Ragam Kasus Gereja Katolik: Teranyar, Temuan 215 Kerangka Anak Pribumi

Pope voices pain over Canadian deaths doesn’t apologize
Paus Fransiskus saat upacara perdamaian antaragama di Basilika Santa Maria, Aracoeli, Roma, Selasa, 20 Oktober 2020. Foto: AP/Gregorio Borgia.

Ngelmu.co – Temuan 215 kerangka anak pribumi di sebuah halaman bekas sekolah asrama, di Kanada, menjadi bagian dari ragam kasus yang menyeret Gereja Katolik.

Temuan tersebut juga sekaligus membuat tahun 2021, mencatatkan sejarah kelam baru.

Pasalnya, bulan lalu, radar penembus tanah mencium keberadaan 215 kerangka anak pribumi di lokasi tersebut.

Bangunan itu dibangun ratusan tahun silam [lebih dari seabad], dan saat masih beroperasi [sekolah asrama] berada di bawah kelola Gereja Katolik.

Kuat dugaan, anak-anak yang menjadi korban tersebut tewas akibat penganiayaan.

PM Kanada Tuntut Pertanggungjawaban

Perdana Menteri (PM) Kanada Justin Trudeau, menuntut pertanggungjawaban dari pihak Gereja Katolik [sebagai pengelola sekolah residen bagi anak-anak pribumi di negara tersebut saat itu].

“Sebagai seorang Katolik, saya sangat kecewa dengan posisi yang diambil Gereja Katolik, saat ini, dan beberapa tahun terakhir,” tutur Trudeau.

“Kami mengharapkan, Gereja Katolik, meningkatkan, serta bertanggung jawab atas perannya dalam hal ini,” sambungnya, Jumat (4/6), mengutip Reuters.

Bagi Trudeau, hal ini akan menjadi momen penting bagi semua pihak, khususnya umat Katolik di negerinya.

“Untuk menjangkau paroki-paroki lokal kita, para uskup, kardinal, sekaligus memperjelas,” ujarnya.

“Bahwa, kita mengharapkan gereja, melangkah dan bertanggung jawab atas perannya dalam hal ini,” tegas Trudeau.

Jika permintaan maaf tidak dilakukan, dan catatan publik tidak dibuat, maka ia akan mengambil langkah yang lebih kuat; ke pengadilan.

Namun, sebelum menyeret kasus ini ke pengadilan, Trudeau sangat berharap, para pemimpin agama dapat bertindak.

“Memahami bahwa, ini adalah sesuatu yang membutuhkan partisipasi mereka, dan [mereka] tidak menyembunyikannya,” kata Trudeau.

Kepala Tk̓emlúps te Secwépemc juga Menuntut Hal yang Sama

Kepala Tk̓emlúps te Secwépemc Rosanne Casimir, pada Jumat (4/6) lalu, juga menuntut hal yang sama.

Ia meminta, Gereja Katolik, meminta maaf kepada publik atas temuan kerangka ratusan anak di bekas sekolah asrama tersebut.

“Kami menginginkan permintaan maaf dari Gereja Katolik,” tegas Casimir.

“Permintaan maaf kepada publik. Bukan hanya untuk kami, tapi untuk dunia,” imbuhnya.

Pada Rabu (2/6), Uskup Agung Vancouver J Michael Miller, juga mengakui bahwa Gereja, telah melakukan kesalahan.

Ia berjanji, keuskupan agung, akan transparan dengan arsip serta catatan mengenai sekolah asrama di Kamloops itu.

“Secara keseluruhan, Gereja Katolik di Kanada, tidak terkait dengan sekolah asrama,” ungkap Miller.

“Begitu juga dengan Konferensi Waligereja Kanada,” sambungnya.

Sementara pakar HAM [hak asasi manusia] PBB [Perserikatan Bangsa-Bangsa], secara terpisah, meminta Kanada juga Vatikan, menyelidiki kasus ini lebih lanjut.

“Tidak terbayangkan, bahwa Kanada dan Takhta Suci, akan membiarkan kejahatan keji seperti itu tidak terhitung dan tanpa ganti rugi penuh.”

Respons Paus Fransiskus

Meski mengaku sakit, begitu mengetahui temuan 215 kerangka anak pribumi, tetapi Paus Fransiskus, mengabaikan tuntutan Trudeau.

Di hadapan umat Katolik yang berkumpul di Alun-alun St Pater, Vatikan, Ahad (6/6) waktu setempat, ia tak menyampaikan permintaan maaf.

Paus Fransiskus, hanya menyerukan otoritas setempat, mendorong pemulihan bagi para korban.

“Dengan rasa sakit, saya mengikuti berita dari Kanada, soal temuan kerangka 215 anak. Mengecewakan,” tuturnya.

“Saya bergabung dengan para uskup Kanada dan seluruh Gereja Katolik di sana, dalam menyampaikan kedekatan saya dengan warga setempat yang trauma dengan kabar mengejutkan itu,” imbuhnya.

“Temuan menyedihkan ini menambah kesedihan serta penderitaan di masa lalu,” jelas Paus Fransiskus.

Ia juga berharap, otoritas politik dan keagamaan terus berkolaborasi, dengan tekad mengupas kejelasan peristiwa pilu ini.

“Dan dengan rendah hati, berkomitmen menuju jalur rekonsiliasi serta pemulihan,” ujar Paus Fransiskus.

“Momen-momen sulit ini menjadi seruan kuat untuk menjauhkan kita dari model dan ideologi kolonialisasi terkini,” sambungnya.

Paus Fransiskus juga berharap mereka dapat berjalan berdampingan dalam dialog.

“Saling menghormati dan mengakui hak-hak serta nilai-nilai budaya dari seluruh anak di Kanada,” ucapnya.

“Mari kita serahkan jiwa seluruh anak yang meninggal di sekolah asrama, di Kanada, kepada Tuhan,” lanjutnya.

“Mari kita doakan keluarga dan komunitas suku asli Kanada yang diselimuti kesedihan,” tutup Paus Fransiskus.

Baca Juga: Di Altar Gereja, Seorang Pastor Lakukan Hubungan Terlarang di Tengah Pandemi Corona

Secara terpisah, Keuskupan Vancouver, menyampaikan permintaan maafnya pada Rabu (2/6) waktu setempat.

Begitu juga serikat gereja-gereja–Presbyterian dan Anglikan–yang telah memohon maaf atas peran mereka dalam penganiayaan tersebut.

Bukan Satu-satunya

Kasus memilukan ini membuka luka lama banyak pihak. Sebab, peristiwa tersebut bukan satu-satunya yang terjadi.

Mengutip Reuters, ABC News, CNN, Asia One, dan CBC, setidaknya ada tujuh kasus memilukan di dunia yang melibatkan pihak Gereja Katolik.

Australia

Gereja Katolik Roma di Victoria, Australia, merilis pengakuan catatan kasus pelecehan seksual terhadap anak.

Pihaknya mengakui, sejak 1930-an, ada lebih dari 600 anak yang menjadi korban dari para imam.

Catatan tambahan, 620 kasus terjadi di tahun 1960-an dan 1980-an.

Ada juga 45 kasus lainnya yang masih dalam penyelidikan oleh parlemen.

Di sisi lain, sebuah kelompok mencatat kasus pelecehan seksual anak-anak oleh imam Katolik [hanya di Victoria] telah mencapai 10 ribu korban.

Amerika Serikat

Lebih dari 70 tahun, ribuan anak telah menjadi korban pelecehan seksual.

Pelakunya merupakan sejumlah pemimpin gereja Katolik Roma, di Pennsylvania, Amerika Serikat.

Jaksa Agung Pennsylvania Josh Shapiro, dalam laporannya, menyebut 301 imam telah menjadi pelaku.

Sementara total anak yang menjadi korban, mencapai ribuan. Meski beberapa catatan rahasia gereja hilang, juga ada korban yang takut untuk datang.

“Para imam memperkosa anak lelaki dan perempuan,” ungkap Shapiro.

“Mereka menyembunyikannya selama beberapa dekade, dan mengajarkan kepada anak-anak, bahwa pelecehan tidak hanya normal, tetapi juga merupakan hal yang suci,” bebernya.

Belanda

NRC–surat kabar harian Belanda–melaporkan, lebih dari setengah pastor senior di negaranya, terlibat kasus pelecehan seksual terhadap anak.

Mereka menutupi kejahatan ini sejak 1945 hingga 2010.

Sebagian besar dari pastor yang diduga terlibat, telah meninggal. Sedangka beberapa kasus lainnya, dianggap kedaluwarsa.

Chile

Pada Kamis (20/9/2018), otoritas Chile, menggeledah kantor pusat Gereja Katolik.

Langkah itu merupakan tindak lanjut dari investigasi pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan mereka.

Raul Guzman selaku Jaksa Penuntut, juga menyebut bahwa pihaknya, pada 14 Agustus 2018 lalu, menyidik lebih dari 35 dugaan pelecehan seksual.

India

Franco Mulakkal yang merupakan Uskup di India, dituding berkali-kali memerkosa seorang biarawati–selama dua tahun–sejak Mei 2004.

Korban, mengirimkan surat kepada Paus Fransiskus, demi menuntut adanya tindakan terhadap Mulakkal.

Koordinator Dewan yang memperjuangkan keselamatan biarawati, yakni Augustine Vattoli, juga berunjuk rasa.

Mereka menuntut keadilan bagi korban peristiwa kelam di Kochi, India.

Irlandia

Pemerintah Irlandia juga meneliti dugaan kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di Gereja Katolik.

Dalam laporan penelitian, penyidik menyebut, telah menganalisis DNA dari jasad korban yang dipilih.

Hasilnya, muncul kemungkinan, kematian korban terjadi di usia mereka 35 pekan, sampai tiga tahun [dimakamkan pada 1950-an].

Kelompok Survivors of Mother and Baby Homes, mencatat 796 bayi juga anak-anak, tewas di panti asuhan.

Rumah Tuam. Tempat yang berada di bawah kelola Gereja Katolik.

Jerman

Gereja Katolik Jerman, menyatakan, 3.766 kasus pelecehan seksual terhadap anak dilakukan oleh pendeta [1946-2014].

Ada 1.670 pelayan agama yang terlibat dalam pelanggaran seksual tersebut.

Laporan juga mengatakan, mayoritas korban adalah anak laki-laki, dan lebih dari setengahnya masih berusia di bawah 13 tahun.

German Bishop’s Conference dan Universitas Giessen, Heidelberg, dan Mannheim, adalah pihak yang menyusun laporan ini [selama empat tahun, dan dipublikasikan pada 25 September 2018].

Kepala Gereja Katolik Jerman Mundur

Kasus di Jerman, belum usai. Teranyar, Kepala Gereja Katolik setempat, Reinhard Marx, mengajukan pengunduran diri dari jabatan Uskup Agung Munich.

Bukan tanpa alasan, tapi karena ia mengaku turut bertanggung jawab atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh para petinggi gereja.

“Intinya, penting bagi saya untuk berbagi tanggung jawab atas bencana pelecehan seksual oleh pejabat gereja selama satu dekade ke belakang.”

Demikian kata Marx dalam suratnya kepada Paus Fransiskus, Jumat (4/6), mengutip Reuters.

“Penyelidikan dan laporan selama 10 tahun belakangan, memperlihatkan ada banyak kesalahan, tidak hanya personal dan administratif, tapi juga sistemis,” imbuhnya.

Meski demikian, Marx, akan tetap menjabat, sembari menunggu keputusan Paus Fransiskus.

Menurut Keuskupan Agung Munich, Marx, memang telah menyampaikan keinginan mundur, dalam beberapa bulan terakhir.

Ia mengaku, merasa turut bertanggung jawab, karena bungkam saat isu pelecehan seksual berkembang.

“Saya rasa, dengan terus bungkam, tidak bertindak, dan terlalu fokus pada reputasi Gereja, saya juga bersalah dan harus bertanggung jawab,” tegas Marx.

Dugaan Pengabaian Kasus

Marx, mengajukan pengunduran diri di tengah meningkatnya kecaman atas dugaan pelecehan seksual oleh para pejabat gereja.

Kasus ini mulai menjadi perhatian, sejak 2018 lalu, saat sejumlah media lokal mengungkap data.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, mereka melaporkan 3.677 kasus pelecehan seksual terhadap anak oleh pastor, [periode 1946-2014].

Dalam pertemuan di Vatican, pada Februari 2019 lalu, Marx juga mengakui, berbagai dokumen [yang membuktikan pelecehan seksual oleh pastor] memang ada, dan telah dihancurkan.

Pengakuan Pemerintah Kanada

Kembali ke temuan 215 kerangka anak pribumi di Kanada.

Pada 1820-an, ada sekitar 150 ribu anak pribumi yang diambil dari keluarganya, untuk kemudian dipaksa masuk sekolah.

Setelahnya, sebagian besar dari mereka menderita kekerasan fisik, psikologis, dan seksual.

Setidaknya, 4.000 anak meninggal, dan banyak yang terbaring di kuburan tak bertanda.

Antara tahun 1936 dan 1944, pemerintah Kanada juga diperkirakan, menghancurkan sekitar 15 ton dokumen.

Semua berkaitan dengan sekolah, termasuk sekitar 20 ribu dokumen, Urusan Indian.

Gereja-gereja lain telah meminta maaf karena mengelola beberapa sekolah dengan sistem demikian [termasuk Gereja Bersatu, Gereja Presbiterian, dan Gereja Anglikan].

Namun, Konferensi Waligereja Katolik Kanada, tidak menanggapi tuntutan Trudeau.

Meskipun pada 2008, pemerintah Kanada, secara resmi meminta maaf atas sistem tersebut.

Trudeau, tetap mengatakan, banyak yang bertanya-tanya, mengapa Gereja Katolik di Kanada, tak mengambil langkah nyata.

Di tahun 2015, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, juga membenarkan, bahwa sistem sekolah residen Kanada, telah melakukan genosida budaya.

Pemerintah dan kelompok Gereja Katolik, menjalankan sekolah residen, dengan tujuan mengasimilasi anak-anak pribumi.

Temuan Sisa Kerangka

Belum lama ini, sisa kerangka korban, ditemukan di Kamloops Indian Residential School di British Columbia.

Temuan di sekolah yang tutup pada 1978 itu pun membuka luka lama, sekaligus memicu kemarahan atas kurangnya informasi dan akuntabilitas.

Sebab, dari 1893 hingga 1969, sebuah kongregasi Katolik, yakni Missionary Oblates of Mary Immaculate, menjalankan sekolah Kamloops.

Kamloops Indian Residential School, menjadi yang terbesar dari sekitar 139 sekolah asrama [yang dibangun pada akhir abad ke-19].

Ada 500 siswa terdaftar dan bersekolah di sana pada satu waktu.

Sekolah yang pada 1890-1969, dioperasikan oleh Gereja Katolik atas nama pemerintah Kanada.

Pemerintah setempat juga telah mengakui, bahwa penganiayaan fisik dan seksual, terjadi di sekolah-sekolah itu.

Laporan menyebut, para siswa mengalami penganiayaan lewat tangan kepala sekolah.

Para guru juga berupaya melucuti mereka dari budaya dan bahasa aslinya.