Berita  

Tolonglah, RUU Sisdiknas Jangan Cederai Pesantren!

RUU Sisdiknas Pesantren

Ngelmu.co – Tolonglah, Rancangan [perubahan] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), jangan mencederai pesantren!

RUU yang hanya menyebutkan satu jenis pesantren dalam Sisdiknas, jelas tidak mentaati UU Pesantren.

Kritik ini disampaikan oleh anggota DPR RI–yang juga Wakil Ketua MPR RI Fraksi PKS–Hidayat Nur Wahid (HNW).

Bukankah, UU Pesantren yang bersifat lex specialis, telah mengakui sekaligus memperluas jenis-jenis pesantren?

HNW merujuk kepada sejumlah ketentuan dalam RUU Sisdiknas.

Seperti Pasal 47, Pasal 74, dan Pasal 120; yang hanya menyebutkan pesantren yang berbentuk pengajian kitab kuning.

“Padahal apabila merujuk kepada UU 18/2019 tentang Pesantren, jelas disebutkan, bukan hanya satu, tapi ada tiga jenis pesantren,” tegas HNW.

Selain pesantren tradisional yang mengajarkan kitab kuning, ada juga pesantren berbentuk pengajaran Dirasah Islamiah.

Dengan pola pendidikan Mu’allimin, dan juga pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

“Penyusun RUU Sisdiknas ini tidak menjadi contoh yang baik dalam menaati aturan yang ada.”

“Dan kalau tidak dikoreksi, dapat meredusir pengakuan negara terhadap jenis-jenis pesantren yang disebutkan dalam UU Pesantren.”

“Dikhawatirkan juga terjadi pembonsaian, dan adu domba yang menciptakan kegaduhan di kalangan pesantren, yang sudah sama-sama menerima UU Pesantren.”

“Karenanya, sudah sangat seharusnya, RUU ini dikembalikan kepada ketentuan yang benar dalam UU Pesantren,” tutur HNW, seperti Ngelmu kutip pada Jumat (2/9/2022).

Baca Juga:

HNW mengingatkan bunyi Pasal 5 ayat (1) UU Pesantren, bahwa pesantren terdiri atas:

a. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengkajian kitab kuning;
b. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiah dengan pola pendidikan Mu’allimin; atau
c. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya, yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

“Memang, di dalam RUU Sisdiknas itu merujuk kepada UU Pesantren, di berbagai penjelasannya.”

“Namun, ironisnya, malah hanya ada penyebutan secara spesifik terhadap salah satu jenis pesantren saja.”

“Dan itu dapat mengabaikan keberadaan dua jenis pesantren lainnya, yang sama-sama diakui oleh UU Pesantren.”

“Jadi, tidak sinkron dengan UU Pesantren. Sehingga harus diperbaiki,” ujar HNW.

Itu mengapa ia berharap, agar Kemendikbud Ristek, segera mengoreksi dan mengakomodasi masukan ini.

Sebagaimana sebelumnya, ketika publik mengoreksi draf RUU Sisdiknas yang menghilangkan penyebutan madrasah dalam batang tubuh; hanya menyebutkan dalam penjelasan.

“Awalnya, ada wacana yang terbaca dari draf RUU Sisdiknas.”

“Dari Kemendikbud Ristek yang menghapuskan madrasah dari RUU Sisdiknas.”

“Tapi alhamdulillah, dengan adanya kritikan-kritikan publik dan penolakan, termasuk dari PKS, wacana itu tidak direlisasikan.”

“Kritik-kritik didengarkan, dan sekarang, madrasah tetap menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang eksplisit.”

“Tetap disebutkan dalam batang tubuh RUU Sisdiknas, tidak hanya dalam penjelasan,” ucap HNW.

Selain koreksi terkait penyebutan semua jenis pesantren, HNW juga menyampaikan beberapa poin yang perlu diperhatikan oleh Kemendikbud Ristek.

“Misalnya, terkait dengan hilangnya tunjangan profesi guru dan dosen, serta tunjangan lainnya di dalam RUU Sisdiknas ini, dan sudah dikritik oleh PGRI.”

“Seharusnya, tunjangan guru itu dieksplisitkan dan ditingkatkan, bukan malah dihapuskan, atau dibuat abu-abu,” jelas HNW.

Wakil Ketua Majelis Syura PKS itu juga memahami penjelasan dari Kemendikbud Ristek.

Kemendikbud Ristek bilang, penghapusan berbagai tunjangan akan diiringi dengan pemberian penghasilan yang layak secara langsung kepada guru.

Baca Juga:

Namun, HNW mencatat hal itu, karena baru sebatas ‘janji’.

Maka wajar jika muncul kekhawatiran, jika janji tersebut tidak terealisasi.

“Jadi, lebih baik secara eksplisit dan definitif ditegaskan saja di dalam RUU.”

“Bahwa konsep yang ada, tidak untuk menghilangkan tunjangan tersebut, dan tidak untuk merugikan kesejahteraan guru,” kata HNW.

Ia juga mengingatkan, bahwa kesejahteraan guru pun dosen merupakan salah satu bentuk pelaksanaan prinsip keadilan sosial.

Sebagaimana ketentuan Pancasila dan juga pembukaan UUD 1945, sekaligus salah satu pilar utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

“Kalau para pendidiknya saja tidak sejahtera atau terus berada dalam ketidakpastian, bagaimana kualitas pendidikan Indonesia, dapat maksimal ditingkatkan?”

“Karena pendidik merupakan salah satu pelaku dan pemangku kepentingan utama di dalam suksesnya pendidikan dan pengajaran.”

HNW juga mengingatkan Kemendikbud Ristek untuk berhati-hati dalam menyusun draf perubahan ini.

Kemendikbud Ristek perlu membahasnya bersama DPR, organisasi, ormas, dan juga para pakar yang sangat dikenal komitmennya soal pendidikan.

Apalagi perubahan ini juga mencakup UU Sisdiknas [UU 20/2003], UU 14/2005 [tentang Guru dan Dosen], dan UU 12/2012 [tentang Pendidikan Tinggi]. Sekaligus.

Belum lagi, banyak kritikan publik terhadap RUU Sisdiknas.

Seperti kurikulum yang dinilai belum bisa menjawab tantangan ke depan, isu berkaitan dengan komersialisasi pendidikan yang dapat berujung korupsi [contoh, kasus Unila], dan hal lainnya.

Maka perlu disusun serta dibahas secara hati-hati dan saksama.

HNW juga menyampaikan harapannya, agar RUU Sisdiknas yang mengakui PAUD ini juga dapat mengakomodasi aspirasi dari HIMPAUDI [Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini].

Terutama dari sektor nonformal, untuk diberlakukan secara setara dan adil; dengan pendidik lainnya.

“Aspirasi ini sudah mereka sampaikan bertahun-tahun. Bahkan, sampai ke Mahkamah Konstitusi.”

“Sudah selayaknya, negara memberikan perhatian yang layak bagi mereka juga,” tegas HNW.

“Kemendikbud Ristek harus benar-benar mendengarkan masukan dan kritik-kritik, agar tidak ulangi tragedi.”

“Agar tujuan dan visi pendidikan nasional, sebagaimana dinyatakan tegas dalam Pasal 31 ayat (3) dan (5) UUD NRI 1945, dapat terwujud,” pungkas HNW.