Berita  

Kemlu Luruskan Maksud dari Sikap ‘No’ Indonesia di Sidang Umum PBB

UNGA Indonesia UN R2P

Ngelmu.co – Kementerian Luar Negeri (Kemlu) meluruskan maksud dari sikap Indonesia yang memilih, ‘No’, untuk resolusi R2P [Responsibility to Protect] dan pencegahan genosida [pembersihan etnik, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang] di Sidang Umum PBB.

Pasalnya, keputusan tersebut menjadi pertanyaan besar bagi berbagai pihak, karena terdengar di tengah serangan Israel terhadap Palestina.

Maka Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemlu Febrian Alphyanto pun mengklarifikasi.

Via press briefing, ia menyampaikan, bahwa Indonesia, memang menolak resolusi PBB.

Namun, kata Febri, apa yang pemerintah tolak bukan substansi dari R2P tersebut, melainkan pembahasannya dalam ruang terpisah.

Ia juga menjelaskan, bahwa pembahasan R2P dalam kegiatan terpisah atau bahkan agenda tambahan, sudah terlalu sering.

Tepatnya, telah terjadi sejak konsep dasar R2P, dibahas pada World Summit 2005.

Maka itu, menurut Febri, resolusi sudah tak perlu lagi ada, kalau hanya untuk memisahkan agenda pembahasan R2P.

“Kesalahpahaman ini, sepertinya timbul karena informasi yang tidak cukup banyak soal isu resolusi,” tuturnya, Kamis (20/5), mengutip Tempo.

“Jadi, saya tegaskan, apa yang ditolak Indonesia, bukan isu substantifnya, tetapi proseduralnya,” sambung Febri, menegaskan.

“Kami sudah mendukung R2P sejak 2005 hingga 2020. Perlindungan terhadap korban kejahatan kemanusiaan, genosida, itu sudah jelas,” imbuhnya lagi.

Secara detail, dari 158 negara, 115 memberikan suara, ‘Yes’, untuk persoalan ini.

Sementara 28 negara memilih abstain, dan Indonesia bersama 14 negara lainnya memilih, ‘No’.

Itu sebabnya, kalah jumlah membuat pembahasan R2P, akan berlanjut dalam agenda terpisah yang bersifat permanen.

Baca Juga: Jika Ulasan Terus Anjlok, Facebook Akan Tersepak dari Play Store

Namun, di mata Febri, kepastian yang perlu untuk R2P selanjutnya adalah bagaimana konsep tersebut akan dimatangkan, sekaligus diimplementasikan.

Pasalnya, salah satu pilar dari R2P, sampai saat ini masih kerap menimbulkan perdebatan.

Itu mengapa, Febri menekankan, R2P merupakan issue delicate yang tak dapat sembarangan ditangani.

Sebagai catatan, konsep R2P ini terdiri atas tiga pilar.

Pertama, memberi perlindungan terhadap korban kejahatan kemanusiaan menjadi tanggung jawab negara asal masyarakat itu sendiri.

Kedua, jika negara tak mampu memberi perlindungan, maka komunitas internasional dapat membantu, dalam bentuk kerja sama internasional.

Terakhir, kalau negara tidak mampu serta tak berniat untuk melindungi, maka komunitas internasional, bisa melakukannya.

Mereka akan memberi perlindungan, sesuai Bab VII Statuta PBB.

Di mana secara spesifik, bab tersebut mengatur aksi respons terhadap ancaman kedamaian, pelanggaran terhadap kedamaian, juga aksi agresi.

“Paling ramai di pilar ketiga ini. Butuh pembahasan lebih jauh. Butuh timing,” kata Febri.

“Tentu, koridor-koridornya sudah jelas. Namun, ini yang masih menjadi topik pembahasan,” sambungnya.

Lebih lanjut, Febri menjelaskan, belum adanya konsensus mengenai bagaimana implementasi dari R2P ini.

“Jika betul, nanti pilar ketiga yang akan dilaksanakan, hal itu harus melalui Dewan Keamanan PBB,” ujarnya.

“Karena DK PBB-lah yang diberi tugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan,” imbuh Febri.

“Tidak bisa 10 negara, nanti tiba-tiba melakukan intervensi kolektif,” pungkasnya.

Sementara mengenai penerapan R2P untuk Israel dan Palestina, sendiri, Febri menyakini, hal tersebut akan dibahas dalam agenda khusus [perihal agresi Israel].

Di akhir, Febri kembali menegaskan, bahwa sikap Indonesia tetap, meminta gencatan senjata dan perdamaian yang sifatnya berkelanjutan.

Sebelumnya, berbagai pihak menanyakan sikap Indonesia yang memberikan suara, ‘No’, untuk resolusi R2P dan pencegahan genosida, di Sidang Umum PBB, Selasa (18/5).

Di sisi lain, Executive Secretary ASEAN Study Center Universitas Indonesia Shofwan Al Banna, justru punya pandangan berbeda.

Selengkapnya, baca di: Indonesia Vote ‘No’ untuk Resolusi Pencegahan Genosida di Sidang Umum PBB