Mana yang Lebih Menarik, Pertemuan Prabowo-Mega atau Anies-Paloh?

Ngelmu.co – Belum lama ini, Prabowo Subianto bertemu dengan Megawati Soekarnoputri, dan di hari yang sama, Rabu (24/7) itu, Surya Paloh pun mengundang Anies Baswedan untuk bertatap muka. Pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra dengan Ketua Umum PDIP, seolah mengakhiri perseteruan yang sudah lama terjadi.

Meski pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 lalu, keduanya sempat berpasangan, tetapi pada Pilpres 2014, mau tak mau, suka tak suka, mereka harus ada di pijakan berbeda. Karena munculnya Joko Widodo (Jokowi), yang kemudian didukung oleh Mega.

Lepas dari itu, jalan menuju rekonsiliasi antara Prabowo dan Jokowi pun terbuka, pasca pertemuan keduanya di stasiun MRT, Jakarta, Sabtu (13/7), yang kemudian berlanjut dengan makan siang bersama.

Di tempat berbeda, Ketua Umum Partai Nasdem mengundang Gubernur DKI Jakarta. Maka tak heran, jika kemudian hal tersebut mengundang berbagai spekulasi, mulai dari adanya keretakan pada koalisi pendukung Jokowi, hingga pelobian Paloh kepada Anies.

Sebab Paloh bertemu dengan Anies, serta pimpinan partai (Golkar, PKB, dan PPP) tanpa PDIP (yang saat itu sedang bersama Prabowo). Bahkan, dalam pernyataan pers, ia menyatakan dengan gamblang, tentang peluang untuk mendukung Anies sebagai Capres di Pemilu 2024 mendatang.

Menanggapi peristiwa tersebut, Direktur Center for Indonesia Reform (CIR), Sapto Waluyo, menilai fenomena ini sebagai hal yang wajar dalam komunikasi politik.

“Tiap elite politik bermanuver untuk memenangkan kepentingannya, meski sebelumnya berkompetisi sengit, tetapi kita tidak bisa menyimpulkan akan terbentuk konstelasi baru berdasarkan manuver jangka pendek. Harus dilihat kesepakatan politik yang lebih substansial,” tutur Sapto yang sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Indonesia (UI) itu.

Lembaga Kajian Strategi dan Pembangunan (LKSP) pun turut menelusuri persepsi publik, terhadap kemungkinan munculnya konstelasi baru dalam dunia politik nasional.

“Polarisasi politik telah menggejala di dunia nyata, termasuk dalam pemberitaan media online dan percakapan media sosial,” ungkap Direktur LKSP, Muhsinin Fauzi, yang menjelaskannya melalui tools analisis big data.

Tracking isu dilakukan pada 1 Juni-23 Juli 2019. Metode pemantauan yang diterapkan, adalah dengan cara menyedot informasi percakapan serta pemberitaan di berbagai kanal, kemudian menyeleksinya dengan kata kunci yang relevan. Setelah itu, baru ditentukan jangkauan isu dan sentimen yang di-ungkap warganet.

Berikut hasil monitoring tersebut, dilansir dari Bekasi Media:

1. Pertemuan Prabowo-Mega menarik perhatian publik. Namun, tidak cukup besar (hanya 11,67 juta jangkauan netizen. Percakapan lebih banyak dilakukan di media sosial Twitter (87,09 persen), Media mainstream (7,07 persen), dan Blog (3,46 persen).

2. Pertemuan Anies- Paloh menyita lebih banyak perhatian netizen (15,27 juta jangkauan), mayoritas melalui media sosial Facebook (55,54 persen), Twitter (22,79 persen), Media mainstream (12,82 persen), dan Instagram (5,56 persen). Pertemuan tersebut sangat mengejutkan, baik bagi kubu Anies (yang didukung Gerindra dan PKS), pun kubu Paloh (yang berkoalisi dengan PDIP).

3. Rekonsiliasi yang ditawarkan Amien Rais, lebih luas lagi, menjangkau perhatian 51,22 juta warganet, melalui media sosial Twitter (74,65 persen), Facebook (9,65 persen), Media mainstream (9,01 persen), dan YouTube (3,97 persen). Amien sendiri, dipandang oleh pendukung 02, telah melunak, tetapi pendukung 01 justru melihat Amien kebablasan, hingga menyodorkan porsi kekuasaan 55:45.

4. Namun, yang paling menarik, adalah sikap PKS Oposisi, yakni menyita paling besar perhatian netizen (156,09 juta jangkauan), baik di kanal utama Facebook (50,21 persen), Twitter (35,15 persen), Media mainstream (6,25 persen), YouTube (4,55 persen), dan Instagram (2,82 persen). Sikap tersebut sangat bisa dipahami, karena mewakili kegelisahan publik pasca Pilpres.

Sementara dari segi sentimen netizen, ditemukan hasil sebagai berikut:

1. Pertemuan Prabowo-Mega mendapat porsi Share of Voice (SoV) yang rendah (3,14 persen), dengan sentimen positif (83 persen), netral (9 persen), dan negatif (8 persen), serta total pembicaraan: 254 mention. Pertemuan itu sudah bisa diprediksi publik, setelah bertemunya Prabowo dengan Jokowi, karena Jokowi selama ini dikenal sebagai “petugas PDIP” (partai yang dipimpin Mega).

2. Pertemuan Anies-Paloh juga mendapat SoV yang rendah, yakni 6,33 persen, dengan sentimen negatif tinggi (61 persen), dan sentimen positif (38 persen), serta netral (1 persen). Total pembicaraan: 125 mention, berisi “penolakan” publik (mungkin berasal dari pendukung Anies yang kecewa, atau sebaliknya pendukung Nasdem yang tidak setuju dengan manuver Paloh). Emosi publik pun seperti di-aduk-aduk.

3. Rekonsiliasi politik yang ditawarkan Amien, memperoleh SoV cukup besar, yakni 21,55 persen. Sebagian besar publik menanggapi positif (95 persen), negatif (3 persen), dan netral (2 persen), dengan total pembicaraan: 858 mention. Mereka yang bersikap positif, melihat hal tersebut sebagai sebuah terobosan dari kebuntuan politik, sedangkan yang menilai negatif, menganggap itu sebagai langkah Amies mengemis kursi kekuasaan.

4. Sikap PKS yang konsisten beroposisi mendapat SoV paling tinggi, yakni 68,99 persen. Sentimen netizen pun cenderung positif (95 persen), netral (3 persen), dan negatif (2 persen) dengan total pembicaraan: 2.750 mention.

Manuver politik elite, terlihat mengguncang perasaan publik yang terbelah selama bahkan pasca Pilpres. Rasa kecewa dan marah, melanda mereka yang merasa telah berkorban tenaga, harta, dan suara.

Termasuk beberapa korban nyawa yang harus jatuh dalam kerusuhan, saat mengawal hasil Pemilu di gedung Bawaslu.

“Para elite asyik berkomunikasi satu sama lain untuk membangun formasi kekuasaan yang mengakomodasi kepentingan mereka, sementara rakyat dibiarkan kebingungan tanpa kejelasan arah politik,” ujar Muhsinin.

Itulah sebabnya, mengapa sikap konsisten seperti yang ditunjukkan elite PKS, menjadi saluran yang tepat untuk menampung kegelisahan publik.

Masyarakat menaruh harapan, agar demokrasi bisa tetap dikawal dengan kekuatan oposisi (penyeimbang) yang solid dan berpengaruh. Jika kondisi memaksa, maka kekuatan oposisi yang kecil pun, bisa berkolaborasi dengan civil society yang kini bangkit dan bersikap kritis.

“Masyarakat perlu memahami perubahan konstelasi politik nasional tidak terjadi serta-merta dalam jangka pendek, yang terlihat saat ini adalah ‘manuver elite’ untuk mengakomodasi kepentingan masing-masing. Jadi masih bisa berubah setiap detik,” lanjut Sapto.

Dalam jangka menengah, mungkin akan terbangun “pola kerja sama” antar partai politik, seperti dalam formasi kepemimpinan di legislatif, atau anggota kabinet.

Itu pun, belum menggambarkan konstelasi utuh, karena ada “praktek kebijakan” yang terbentuk oleh kesamaan ideologi, visi, dan misi.

Lebih kompleks-nya lagi, di balik kerja sama politik formal antar elite dan partai, ada bandar yang berperan membangun konstelasi yang tepat, untuk melayani kepentingan mereka, karena politik Indonesia memang dicirikan dengan dominasi oligarki.