Opini  

Alumni Psikologi UI ini Menjawab Keraguan soal Anak Rohis

Anak Rohis

Ngelmu.co Teror bom yang baru-baru terjadi di Surabaya dan Sidoarjo kembali dikaitkan dengan Islam. Saat ini kembali ramai anggapan perempuan bercadar, laki-laki berjanggut dan atau bercelana di atas mata kaki merupakan teroris. Termasuk salah satunya ada yang dengan beraninya menyatakan bahwa aktivitas anak rohis merupakan cikal bakal terorisme.

Sontak, hal tersebut menyakiti hati umat Islam. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan. Islam adalah ajaran yang sangat cinta damai. Islam adalah sempurna, namun umatnya tidak. Aksi terorisme sama sekali bukan ajaran Islam.

Anggapan-anggapan tentang anak rohis yang merupakan cikal bakal terorisme tentu saja mendapat tanggapan bantahan dari umat Islam, Salah satunya adalah dari seorang alumni Psikologi UI, Hilmy Wahdi.

Berikut tulisan Hilmy Wahdi yang menanggapi Ahmad Faiz Zainuddin yang mengulas anak rohis merupakan cikal bakal teroris.

Baca juga: Ustaz Abdul Somad: Pelaku Teror Bom Surabaya Tidak Mati Syahid

Buat #ahmad faiz zainuddin..

Dari sesama Psikolog dan atau Sarjana Psikologi

Buat dik faiz yang baik. Kenalkan saya Hilmy Wahdi, alumnus SMAN 3 Jakarta angkatan 88 kemudian kuliah di psikologi UI. Lulus sebagai psikolog kemudian S2 dan S3. Saya kenal banyak kakak kelas anda semua dari psikologi unair. Kebetulan saya juga pengurus rohis saat di SMAN 3 dan di Psi UI.

Ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan di sini buat dik faiz. Yang pertama dalam etika psikolog dan atau sarjana Psikologi ada tabu yg tidak boleh dilanggar yaitu membahas seseorang secara gamblang bahkan ada fotonya di forum umum apalagi medsos seperti fb. Apalagi jika seseorang itu melibatkan anak dan istrinya dan peristiwanya masih dalam penyelidikan yang berwajib. Kakak kelas anda DT inisialnya masih berstatus terduga bahkan infonya masih simpang siur seperti pak kapolri pun meralat pernyataannya mengenai DT yg katanya pernah ke Suriah. Psikolog dan juga Sarjana Psikologi (anda sdh psikolog kah) adalah profesi yang harus menjaga rahasia klien dan atau individu yg sedang dibahas perilakunya. Anda membahas DT dengan gamblang tanpa inisial. Bagi kita sebagai psikolog dan Sarjana Psikologi itu sangat tidak etis. Mohon ke depannya tidak terulang.

Di samping itu anda kan terpaut 4 tahun dibawah DT bagaimana mungkin anda begitu mengenal dia? Bertemu pun belum. Seorang Psikolog atau Sarjana Psikologi secara etika dilarang untuk mengulas perilaku atau kepribadian seseorang apalagi pada kasus sensitif jika dia belum melakukan observasi, wawancara atau anamnesa. Karena hasilnya pasti bias, kecuali jika anda sudah menjadi pengamat politik itu etikanya beda lagi. Ulasan anda kini menjadi viral namun sebenarnya banyak bertabrakan secara etika disiplin ilmu kita, itu sangat disayangkan.

Yang kedua, ulasan anda tentang kegiatan Rohis saat SMA rasanya tidak seperti yang anda simpulkan. Selama saya jadi pengurus kegiatan kami memang banyak melakukan pengkajian Islam yg berisikan tentang materi mengenal Allah, mengenal Rasul. Memahami Islam yang komprehensif, akhlak dan keseimbangan atau Tawazun. Kami juga dibina untuk menjadi muslim yg kaffah dalam arti memahami dan menjalankan Islam secara menyeluruh termasuk menjadi pelajar yg berprestasi. Saya ingat ucapan guru Fisika kami yg begitu bangga pada anak rohis sman 3 Jakarta yang banyak diterima di UI, ITb, ITS, IPB, Unpad dan PTN lainnya. Karena kakak kelas kami memang membina kita agar jadi ulil albab/ilmuan muslim yg berprestasi dengan masuk ke PTN favorit. Satu sikap keras kami adalah penolakan terhadap pelarangan jilbab oleh rezim Soeharto dan terbukti tahun 89 jilbab diperbolehkan di SMP dan SMA Negeri.

Kita memang suka baca sabili dan majalah ummi. Majalah sabili menarik karena banyak mengupas masalah internasional Islam seperti di jaman saya, penjajahan afghanistan oleh Rusia. Kami membenci Rusia karena mereka menjajah dan menjajah adalah perilaku yg bertentangan dengan pembukaan UUD 45 kan? Kalo di jaman anda tahun 92 sd 95 konflik Bosnia banyak dibahas namun pemerintah kita pun akhirnya membela Bosnia. Pak Harto membangun masjid di Bosnia.

Kalo majalah ummi kami gemari karena ada rubrik tentang remaja yg tentu kontekstual dengan development task kami. Jadi Tak satupun sikap ekstrimitas yg kami tunjukkan, karena kami diajarkan untuk menjadi muslim yg baik yang kaffah, yang cerdas, berbakti pada ibu dan bapak. Kami dibina untuk menjadi Ulil albab yaitu intelektual muslim, makanya anak rohis biasanya diakui prestasinya.

Saat saya kuliah pun di psikologi UI saya aktif di rohis dan kami mengadakan kajian psikologi Islam bersama Rohis Psi UGM, Unair, UMS, dan lain-lain yang jauh dari ekstrim. Kami juga membina adik-adik SMA untuk jadi siswa muslim yang baik dan berprestasi jauh dari ekstrimitas. Saat kini banyak kawan kawan rohis saya yang sudah “jadi orang” ada yang jadi dokter spesialis hebat,aada yg jadi dosen di PTN favorit, ada yang bekerja di swasta dan BUMN dan menjadi manager yang handal. Ada yg menjadi PNS berprestasi yang tidak ditangkap KPK. Ada yg menjadi Psikolog, Wirausahawana, dan lain-lain. Jika kadang kita bertemu kita punya perasaan sama, yaitu “alhamdulillah dulu kita aktif di Rohis sehingga jadi orang bener” sambil senyum-senyum. Dan yang mengembirakan tak satupun di antara kami menjadi ekstrimis apalagi pembom bunuh diri. Kalo jadi politisi ada. 😊

Dik faiz yg baik, saya yakin maksud ulasan anda baik, namun niat baik perlu dipoles dengan CARA dan TlMING yang tepat. Cara mengacu pada etika, tertib ilmu, dan lain-lain. Timing mengacu pada saat kapan kita bagusnya membahasnya.

Kasus DT masih jauh dari kesimpulan akhir dan entah bagaimana ulasan anda dikesankan seperti sudah menyimpulkan sehingga viral. Bagi yg pro mungkin akan memuji anda setinggi langit. Bagi yang kontra mungkin banyak mengkritik anda, itulah resiko tulisan viral. Kalo saya sih hanya ingin memberikan sedikit tausiyah bagi adik kelas sekaligus sesama psikolog dan atau sarjana psikologi.

Terima kasih semoga berkenan

Sumber: FB Hilmy Wahdi