Gaduh Wacana Tiga di Tengah Pandemi yang Melonjak

Masa Jabatan Presiden 3 Tiga Periode

Ngelmu.co – Bukan kali pertama, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, muncul ke permukaan.

Namun, bedanya, sekarang persoalan ini kembali tersuguh, ketika kasus COVID-19 di Indonesia, sedang melonjak.

Lonjakan kasus saat ini juga mengkhawatirkan bagi ahli penyakit menular dari Griffith University Australia, Dicky Budiman.

Mengingat ketersediaan tempat tidur yang menipis, hingga memburuknya jumlah pelacakan dan pengujian.

“Kemungkinan terburuknya adalah lonjakan kasus yang sangat besar,” kata Dicky, Ahad (13/6) lalu, mengutip BBC Indonesia.

“Tidak pada akhir Juni ini, tapi setelahnya, terutama jika [antisipasi] tidak dipersiapkan,” sambungnya.

Jika potretnya sudah seperti ini, mengapa penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, justru gaduh ke tengah publik?

Manuver Tiga Periode

Majalah Tempo edisi 19 Juni 2021, bertajuk, ‘Malu Kucing Ronde Tiga‘, membahas manuver Istana untuk tiga periode Presiden Joko Widodo.

Tertulis juga bagaimana sejumlah menteri serta bekas pejabat yang dekat dengan Jokowi, diduga merancang skenario kepemimpinan tiga periode.

Beberapa sumber dari kalangan partai politik dan lembaga survei, menyebut bahwa orang-orang dekat Jokowi, telah menghampiri mereka.

Dari sana, muncul ajakan agar mereka ikut mengegolkan skenario presiden tiga periode.

Para sumber yang sama ini pun menceritakan soal adanya sejumlah skenario yang tengah disiapkan.

Ada dua skenario yang mereka dengar. Pertama, membuka peluang periode ketiga selama lima tahun melalui Pemilu.

Kedua, memperpanjang masa jabatan maksimal tiga tahun. Namun, bukan hanya presiden, tapi juga anggota DPR, dan DPD.

Artinya, jika skenario ini berjalan, pada 2024 mendatang, hanya akan ada pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Namun, bagaimanapun skenario finalnya, mengubah masa jabatan presiden tetap membutuhkan amendemen UUD 1945.

Minimal, harus ada sepertiga jumlah anggota MPR yang mengusulkan perubahan konstitusi ini.

Hal yang menurut beberapa politikus, bukan merupakan perkara sulit. Membuka pintu amendemen, mudah, kata mereka.

Apalagi dengan iming-iming perpanjangan masa jabatan. Sangat mungkin membuat anggota DPR dan DPD, mendukung amendemen.

Sederhananya, mereka juga ingin bisa lebih lama berada di Senayan, tanpa perlu mengeluarkan ‘modal’ miliaran rupiah.

Dua Pasal Incaran

Lebih lanjut, dua orang yang tahu skenario tiga periode ini mengulas soal dua pasal dalam konstitusi yang menjadi incaran.

Kedua pasal itu akan mengalami perubahan, yakni dengan menyelipkan ayat perpanjangan masa jabatan [dalam keadaan darurat] di Pasal 7.

Mereka juga akan menambahkan kewenangan MPR untuk menetapkan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden [dalam keadaan darurat].

Apa yang mereka maksud kondisi darurat? Kedua pejabat yang membeberkan hal ini sepakat menyebut pandemi COVID-19, dan lesunya ekonomi.

Seorang pejabat yang juga melihat skenario ini menyebut adanya kemungkinan pembahasan terjadi lebih cepat.

Dalam sidang umum dan sidang istimewa MPR pada Agustus 2023, atau sebelum itu, juga memungkinkan.

Namun, jika MPR, gagal menggelar sidang istimewa, kata sumber itu, terdapat kemungkinan presiden, akan mengeluarkan dekret untuk perpanjang masa jabatan.

Menjawab pengakuan ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, membantah.

Amendemen UUD 1945, tuturnya, tidak akan menyentuh persoalan masa jabatan presiden.

Melainkan hanya menambahkan hal yang berkaitan dengan pokok-pokok haluan negara–yang sebelumnya bernama GBHN [Garis-garis Besar Haluan Negara].

Jangan Anggap Enteng

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, mengingatkan, agar jangan menganggap enteng wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Sebab, ia juga mengaku, pernah menerima pelobian. Ada yang mengajaknya mendiskusikan gagasan tersebut.

“Saya menolak, dan orang itu saya marahi,” ungkap Jimly.

Sejak 1975 hingga 2018, sambungnya, ada 69 dari 221 presiden yang mengupayakan pengubahan konstitusi negara, ketika masa jabatannya akan habis.

Dua puluh tiga dari jumlah tersebut pun berhasil menghapus pembatasan masa jabatan. Salah satunya Presiden Cina Xi Jinping.

Baca Juga:

Dampak Jika Wacana Terlaksana

Mengutip Detik, Pakar Hukum Tata Negara dari UNS Solo, Agus Riewanto, pun menyuarakan dampaknya jika wacana ini terlaksana.

“Saya khawatir, jika ini dipaksakan, dan publik tidak banyak yang terlibat atau partisipasi yang luas, bisa jadi, ada social disobedience [ketidaktaatan sosial].”

“Atau gerakan sosial yang mungkin anti-pemerintahan Jokowi, seperti terulang lagi tahun 1998. Dampaknya sangat luas ini,” jelas Agus.

Ia juga menyoroti kemandekan yang akan terjadi, jika wacana ini terlaksana.

“Kalau seseorang menjabat selama 15 tahun, ‘kan berarti ada kemandekan 15 tahun, regenerasi, kita akan kehilangan momentum,” kata Agus.

Sebab, dalam 15 tahun, Indonesia pasti melahirkan pemimpin politik baru, secara nasional.

“Itu akan mengganggu juga kepemimpinan politik di daerah, gubernur, bupati, wali kota. Itu akan diikuti nanti,” sambungnya.

“Kalau presiden tiga periode, maka gubernur, wali kota, itu tiga periode,” imbuhnya lagi.

Agus, menjabarkan suramnya bayangan jika masa jabatan presiden tiga periode benar-benar terjadi.

“Jadi, logikanya, kalau ini digunakan logika koherensi, kalau presiden tiga periode, amendemen tiga periode, boleh jadi kepala daerah itu juga tiga periode.”

“Itu artinya, kita akan momentum generasi politik selama 15 tahun, dari nasional sampai ke daerah,” jelas Agus.

Ia, juga membicarakan kemungkinan timbulnya kekuasaan di semua lini negara, mulai dari eksekutif, hingga legislatif.

Menurut Agus, bukan tidak mungkin, pemerintah menjadi cenderung otoriter dengan kepemimpinan tiga periode ini.

“Ada potensi penguasaan semua lini kuasa. Eksekutif, legislatif, dan seterusnya,” kritik Agus.

“Membuat pemerintah cenderung otoriter. Ia mementingkan kelompok tertentu. Itu agak berbahaya,” lanjutnya.

Pasalnya, tidak ada yang dapat menjamin semua orang yang menguasai parlemen, tidak menguasai semua aspek.

“Itu berarti, pemerintah kita hanya jatuh di tangan orang-orang khusus dan oligarki,” kata Agus.

“Ya, kelompok-kelompok yang mendukung kekuasaan itu,” imbuhnya.

Wacana yang jika terlaksana, akan mematikan oposisi. “Anda bisa bayangkan suara oposisi, mesti kerja keras. Menunggu 15 tahun, baru berganti kekuasaan.”

Wacana yang Panen Kritik

Kembali muncul di tengah lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia, jelas membuat wacana ini memanen kritik.

Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, salah satu yang bersuara.

Ia menilai, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, sangat tidak tepat.

Mengingat kondisi Indonesia, masih berjuang melawan pandemi. Meskipun dalam iklim demokrasi, semua pihak berhak berekspresi.

“Tapi tidak tepat, jika disampaikan saat ini, mengingat Indonesia, sedang berupaya menangani COVID-19,” tutur Suparji, Ahad (20/6), mengutip Republika.

Ia juga menekankan, bahwa konstitusi telah mengamanatkan presiden dengan batasan dua periode.

Maka jelas, wacana tiga periode, belum memiliki legitimasi hukum positif.

Dalam Pasal 9 UUD 1945, menurutnya, terlampir pernyataan tegas, presiden dan wakil presiden, memegang jabatan selama lima tahun.

Setelahnya, dapat kembali dipilih dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

“Maka presiden tiga periode, pada saat ini belum sesuai konstitusi,” tegas Suparji.

Itu mengapa, ia menganggap wajar jika publik–secara luas–menolak wacana yang memang bertabrakan dengan konstitusi.

Suparji juga berharap, narasi ini bisa segera lenyap, karena akademisi serta peneliti, pun aktivis politik, akan lebih baik jika melempar narasi sesuai konstitusi.

Termasuk teori politik, pun bernegara dengan baik dan benar.

Akademisi juga bertugas meluruskan berbagai narasi yang bertentangan dengan konstitusi.

“Bukan justru mengatasnamakan rakyat untuk melanggarnya,” tutup Suparji.

Tindakan Inkonstitusional

Ada segelintir orang yang hendak meresmikan Sekretariat Nasional (Seknas), demi memajukan Jokowi, menjadi calon presiden tiga periode.

Di mata Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW), manuver ini [menghimpun relawan untuk memajukan seseorang menjadi calon presiden hingga tiga periode] merupakan tindakan inkonstitusional.

Sebab, bertentangan dengan spirit juga teks konstitusi UUD NRI 1945–yang berlaku di Indonesia, saat ini.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan, bahwa Pasal 7 UUD NRI 1945, masih berlaku.

Di mana tegas mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden, selama lima tahun.

Mereka hanya boleh kembali dipilih untuk satu kali masa jabatan pada jabatan yang sama.

“Artinya, masa jabatan presiden hanya dua periode saja,” tegas HNW, Senin (21/6).

“Jadi, kalau ada yang ngotot mencalonkan kembali seseorang, seperti Presiden Joko Widodo, yang sudah menjabat dua periode, itu tidak sesuai dengan konstitusi yang berlaku.”

“Karenanya, manuver seperi itu bisa dinilai inkonstitusional,” jelas HNW.

Ia juga menilai, upaya peresmian Seknas–di atas–bisa diartikan, mendorong Presiden Jokowi, untuk mengabaikan konstitusi.

Sekaligus melaksanakan sesuatu yang tidak dibenarkan oleh konstitusi.

Jika ini terjadi, kata HNW, maka akan memosisikan Jokowi, berhadapan dengan konsistensi.

Mengingat berulang kali dengan tegas Jokowi, menyampaikan bahwa ia tidak setuju, tidak mau, dan tidak minat [dengan wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode].

Kata Jokowi soal Wacana 3 Periode

Presiden Jokowi sendiri menilai, penyebar wacana penambahan masa jabatan menjadi tiga periode, memiliki motif tersendiri.

“Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga [maknanya], menurut saya.”

Demikian tutur Jokowi, saat berbincang dengan awak media, Senin (2/12/2019), di Istana Merdeka, Jakarta.

“Satu, ingin menampar muka saya, yang kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka, yang ketiga, ingin menjerumuskan,” sambungnya.

Jokowi juga menegaskan, bahwa pribadinya menolak amendemen UUD 1945.

Ia menjabat presiden karena rakyat yang memilih langsung, berdasarkan konstitusi.

Maka pemerintahannya, lanjut Jokowi, juga akan berjalan, tegak lurus dengan konstitusi tersebut.

“Apalagi yang harus saya sampaikan? Bolak-balik, ya, sikap saya tidak berubah,” ujarnya, di Istana Merdeka, Senin (15/3) lalu.

“Saya tegaskan, saya tidak ada niat, tidak berminat juga menjadi presiden tiga periode,” imbuhnya.

“Konstitusi mengamanatkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama,” janji Jokowi.

Ia sadar betul, pandemi COVID-19 di Indonesia, belum usai. Maka dirinya berharap, seluruh pihak mencegah kegaduhan baru.

Jokowi, ingin seluruh pihak saling bahu-membahu, mengeluarkan Indonesia dari krisis akibat pandemi, menuju lompatan kemajuan baru.

“Janganlah membuat kegaduhan baru. Kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi,” pungkas Jokowi.

Puji dan Harap untuk Jokowi

Meski bagian dari oposisi, bukan berarti Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, tak memuji sikap Jokowi.

Ia mengapresiasi Jokowi, karena berkali-kali melontarkan penolakan wacana masa jabatan presiden tiga periode.

Namun, Mardani juga meminta, agar Jokowi, bisa lebih keras lagi menolak wacana tersebut.