Berita  

Mantan Hakim MK Sebut Keteledoran UU Ciptaker Tak dapat Diterima

UU Cipta Kerja Tak dapat Diterima

Ngelmu.co – I Dewa Gede Palguna, selaku mantan Hakim Konstitusi, menilai keteledoran dalam pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker), tidak bisa diterima.

Kelalaian penekenan UU Nomor 11 Tahun 2020, itu bertentangan dengan prinsip keseksamaan serta kehati-hatian, dalam praktik pembentukan hukum.

“Tak perlu menjadi hakim konstitusi untuk menilai dan mengatakan, bahwa kelalaian semacam itu adalah keteledoran yang tidak dapat diterima,” kata Palguna.

“Secara politik maupun secara akademik,” sambungnya, mengutip CNN, Rabu (4/11).

Menurut Palguna, negara yang menganut konsep ‘Civil Law’, seperti Indonesia, sulit untuk bisa menerima kelalaian tersebut.

Sebab, sangat bergantung pada penalaran hukum dalam suatu undang-undang.

Maka itu, Palguna menegaskan, masih sangat mungkin bagi Mahkamah Konstitusi (MK), membatalkan aturan tersebut.

Jika memang dalam prosesnya, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

Meskipun, lanjut Palguna, selama ini belum pernah ada contoh kasus seperti itu.

“Selama ini belum pernah ada presedennya. Namun, saya yakin, MK, akan sangat berhati-hati dalam soal ini,” ujarnya.

Jika suatu aturan sudah diundangkan dan diberi nomor, lanjut Palguna, maka tidak ada cara lain untuk memperbaiki naskah tersebut.

Selain revisi undang-undang (perubahan), melalui forum resmi antara DPR dan pemerintah.

Tetapi dalam prosesnya, pengujian MK, masih sangat mungkin, karena objek hukum tersebut sudah sah secara konstitusi.

“Kalau sudah diundangkan, berarti sudah sah menjadi objek pengujian konstitusionalitasnya,” jelas Palguna.

“Baik proses pembentukan, maupun materi muatannya. Tidak perlu menunggu revisi,” pungkasnya.

Baca Juga: Akui Kekeliruan UU Ciptaker, Mensesneg: Teknis Administratif, Tak Pengaruh Terhadap Implementasi

Penekenan UU Nomor 11 Tahun 2020, oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), berlangsung pada Senin (2/11) lalu.

Situs setneg.go.id, telah mengunggah salinan naskah UU, berjumlah 1.187 halaman, pada malam harinya.

Tak lama setelah naskah beredar, banyak pihak mengaku menemukan kejanggalan. Salah satunya pada Pasal 6, yang merujuk ke Pasal 5 ayat (1) huruf a.