Jawaban Buya Hamka saat Ditanya soal Perbedaan Penetapan Iduladha di Indonesia

Buya Hamka Iduladha

Ngelmu.co – Sebenarnya, perbedaan penentuan Iduladha di Indonesia, bukan hal baru dalam sejarah Islam Tanah Air. Contoh paling terang terjadi pada 1973.

Kala itu, Suara Muhammadiyah No. 3, yang terbit pada 1 Februari 1973/1 Muharram 1393, memberitakan tentang Iduladha di Indonesia.

Ada yang merayakan Iduladha pada Ahad, 14 Januari 1973. Namun, ada juga yang merayakannya pada Senin, 15 Januari 1973.

Berdasarkan pengumuman resmi Departemen Agama saat itu, Iduladha jatuh pada Senin (15/1/1973).

Menjadi menarik, karena putusan pemerintah tersebut sesuai dengan hisab Muhammadiyah.

Adapun yang melaksanakan Iduladha sehari sebelumnya, yakni pada Ahad (14/1/1973), di antaranya adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Bahkan, kabarnya, Malaysia juga menentukan Iduladha pada Ahad, 14 Januari 1973.

Mereka menjadikan keputusan Pemerintah Arab Saudi, sebagai acuan.

Pemerintah Arab Saudi mengatakan bahwa wukuf di Arafah, jatuh pada Sabtu (13/1/1973), karena 1 Zulhijah, ditetapkan pada 5 Januari 1972.

Maka menindaklanjuti keputusan dari Arab Saudi, Dewan Dakwah Islamiyah Jakarta Raya–bersama Ikatan Masjid Jakarta–mengirim delegasi bersama.

Mereka hendak menemui Departemen Agama. Lalu, Sekjen Departemen Agama Kol Drs H Bahrum Rangkuti pun menerima delegasi tersebut.

Pada kesempatan itu, lahir usul agar mengupayakan Iduladha jatuh di hari yang sama.

Baik pada tahun tersebut, ataupun yang akan datang; berdasarkan wukuf di Arafah.

Mengingat hari Arafah, itu hanya satu, dan terjadinya di Makkah.

Usul pun disampaikan kepada Menteri Agama.

Hanya saja, berdasarkan keputusan resmi, Iduladha 1392, ditetapkan pada Senin (15/1/1973).

Meski demikian, tidak terdapat penjelasan, apa alasan penetapan tersebut.

Itu mengapa akhirnya, berlangsung dua Iduladha di Indonesia.

Ada yang Salat Id pada Ahad (14/1/1973), ada juga yang menunaikannya pada Senin (15/1/1973).

Peristiwa itu pun sampai termuat dalam Harian Masa Kini.

Baca Juga:

Lalu, bagaimana dengan sikap Seksi Falak PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, ketika melihat persoalan itu?

Dalam Suara Muhammadiyah No. 3 (1973, hal. 6), terdapat tajuk ‘Sekitar 2 Hari Raya Idul Ad-Ha 1392’.

Lengkap dengan penjelasan, latar belakang dan juga kronologi mengapa perbedaan itu sampai terjadi.

Termasuk pernyataan Seksi Falak PP Muhammadiyah, terkait hal ini.

Di antara pernyataan yang cukup mewakili adalah, “Tidaklah mungkin menyamakan begitu saja hari yang ada di Makkah, dengan hari yang ada di Indonesia, untuk menentukan Iduladha.”

“Jadi, jalan yang paling aman, ilmiah, dan syariah, untuk menentukan permulaan bulan, dan termasuk juga Idulfitri ataupun Iduladha, adalah dengan hisab.”

Ada beberapa pertimbangan yang melatari pernyataan tersebut.

Pertama, hari Ahad di Indonesia–mulai pukul 18.00 WIB, sampai pukul 22.00 WIB–sama dengan hari Sabtu, hari Arafah (1973) untuk wilayah Indonesia.

Sedangkan hari Arafah, yang ditetapkan jatuh pada hari Sabtu untuk Makkah, tidak seluruhnya bertepatan selama 24 jam dengan hari Sabtu yang ada di Indonesia.

Oleh karena itu, tidak bisa ditetapkan begitu saja bahwa Iduladha, mesti harus sama dengan di Makkah.

Kedua, berdasarkan hasil hisab Muhammadiyah, yang menetapkan hari Senin sebagai Iduladha.

Ketiga, seandainya Iduladha, ditetapkan di Indonesia pada Ahad (14/1/1973), perlu diperhatikan bahwa hari Arafah, yang ditetapkan pada Sabtu (13/1/1973) di Makkah, tidak seluruhnya kongruen selama 24 jam dengan Sabtu (13/1/1973) di Indonesia.

Apabila Sabtu (13/1/1973), ditetapkan begitu saja di Indonesia, sebagai hari Arafah, maka konsekuensinya adalah orang Indonesia, mendahului 4 jam dari waktu orang di Makkah.

Itulah pandangan Tim Hisab atau Falak Muhammadiyah, menghadapi perbedaan penentuan Hari Raya pada 1973 M (1392 H).

Salutnya, meski di kalangan muslim Indonesia, ada perbedaan–Iduladha tetap berlangsung dua hari–semua berjalan lancar, penuh toleransi.

Muhammadiyah dan pemerintah, tetap melaksanakan Iduladha hari Senin; sedangkan Dewan Dakwah Islamiyah–dan yang setuju dengannya–tetap melaksanakan Iduladha pada Ahad.

Baca Juga:

Menariknya, dalam buku ‘1001 soal Kehidupan’ (2016: 329-339) karya Buya Hamka, beliau juga pernah mendapat tanya soal Iduladha 1975 (1395).

Intinya, “Mesti samakah Hari Raya dengan Makkah?”

Mengingat pada tahun itu, Departemen Agama memutuskan Iduladha, jatuh pada Sabtu (13/12/1975), sedangkan di Saudi, kala itu ditetapkan bahwa wukuf di Arafah, jatuh pada Kamis (11/12/1975).

Sehingga Iduladha di Makkah adalah Jumat, 12 Desember 1975.

Melihat peristiwa tersebut, lahir tanya ke arah Buya Hamka, “Sahkah salat Iduladha pada Sabtu, 13 Desember 1975? Padahal sudah ada berita wukuf di Makkah pada hari Kamis? Sehingga seharusnya, hari raya jatuh pada hari Jumat…”

Cukup panjang jawaban Buya Hamka, tapi kesimpulannya adalah beliau bilang:

Pertama, tidak wajib negeri yang berjauhan mengikuti puasa dan berbuka pada Hari Raya Haji, karena mathla’, tidak sama.

Kedua, wukuf di Arafah, diturut berdasarkan keputusan penguasa di negeri itu.

Meski demikian, Buya Hamka berpesan, bahwa demi syiar Islam, jika perayaan Iduladha bisa dipersamakan, maka itu lebih baik.

Wallahu a’lam.