Berita  

Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo Gunakan Uang Korupsi untuk Dukung Muktamar PPP?

Pemalang Mukti Agung PPP

Ngelmu.co – Bupati Pemalang–nonaktif–Mukti Agung Wibowo, terlibat kasus korupsi suap lelang jabatan di lingkungan Pemkab Pemalang.

Mukti, bahkan menggunakan sebagian uang korupsi tersebut untuk mendukung muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Makassar pada 2022 lalu.

Sebut saja Rp650 juta; sebagaimana tercantum dalam rilis konstruksi perkara tujuh pejabat Pemkab Pemalang yang terjerat kasus ini.

Dugaannya, Bupati Pemalang 2021-2026 ini mengumpulkan suap dari para tersangka hingga Rp650 juta.

Lalu, ia menggunakan uang tersebut untuk keperluan pribadi, termasuk menghadiri muktamar PPP.

“Uang terkumpul sejumlah, sekitar Rp650 juta, diistilahkan ‘uang syukuran’, yang kemudian digunakan Adi Jumal Widodo [kepercayaan Mukti] membiayai berbagai kebutuhan Mukti Agung Wibowo, yang di antaranya untuk mendukung kegiatan muktamar PPP di Makassar, tahun 2022.”

Demikian keterangan dalam rilis penetapan tujuh tersangka baru kasus suap Pemalang, dan berikut ketujuh nama yang dimaksud:

  1. Mubarak Ahmad (MA), Kepala Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah Pemalang;
  2. Abdul Rachman (AR), Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemalang;
  3. Suhirman (SR), Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Pemalang;
  4. Sodik Ismanto, Sekretaris DPRD Kabupaten Pemalang;
  5. Moh Ramdon, Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Pemalang;
  6. Bambang Haryono, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemalang; dan
  7. Raharjo, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemalang.

Bantahan PPP

Terpisah, Ketua DPP PPP Achmad Baidowi (Awiek), menyuarakan bantahan.

Sebab, menurutnya, PPP tidak pernah menggelar muktamar di tahun 2022.

“Kami tidak tahu-menahu dengan hal tersebut, karena Muktamar PPP adanya tahun 2020,” ujar Awiek, Selasa (6/6/2023).

“Maka dari itu, informasi aliran dana dari tersangka ke muktamar PPP, patut dipertanyakan, alias tidak valid,” sambungnya.

Meski demikian, Awiek menyerahkan proses hukum sepenuhnya kepada KPK. “Sepenuhnya kami serahkan kepada proses hukum.”

“Namun, ketidakvaliadan informasi itu harus menjadi perhatian, agar tidak memberi informasi yang tidak akurat,” tutup Awiek.

Baca juga:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah menahan tiga dari tujuh tersangka tersebut.

Menurut Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu, kasus ini bermula saat Mukti, mengubah komposisi dan rotasi pada beberapa level jabatan di Pemkab Pemalang.

Mukti memerintahkan Badan Kepegawaian Daerah Pemalang untuk membuka seleksi terbuka; posisi jabatan Eselon IV, Eselon III, dan Eselon II.

Dalam pembukaan seleksi itulah, Mukti memerintah Adi Jumal Widodo untuk mengondisikan rotasi.

Maksud pengondisian adalah memungut biaya kepada ASN yang ingin menempati jabatan yang dibuka.

Baca juga:

Melalui Adi Jumal Widodo, Mukti mematok harga per jabatan.

“Ada beberapa level jabatan yang dikondisikan bagi para ASN yang berkeinginan untuk menduduki jabatan Eselon IV, Eselon III, dan Eselon II.”

“Dengan kisaran tarif bervariasi, mulai Rp15 juta, sampai Rp100 juta,” ungkap Asep saat konferensi pers, Senin (5/6/2023).

Penasaran, tarif itu pun disambut Abdul Rachman dkk, untuk sebuah jabatan.

Mereka memberikan sejumlah uang ke Mukti melalui Adi Jumal Widodo, dengan nilai bervariasi.

Raharjo memberikan Rp50 juta, sementara yang lainnya, masing-masing Rp100 juta.

“Abdul Rachman, Mubarak Ahmad, Suhirman, Sodik Ismanto, Moh Ramdon, Bambang Haryono, masing-masing memberikan Rp100 juta, sedangkan Raharjo memberikan Rp50 juta.”

“Dalam rangka mengikuti seleksi untuk posisi jabatan Eselon II, sebagaimana tawaran dari Adi Jumal Widodo, agar dapat dinyatakan lulus,” jelas Asep.

Dengan penyerahan uang tersebut, Abdul Rachman, Raharjo dkk, dinyatakan lulus dan menduduki jabatan eselon II.

Atas perbuatannya, ketujuh pejabat Pemkab Pemalang tersebut disangka Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Adapun Mukti dan Adi Jumal Widodo, sudah dijatuhi hukum dalam perkara sama.

Mukti dihukum 6,5 tahun penjara, serta denda Rp30 juta oleh Pengadilan Tipikor Semarang.

Mukti juga wajib membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp4,9 miliar.

Adi Jumal Widodo dihukum pidana penjara selama 5 tahun, serta denda Rp300 juta, dan uang pengganti Rp1 miliar.

Bukan cuma suap dan gratifikasi lelang jabatan yang diterima Mukti.

Ia juga terbukti mendapat uang iuran dari para pejabat di Kabupaten Pemalang.

Uang itu disisihkan dari anggaran dinas, dan juga fee dari sejumlah pelaksana proyek.

Bagaimana kelanjutan kasus Mukti Agung Wibowo dan Adi Jumal Widodo? Keduanya sudah dieksekusi ke Lapas Semarang.