Kata ICW dan Komnas Perempuan soal Potongan Masa Hukuman Pinangki

ICW Komnas Perempuan Masa Hukuman Pinangki

Ngelmu.co – Berbagai pihak masih memperbincangkan pemotongan masa hukuman Pinangki Sirna Malasari.

Pasalnya, bekas jaksa itu semula menerima hukuman 10 tahun penjara.

Namun, putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, memangkasnya menjadi 4 tahun penjara.

Dua di antara yang ikut buka suara adalah Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komnas Perempuan.

ICW

ICW menilai putusan banding PT DKI Jakarta terharap Pinangki, keterlaluan.

“Patut untuk diingat, saat melakukan kejahatan, Pinangki, menyandang status jaksa yang notabene merupakan penegak hukum,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

“Ini harusnya merupakan alasan utama pemberat hukuman,” sambungnya melalui keterangan, Senin (14/6), mengutip Republika.

Pinangki, lanjut Kurnia, juga terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus.

  1. Suap [menerima uang 500.000 dollar Amerika Serikat, dari Djoko Tjandra];
  2. Pencucian uang [dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar]; dan
  3. Pemufakatan jahat [bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Anita Kolopaking, untuk menjanjikan uang 10 juta dollar AS kepada pejabat Kejagung dan MA, demi mendapatkan fatwa].

Dengan kombinasi ini, kata Kurnia, publik pun dapat mengatakan bahwa putusan banding Pinangki, merusak akal sehat.

Putusan ini juga jelas memperlihatkan, bahwa lembaga kekuasaan kehakiman, semakin tak berpihak pada upaya pemberantasan korupsi.

Hal yang turut terlihat dalam tren pemantauan persidangan oleh ICW.

Sepanjang 2020 lalu, rata-rata hukuman untuk para koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara.

Kondisi ini, bagi Kurnia, membuat pelaku penyelewengan uang negara, seharusnya berterima kasih kepada Mahkamah Agung (MA).

“ICW juga menagih janji KPK untuk melakukan supervisi atas perkara tersebut,” tegasnya.

Pasalnya, KPK memang pernah mengeluarkan surat perintah supervisi, tetapi kebijakan tersebut, sepertinya sekadar ‘lip service’.

Boro-boro menjadi agenda prioritas, kata Kurnia, pimpinan KPK, justru fokus dengan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang penuh kontroversi.

Maka itu ia menilai, jaksa seharusnya bisa melihat ini untuk segera mengajukan kasasi.

Demi membuka kesempatan, agar Pinangki, mendapat hukuman lebih berat.

Mestinya, Ketua MA juga selektif sekaligus mengawasi proses kasasi tersebut.

Sebab, jika tidak ada pengawasan, ICW meyakini, bukan tidak mungkin hukuman Pinangki, akan kembali berkurang, atau bahkan ‘bebas’.

Minta Kejanggalan Putusan Ditelusuri

ICW juga masih menemukan adanya beberapa kelompok yang belum diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), dalam perkembangan pengusutan perkara korupsi Pinangki.

Salah satunya, klaster penegak hukum, karena dalam pengamatan mereka, mustahil Pinangki, mampu bergerak sendiri, melakukan kejahatan dengan buron, Joko Tjandra.

“Pertanyaan sederhananya yang belum terjawab, ‘Bagaimana mungkin Djoko S Tjandra, dapat percaya begitu saja dengan jaksa yang tidak menduduki jabatan strategis seperti Pinangki?’,” kata Kurnia.

“Apakah ada pihak yang menjamin Pinangki, agar Djoko S Tjandra, percaya, lalu sepakat untuk bekerja sama?” imbuhnya.

Maka itu, ICW, merekomendasikan, “Agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawas MA, menelusuri kejanggalan di balik putusan tersebut.”

Komnas Perempuan

Pada kesempatan berbeda, Komnas Perempuan, menyebut peran gender memang dapat menjadi pertimbangan hakim.

“Peran gender, baik laki-laki dan perempuan, dalam praktik pengadilan, seperti kepala keluarga [laki-laki] dan ibu [perempuan], memang menjadi pertimbangan, sebagai alasan yang meringankan.”

“Jadi, tidak hanya untuk kasus PSM [Pinangki Sirna Malasari] dan korupsi, tapi untuk semua kasus, sepanjang yang saya ketahui.”

Demikian kata Komisioner Komnas Perempuan Siti, Selasa (15/6), mengutip Detik.

Hakim, sambungnya, harus mempertimbangkan kesetaraan gender serta non-diskriminasi.

Sebab, hal tersebut, menurut Siti, adalah kewajiban berdasarkan Perma 3 Tahun 2017 [yang menjadi pedoman hakim menangani perempuan berhadapan dengan hukum].

“Terlepas dari jumlah hukumannya, yang patut diketahui, bahwa hakim, dalam pemeriksaan perkara, baik tingkat pertama, banding, maupun kasasi, hakim, agar mempertimbangkan kesetaraan gender, dan non-diskriminasi.”

“Sebagaimana diatur dalam Perma 3 Tahun 2017, tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang Berhadapan Hukum (PBH).”

“Dengan mengidentifikasi fakta persidangan, di antaranya ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan dan relasi kuasa,” jelas Siti.

Ia juga mengomentari, alasan hakim memotong masa hukuman Pinangki adalah karena terdakwa merupakan ibu dari seorang balita.

Bagi Siti, alasan itu juga sah-sah saja.

“Sedangkan terkait alasan-alasan yang meringankan bahwa PSM adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita [berusia 4 tahun], layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya, dalam praktik peradilan adalah hal yang menjadi pertimbangan, tidak hanya dalam kasus tindak pidana korupsi. Peran gender juga menjadi pertimbangan bagi terdakwa laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga atau pencari nafkah utama.”

Siti juga menilai, semestinya, hakim memang menilai persoalan hukum–khususnya korupsi–dari perspektif perempuan.

Perspektif perempuan, lanjutnya, dapat dilihat dari ada tidaknya kerugian serta dampak sosial yang dialami dan berbeda dari laki-laki.

“Namun, selain posisi PSM, yang tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain, dan peran gendernya, yang harus digunakan hakim dalam penanganan seluruh kasus korupsi dan TPPU, baik pelakunya laki-laki dan perempuan adalah perspektif perempuan.”

“Perspektif perempuan dapat dilihat dari adanya kerugian, dan dampak sosial yang berbeda, yang dialami oleh laki-laki dan perempuan, akibat korupsi.”

“Perempuan lebih rentan menjadi korban, dan mengalami rintangan menikmati hak asasi perempuan karena korupsi, terutama korupsi di sektor layanan publik,” kata Siti.

Namun, ia juga menekankan, adanya prinsip yang menyatakan semua setara di hadapan hukum.

“Betul, persamaan di muka hukum menjadi prinsip hukum kita. Namun, pendekatan persamaan ini dalam konteks perempuan menggunakan pendekatan substantif, yaitu mengakui ada perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan yang berakar dari diskriminasi terhadap perempuan.”

“Kondisi sosial tersebut yang dalam sistem hukum, menyebabkan hambatan akses keadilan dan pemulihan untuk perempuan yang berhadapan dengan hukum [perempuan sebagai pelaku, saksi, dan korban],” pungkas Siti.

Baca Juga: Pak Hakim, Alasan Masa Hukuman Pinangki Dipotong Bikin Publik Bingung

Seperti diketahui, majelis banding [diketuai Muhammad Yusuf, dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik] menyatakan Pinangki, terbukti korupsi dan melakukan pidana pencucian uang.

Majelis hakim juga menilai Pinangki, telah mengakui dan menyesali perbuatannya.

Sementara poin-poin pertimbangan hakim memotong masa hukuman Pinangki adalah sebagai berikut:

1. Bahwa Terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai Jaksa, oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik;

2. Bahwa Terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya;

3. Bahwa Terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil;

4. Bahwa perbuatan Terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini;

5. Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat.