Berita  

Faisal Basri Sebut Omnibus Law Ancaman Bagi Seluruh Bangsa Indonesia

Faisal Basri Omnibus Law Ancaman

Ngelmu.co – Ekonom Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, menyebut UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), sebagai ancaman bagi seluruh bangsa Indonesia. Ia, menduga adanya upaya sistematis untuk membuat oligarki di Tanah Air, semakin mencengkeram.

“Ini suatu upaya sistematis totalitas untuk membuat oligarki di Indonesia, semakin mencengkeram,” tuturnya, dalam diskusi virtual bertajuk, ‘Misteri Omnibus Law’.

“Ini ancaman bagi seluruh bangsa Indonesia, ancaman bagi kemunculan kembali otoritarianisme,” sambung Faisal, seperti dilansir Tempo, Kamis (15/10).

Menurutnya, pengusaha besar–terutama yang mengeruk kekayaan alam–yang paling diuntungkan dari lahirnya Omnibus Law Ciptaker.

Ia, menjelaskan upaya sistematis tersebut, dimulai dari pelemahan KPK, disusul lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

UU Minerba ini, kata Faisal, substansi termuat dalam draf Omnibus Law.

“Tapi karena Omnibus-nya, diperkirakan tidak bisa 100 hari selesai, UU Minerba, dipercepat proses pengesahannya,” ujarnya.

Pasalnya, ada enam perusahaan batubara terbesar yang masa kontrak karyanya hampir selesai.

“Jadi, ada ancaman ini, kalau pakai UU yang lama, mereka harus serahkan konsesinya ke negara,” jelas Faisal.

Jika mengikuti UU Minerba yang lama, lanjutnya, maka pengusaha tidak dapat mengoperasikan lahan batubara sebanyak saat ini.

Dalam UU Minerba yang lama, operasi lahan batubara, dibatasi hanya 15 ribu hektar.

“Kalau sekarang, tidak ada batas,” beber Faisal.

‘Upaya Sistematis’

Upaya sistematis selanjutnya, tercermin lewat penerbitan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang kemudian menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.

Faisal, juga menanyakan klaster baru, yakni perpajakan, yang tiba-tiba dimasukkan dalam UU Ciptaker.

“Pak Jokowi, pun tidak menyampaikan itu pada Jumat, (Konferensi pers 9 Oktober) lalu,” kritiknya.

Lebih lanjut, Faisal menyoroti, dalam Perppu Perpajakan, itu telah dimasukkan ketentuan mengenai tarif pajak, yang sudah dikurangi dari 25 persen.

Ia, merinci, dalam Omnibus Perpajakan, tarif pajak diturunkan dari 25, menjadi 22 persen, berlaku mulai tahun 2021.

“Kemudian dari 22, ke 20 persen, itu baru mulai 2023,” ungkap Faisal.

Obral potongan pajak, juga nampak pada Perppu No 1 Tahun 2020.

Ketentuan tarif pajak 25 persen, menjadi 22 persen, dimajukan ke tahun 2020, sedangkan tarif 20 persen, ditambah diskon 3 persen menjadi 17 persen, diberlakukan pada 2022.

“Jadi satu tahun lebih cepat,” kata Faisal.

Upaya sistematis, menurutnya, juga ditunjukkan dari penunjukan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani, sebagai Ketua Satgas Omnibus Law.

“Jadi yang tidak diajak, hanya Kadin saja,” sambung Faisal.

Baca Juga: UU Ciptaker, “Terburu-buru Hingga Tidak Masuk Akal”

Ia, juga menanggapi rencana pembentukan sovereign wealth fund (SWF)–Lembaga Pengelola Investasi (LPI)–yang diatur dalam Omnibus Law Ciptaker.

“Di Omnibus Law, belum banyak yang bahas ada ‘hantu’ yang akan datang, yang baru. Namanya sovereign wealth fund, disebut Lembaga Pengelola Investasi,” kata Faisal.

Modal awal lembaga tersebut, imbuhnya, berasal dari APBN. Aset BUMN, juga akan dialihkan ke lembaga tersebut.

“Jadi ini akan disuntik dananya, modal awalnya, ya, dari APBN,” tutur Faisal.

Namun, ia menanyakan, kabar yang menyebut bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tidak diperbolehkan untuk mengaudit lembaga tersebut.

Padahal, modal awalnya dari negara, “Kan kalau BUMN, diaudit oleh BPK,” lanjut Faisal.

Ia, juga mempermasalahkan dewan pengawas dan dewan direksi lembaga tersebut, yang diangkat oleh Presiden, dengan berkonsultasi bersama DPR.

Jika dalam 14 hari konsultasi tidak membuahkan hasil, maka Presiden, harus terus tanpa konsultasi, mengangkat dewan pengawas.

“Jadi, ini lembaga luar biasa. Ini akan membiayai proyek-proyek yang pemerintah suka, dan tidak bisa di-pailitkan,” kata Faisal.

Baca Juga: Pusat Studi FH UI Sebut Penyusunan UU Ciptaker Bukan Lagi Kotor, Namun Sudah Sangat Jorok

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan modal awal LPI yang akan dibentuk tahun ini, mencapai Rp75 triliun, atau US$ 5 miliar.

Menurutnya, ekuitas LPI, berasal dari modal atas dana tunai senilai Rp30 triliun, barang milik negara, piutang negara, dan saham negara pada BUMN.

Injeksi dana tunai tersebut, sedang dalam proses pembahasan.

“Dengan ekuitas ini, kita harap bisa menarik dana investasi mencapai tiga kali lipat, sebesar US$ 15 miliar atau Rp255 triliun,” kata Sri Mulyani, dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (7/10).

Dalam LPI nanti, lanjut Sri Mulyani, pemerintah akan menunjuk badan pengawas dan dewan direktur.

Badan pengawas, dijabat oleh Menkeu, Menteri BUMN, dan tiga profesional lainnya.

Penunjukan dewan pengawas, lebih dulu dikonsultasikan kepada DPR, dan setelahnya diangkat resmi oleh presiden.