Berita  

Sederet Kebijakan Anies Atasi Corona yang Dijegal Pihak Istana

Kebijakan Anies Dijegal Istana

Ngelmu.co – Tak hanya sekali, pihak Istana, menjegal kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dalam mengatasi pandemi virus Corona (COVID-19) di ibu kota.

Kebijakan Anies yang Dijegal Istana

Terkini, Mendikbud ke-27 RI itu mengatakan, telah melayangkan surat ke Pemerintah Pusat, untuk melakukan karantina wilayah. Pasalnya, keputusan tersebut merupakan kewenangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menko Polhukam, Mahfud MD, pun mengonfirmasi, jika surat bernomor 143 tertanggal 28 Maret 2020, itu telah diterima Pemerintah Pusat, Ahad (29/3) lalu.

Perlu di-garis-bawahi, meskipun ingin mengarantina wilayahnya, Anies tetap memperhatikan sektor energi, pangan, kesehatan, komunikasi, hingga keuangan, agar tetap beraktivitas.

Sebelum mendapat restu Jokowi, Anies, telah mengeluarkan kebijakan yang berorientasi karantina wilayah sejak dua pekan lalu.

Di antaranya meliburkan siswa, tempat kerja bagi ASN dan pekerja swasta, menunda kegiatan keagamaan di rumah ibadah, serta membatasi interaksi sosial.

Namun, kemudian Istana menolak usulan Anies itu, meski tak secara langsung, teapi isyarat penolakan disampaikan oleh Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, melalui akun Twittter-nya, Senin (30/3).

Dengan alasan, pemerintah pusat lebih memilih menerapkan ‘pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dengan kekarantinaan kesehatan’, dan ‘hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju darurat sipil’.

Istana, pada Selasa (31/3), akhirnya meneken tiga peraturan sekaligus, yakni:

  1. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan COVID-19,
  2. Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Darurat Kesehatan Masyarakat, dan
  3. PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk Penanganan COVID-19.

Sementara terkait PP PSBB, dalam pasal 6 disebutkan, pemberlakuan diusulkan oleh kepala daerah kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Di mana dalam PP tersebut, juga dijelaskan langkah minimal yang dilakukan adalah:

  • Peliburan sekolah dan tempat kerja,
  • Pembatasan kegiatan keagamaan, dan
  • Pembatasan kegiatan di tempat umum.

Adalah langkah-langkah, yang sebenarnya sudah dilakukan DKI, dan beberapa kota lain, sebelum PP ini terbit.

Artinya? Pemerintah pusat hanya mengamplifikasi kebijakan yang sudah dilakukan Pemprov.

Berdasarkan fakta, ini bukan kali pertama Istana mementahkan kebijakan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, dalam menangani wabah Corona.

Sedikitnya, ada 5 kebijakan lain, yang juga ‘dikubur’ pihak Istana:

Sindiran Kemkominfo atas Situs Corona DKI

Pada 6 Maret lalu, melalui Tim Tanggap COVID-19, Pemprov DKI Jakarta menyediakan kanal informasi tambahan untuk warga, terkait wabah virus Corona di Jakarta.

Masyarakat ibu kota, dapat mengakses informasi melalui situs corona.jakarta.go.id, juga dokumen-dokumen Instruksi Gubernur (Ingub), Surat Edaran Dinas, siaran pers, dan infografis, yang berisi informasi terkait layanan Pemprov DKI.

Selain itu, juga sudah disediakan informasi lengkap mengenai COVID-19. Namun, yang menjadi perhatian, informasi kasus positif yang dibagikan di situs buatan Pemprov DKI, kerap berbeda dengan yang di-umumkan Kementerian Kesehatan.

Berdasarkan itu, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Johnny G Plate, menegaskan jika situs web yang dibuat Kemenkes, merupakan arahan dari pemerintah pusat, untuk memberikan kabar terkini kasus COVID-19.

Situs yang dimaksud adalah infeksiemerging.kemkes.go.id, yang berdasarkan pantauan pihak Tirto, saat itu, situs yang dimaksud hanya memperbarui data COVID-19 secara global, tanpa spesifikasi kasus di Indonesia.

“Dalam rangka komunikasi publik, pemerintah daerah mengikuti protokol pemerintah pusat, supaya satu saja narasi pemerintah,” kata Johnny, kepada awak media di kantor Kemenkominfo, Jakarta, Senin (9/3).

Pemerintah daerah, sambung Johnny, diperbolehkan membuat situs terkait perkembangan isu COVID-19 di daerahnya, dengan catatan, narasi konten harus sama dengan pemerintah pusat.

“Jangan mulai lagi pertentangan. Ada [wadah informasi soal corona] pemerintah pusat, ada dari pemerintah daerah. Boleh, tetapi konten dan narasinya harus sama,” pungkas Johnny.

Setelah itu, barulah dirilis situs khusus informasi terkait Corona, yakni Covid19.go.id, tepatnya pada 18 Maret, usai Gugus Tugas Penanganan COVID-19 dibentuk.

Usulan Wisma Atlet Jadi RS Darurat Corona

Sebelumnya, dalam sebuah rapat pembahasan kesiapan penanganan COVID-19, pada 10 Maret 2020, Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Kependudukan dan Permukiman DKI Jakarta, Suharti, sudah mengusulkan agar Wisma Atlet Kemayoran, di-alih fungsi-kan untuk Orang Dalam Pemantauan (ODP).

Saat itu, pusat sudah mengumumkan kasus positif Corona ke-19, di mana 15 di antaranya berada di Jakarta.

Namun, baru delapan hari kemudian, gagasan ide di-respons oleh pemerintah pusat, melalui Kementerian Keuangan.

Menkeu Sri Mulyani, menyatakan aset negara berupa Wisma Atlet, akan di-manfaatkan sebagai tempat isolasi pasien positif COVID-19.

Baca Juga: Surat Anies untuk Tenaga Medis yang Membuat Air Mata Menetes

Pemanfaatan aset ini, lanjut Sri Mulyani, telah di-koordinasikan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP).

Ia mengatakan, penggunaan aset ditujukan karena Wisma Atlet belum banyak di-manfaatkan, sedangkan kebutuhan fasilitas Kesehatan untuk menampung pasien Corona mengalami peningkatan.

Maka itu, setelah dipertimbangkan, Wisma Atlet dinilai paling siap, karena sudah tersedia listrik, air, dan fasilitas penunjang lainnya.

Pada 26 Maret, Wisma Atlet resmi digunakan sebagai RS Darurat Corona, dan sudah menampung sedikitnya 274 orang, terdiri dari pasien pria sebanyak 162, sementara wanita 112 orang, sejak 27 Maret.

Sindiran Mahfud Usai Anies Menunda Formula E

Tak ingin warganya semakin berisiko, akhirnya Anies, pada 11 Maret 2020—saat Kemenkes mengumumkan kasus kematian pertama akibat COVID-19—memutuskan untuk menunda ajang balapan jet darat listrik, Formula E.

Sedianya, acara tersebut akan digelar di Monas, pada 6 Juni mendatang.

“Kami tidak ingin mengorbankan keselamatan warga, demi pencapaian perekonomian. Memang Formula E ini memberikan dampak ekonomi yang besar, tapi bila punya risiko untuk warga, maka kami tunda,” kata Anies, di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu (11/3).

Baca Juga: Anggap Jakarta Aman, Mahfud Duga Anies Tunda Formula E karena Khawatir Gagal

Tetapi alih-alih didukung, keputusan itu justru mendapat sindiran dari Menko Polhukam, Mahfud MD.

Ia menilai, Anies menunda Formula E, karena khawatir ajang balap mobil listrik itu tak sukses.

Sebab, menurutnya, pada saat itu Jakarta masih aman, di tengah merebaknya virus corona jenis baru, COVID-19.

“Karena melihat situasi, jangan-jangan itu (Formula E nanti) tidak sukses ‘kan, karena kecenderungan di banyak dunia menghendaki agar menghindarkan perkumpulan-perkumpulan orang terlalu banyak, seperti tontonan dan sebagainya,” ujarnya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (11/3), seperti dilansir Antara.

“Itu mungkin, kalau enggak banyak orang yang nonton, ‘kan rugi juga, lalu ditunda, barangkali,” sambung Mahfud.

Dikoreksi Jokowi

Presiden Jokowi, juga mengoreksi kebijakan Anies, yakni pada 15 Maret 2020, Gubernur DKI memutuskan untuk memangkas jam operasional transportasi publik seperti TransJakarta, MRT, dan LRT.

Namun, setelah kebijakan mulai diberlakukan keesokan harinya, terjadi penumpukan penumpang TransJakarta.

Maka Jokowi pun mengoreksi, “Transportasi publik tetap harus disediakan pemerintah pusat dan Pemda,” tuturnya dalam konferensi pers di Istana Bogor, Senin (16/3).

Jokowi juga mengingatkan, agar semua kebijakan besar di tingkat daerah mengenai COVID-19, harus dibahas bersama pemerintah pusat.

“Konsultasi dengan kementerian terkait dan Satgas COVID-19,” imbuhnya.

Sehari setelah Jokowi mengoreksi, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mendatangi Balai Kota, dan secara khusus, ia bicara kepada Anies terkait hal tersebut.

Tito mengingatkan, bahwa kebijakan lockdown (penguncian) merupakan kewenangan absolut pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden Jokowi.

Ia juga menjelaskan, berdasarkan Undang-undang (UU) nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, terdapat empat jenis pembatasan atau lockdown.

Mulai dari karantina rumah, Rumah Sakit, Wilayah, dan pembatasan sosial yang bersifat massal.

Dalam UU tersebut, terdapat tujuh hal yang harus dipertimbangkan, yakni mulai dari pertimbangan efektivitas, tingkat epidemi, sampai ke pertimbangan sosial, dan keamanan.

Salah satu yang paling disoroti Pemerintah jika terjadi lockdown adalah berdampak kepada perekonomian.

Turuti Jokowi, Dibatalkan Luhut

Presiden Jokowi, di akun Twitter-nya, pada 30 Maret, mengatakan jika mobilitas warga dari dan menuju ke Jakarta, berisiko memperluas penyebaran COVID-19.

“Delapan hari terakhir, ada 876 bus antarprovinsi yang membawa 14.000-an penumpang dari Jabodetabek ke provinsi lain di Jawa. Belum termasuk yang menggunakan kereta api, kapal, pesawat dan mobil pribadi. Mobilitas orang sebesar itu sangat berisiko memperluas penyebaran Covid-19,” tulis @jokowi.

Maka Pemprov DKI Jakarta, pun menghentikan mobilisasi angkutan umum bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), Antar Jemput Antar Provinsi (AJAP) dan Pariwisata dari dan ke luar Jakarta.

Namun, di hari yang sama, Kementerian Perhubungan justru membatalkan kebijakan tersebut, melalui Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati.

Ia mengatakan, keputusan ini diambil dengan dalih, kebijakan Pemprov DKI belum memiliki ‘kajian dampak ekonomi’, sesuai arahan dari Menko Maritim dan Investasi, sekaligus Plt Menhub, Luhut Binsar Pandjaitan.

Baca Juga: Akun FB Generasi Muda NU, “Masa Iya ke Depan Kita Pilih PKS?”

Tak sedikit masyarakat yang mengkritik sederet penjegalan pusat terhadap kebijakan Pemprov DKI.

@es_de666an: Apakah Istana juga menjegal langkah Bu Risma? Kalau menjegal langkah Anies hanya gara-gara berbeda kubu politik, keterlaluan sih. Di saat genting kayak gini masih mentingin politik. Kemanusiaan lebih penting dari politik!

@thismightberose: Di Kendari udah semi lockdown, jalan masuk kota Kendari cuma bisa di-akses dari satu jalan doang. Di Tegal juga begitu, tapi yang dijegal cuma Jakarta, padahal penyebaran yang masif di sana.

@Adoyanmusik3: Artinya, pemerintah pusat hanya mengamplifikasi kebijakan yang sudah dilakukan Pemprov.

@Patiunus14: Sepertinya yang cepat tanggap malah dijegal pusat, contoh DKI. Maaf, bukan pendukung Anies, dulu saya serang, tapi kalau baik, saya harus kasih jempol.

@alfian_ismi: Padahal Pak Anies, sudah berjuang buat Jakarta, tapi semuanya dijegal sama pemerintah pusat, mulai dari lockdown, pembatasan transportasi, karantina wilayah, dan yang terakhir saran Anies buat menghentikan operasional bus AKAP tujuan dari dan ke Jakarta, pun dijegal sama pemerintah pusat.

@bacotansyamil: Wah gila si ini. Corona makin meningkat, politik masih aja di-maenin. Langkah Anies selalu dijegal pemerintah pusat. Padahal langkah Anies masuk logika dan bagus banget.