D, mengacu pada lonjakan kasus terlapor.

“Dari data laporan pelayanan kesehatan masyarakat, itu sudah terjadi kenaikan orang dengan gejala kasus COVID-19, seperti demam, batuk, dan sesak napas,” tuturnya, seperti dilansir Kumparan, Senin (6/4).

“Data kasusnya melonjak sekali (sejak Januari), dan kemudian baru Maret, ada laporan yang tiga orang positif COVID-19,” sambungnya.

Data itulah yang dijadikan acuan oleh Pandu, untuk meriset proyeksi jumlah kasus virus Corona di Indonesia.

Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, menjalankan studi berjudul ‘COVID-19 Modelling Scenarios Indonesia’.

“Kita konsepnya (penelitian) mulai awal Februari. Jadi bukan yang dilaporkan dari pemerintah. Kita tidak mau memprediksi yang dilaporkan oleh Jubir, karena itu laporan yang sangat under reported,” beber Pandu.

“Ingat, yang dilakukan pemerintah itu adalah laporan yang didapatkan dari lima hari yang lalu. Jadi tidak mencerminkan kasus pada hari itu,” imbaunya.

Namun, selain meningkatnya laporan kasus gejala COVID-19 di beberapa fasilitas kesehatan, tingginya volume penerbangan dari dan ke Wuhan, menjadi bukti dugaan virus Corona telah masuk ke Tanah Air, sejak akhir Januari 2020.

Di mana, Jakarta menjadi kota yang paling besar, menerima volume penerbangannya.

Ketika Wuhan dilaporkan sebagai kota asal COVID-19, pada awal Januari, Indonesia masih memiliki sejumlah penerbangan dari dan ke sana.

Maka Pandu mengasumsikan, makin banyak penumpang dari dan ke Wuhan, kemungkinan kasus infeksi virus Corona pun meningkat.

Selain Jakarta, beberapa kota yang juga diketahui memiliki penerbangan langsung dari Wuhan, yakni Manado, Batam, dan Makassar, menjadi sorotan.

Kemungkinan besar, kasus SARS-CoV-2, tak hanya terjadi di ibu kota, akan tetapi di beberapa wilayah lain di Indonesia.

“Jadi secara teoritis, tidak mungkin Indonesia bebas Corona, dan secara teoritis pula, tidak mungkin hanya bulan Maret,” kata Pandu.

“Yang saya prediksi, mungkin kasus Corona di Indonesia sudah terjadi pada akhir Januari,” imbuhnya.

Baca Juga: Akhirnya BNPB Akui Tidak Sesuainya Data Kasus Positif COVID-19

Tak hanya Pandu, dugaan serupa juga muncul dari peneliti Harvard.

Mereka memprediksi, bahwa kemungkinan besar, kasus virus Corona, sudah masuk ke Indonesia, sejak Januari lalu, mengingat tingginya volume penerbangan dari dan ke Wuhan.

Berdasarkan bukti-bukti serta adanya laporan kasus-kasus virus Corona yang sudah terdeteksi di Australia, Singapura, dan negara lain, pada awal Januari lalu, maka dugaan COVID-19 di Indonesia, sudah ada sejak akhir Januari, menguat.

Dengan demikian, episenter COVID-19, lanjut Pandu, tak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga menyebar ke seluruh wilayah lainnya.

Keterbatasan Indonesia dalam melakukan tes COVID-19, juga dinilai sebagai kendala tersendiri.

Hal ini terlihat dari laporan kasus virus Corona, yang nampak lebih sedikit, dibandingkan negara-negara lain.

Padahal, orang-orang yang terinfeksi, sebenarnya jauh lebih banyak dari data yang terkonfirmasi.

“Hal ini bisa kita lihat dari tingkat kematian yang tinggi sekali. Di mana sebagian besar kematian, justru tidak sempat di-tes,” kata Pandu.

“Sebagian lagi, mungkin tidak terdeteksi, tapi mereka sudah dimakamkan dengan protokol pemakaman COVID-19,” lanjutnya.

Maka menyikapi hal ini, Pandu mendorong, agar pemerintah segera menerapkan intervensi tinggi, guna mencegah terjadinya lonjakan kasus COVID-19.

Pasalnya, semakin tinggi intervensi pemerintah dalam menekan laju penyebaran, akan memperkecil angka kematian akibat virus Corona ini.

Seperti diketahui, kasus pandemi COVID-19, pertama kali diumumkan di Indonesia, pada awal Maret lalu.

Namun, sejak itu, angka kasus terus meningkat, hingga Rabu (8/4) siang, tercatat 2.738 kasus positif, dengan 204 kesembuhan, dan 221 kematian.