Jatam Sebut Omnibus Law ‘Cilaka’ Bukti Demokrasi RI Dibajak Oligarki

Ngelmu.co – Disusun dengan model Omnibus Law, Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka), menuai kritik. Sejumlah pihak menilai isinya tak berpihak kepada buruh, rakyat, hingga lingkungan hidup.

Jatam Kritik Omnibus Law ‘Cilaka’

Ketentuan hukum yang dinilai bermasalah dalam RUU Cilaka, antara lain soal kemudahan bagi perusahaan tambang melanjutkan dan meluaskan wilayah pertambangan.

Itulah sebabnya, RUU Cilaka dinilai berpotensi ‘melonggarkan’ izin lingkungan dan AMDAL.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah turut memberikan tanggapan.

Menurutnya, aturan sapu jagat yang isinya memberi kemudahan bagi perusahaan tambang, akan mengancam kehidupan rakyat serta lingkungan di sekitar lokasi pertambangan.

“Jadi dia ada tiga aspek, penambahan pasal, ada pengubahan pasal, dan ada penghapusan pasal, yang berada di dokumen Omnibus Cilaka,” beber Merah, seperti dilansir CNN, Kamis (6/2) lalu.

Mengancam Rakyat dan Lingkungan

Lebih lanjut ia menyebutkan, beberapa ketentuan hukum di RUU Cilaka, yang mengancam rakyat dan lingkungan:

Perusahaan tambang yang terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian,
Luas wilayah konsesi tambangnya tidak dibatasi.

Hingga perusahaan tambang yang terintegrasi dengan kegiatan pengolahan serta pemurnian, mendapat perizinan tak terbatas, bisa diperpanjang hingga kandungan yang ditambang habis.

Perusahaan tambang pemegang kontak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2) yang habis masa berlakunya, juga langsung mendapat perpanjangan, tanpa harus mengembalikan konsesi ke negara dan mengikuti lelang.

Tiga ketentuan hukum itu tertuang dalam bahan presentasi resmi dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

RUU Cilaka sudah dalam proses akhir, usai dibahas di Rapat Terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, 15 Januari lalu.

RUU Cilaka juga telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020.

Jokowi sendiri, berharap RUU itu bisa tuntas dalam 100 hari pembahasan di DPR.

Namun, ia yang menargetkan draf RUU Cilaka diserahkan ke DPR akhir Januari lalu, sampai saat ini belum menyerahkan surat dan draf RUU Cilaka ke DPR.

Akan Menyebabkan Pengusiran Besar-besaran

Kembali kepada kelonggaran yang diberikan bagi para perusahaan tambang, Merah menilai, langkah tersebut akan mengancam rakyat, termasuk lingkungan sekitar wilayah konsesi.

Seperti pengusiran besar-besaran terhadap rakyat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan.

Menurut Merah, itu menjadi konsekuensi atas ketentuan tak ada pembatasan luas wilayah untuk perusahaan yang melakukan hilirisasi.

Bahkan, masyarakat adat juga disebut terancam, jika RUU Cilaka benar-benar berlaku. Sebab, banyak masyarakat adat yang tinggal di dekat wilayah pertambangan.

Padahal, di Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba), pertambangan berstatus operasi produksi (OP), tak boleh sampai 15 ribu hektare.

“Jadi pasti ada pengusiran terhadap rakyat, karena lahan-lahan yang dimiliki rakyat akan diterabas oleh mereka ya. Izin tak perlu batasan lagi,” kata Merah.

Baca Juga: Indonesia Bakal Hapus Sertifikasi Halal? 3 Negara Ini Justru Suguhkan Wisata Halal

Ancaman serius Omnibus Law ‘Cilaka’ bagi rakyat lainnya adalah peracunan, karena pertambangan yang terintegrasi dengan hilirisasi, dapat menambang selama bahan tersedia.

Kegiatan tambang yang dilakukan secara terus menerus sampai tambang habis—nyaris abadi—lanjut Merah, otomatis akan membuat pencemaran lingkungan tak berhenti.

“Pembuangan limbah akan terus terjadi selamanya. Selama ada bahan tambang itu. Penggunaan bahan kimia beracun, akan terus digunakan untuk membantu proses penambangan,” jelasnya.

Sementara ancaman berikutnya dari aktivitas pertambangan yang diberi karpet merah lewat RUU Cilaka, akan membuat pengungsian bencana sosial-ekologis.

Pasalnya, bencana alam yang terjadi di Tanah Air, tak terlepas dari aktivitas pertambangan.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 6 juta pengungsi akibat bencana alam, dari 3.500 titik di Indonesia, sepanjang 2019.

Merah pun memprediksi, jumlah pengungsi akibat bencana alam yang disebabkan aktivitas tambang, akan naik dua kali lipat di tahun ini.

“Bisa 12 juta pengungsi sosial ekologis akibat dari banjir, tanda-tandanya sudah ada ‘kan? Akibat kegiatan tambang yang tidak terkontrol,” tuturnya.

Omnibus Law ‘Cilaka’ Bukti Demokrasi RI Dibajak Oligarki

Merah juga mengkritik kelonggaran pengajuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam RUU Cilaka.

Ia menilai, pengajuan AMDAL ini hanya diperuntukkan untuk kegiatan yang berisiko tinggi.

Padahal, semua kegiatan pertambangan berisiko tinggi, karena rakus terhadap lahan dan merusak sumber air.

“Mereka buat kategori risiko tinggi, risiko sedang, risiko kecil. Tambang semuanya risiko tinggi, kalau kau hilangi AMDAL dan izin lingkungan bagaimana?” tanya Merah tegas.

Mengingatkan Jokowi, Merah membahas soal pentingnya menjaga lingkungan hidup.

“Pak Jokowi harus ingat, bahwa tidak ada investiasi yang bisa tumbuh di atas lingkungan hidup yang rusak. Investasi ekonomi apa yang tumbuh kalau lingkungannya rusak?” pesan Merah.

Di akhir, ia menuding, demokrasi RI sudah dibajak oleh oligarki, sehingga politik yang dijalankan, tak lagi melindungi rakyat dan lingkungan hidup.

Politik, kata Merah, hanya digunakan untuk melindungi oligarki serta investasi mereka.