Mau ke Mana Lagi Firli Bahuri Setelah Ini?

Ke Mana Firli Bahuri

Ngelmu.co – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang, duduk di hadapan dua penyidik Polda Metro Jaya.

Keduanya yang pernah bertugas di KPK, mereka memeriksa Saut sebagai saksi ahli pada Selasa (17/10/2023).

Tepatnya untuk kasus dugaan pemerasan oleh Ketua KPK Firli Bahuri terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.

Tidak lama, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak, ikut memasuki ruangan pemeriksaan.

Melihat Ade, Saut sontak bertanya soal keseriusan polisi menangani kasus Firli.

Sekilas membahas, Firli merupakan pensiunan jenderal bintang tiga Polri yang menjabat sebagai Ketua KPK sejak Desember 2019.

Saut kemudian bertanya, “Ini serius enggak, nih? Kalau enggak serius, gue tinggalin.”

Demikian pernyataan Saut saat menceritakan ucapannya kepada Ade dalam perbincangan dengan Kumparan, Jumat (27/10/2023).

Mendengar pertanyaan Saut tersebut Ade pun menjawab, “Serius ini, serius.”

Pertemuan Firli dengan Syahrul

Ade meneken surat panggilan pemeriksaan terhadap sopir dan ajudan Syahrul pada 25 Agustus 2023 terkait kasus dugaan pemerasan oleh Firli.

Polda Metro Jaya menangani kasus ini setelah adanya laporan masyarakat pada 12 Agustus 2023.

Awalnya, Ade hanya menyebut dugaan pemerasan itu dilakukan oleh pimpinan KPK.

Ia tidak menyebut spesifik nama pimpinan KPK yang dimaksud.

Namun, ketika kasus mulai bergulir dan para saksi diperiksa, tabir pun terbuka; gara-gara Firli sendiri.

Pada 5 Oktober, saat Syahrul diperiksa Polda Metro Jaya sebagai saksi, Firli sudah menyatakan bakal ada tudingan pemerasan terhadap dirinya.

Di sela konpers kasus Wali Kota Bima M Lutfi, ia tiba-tiba bicara soal kebiasaannya bermain badminton dua kali sepekan.

Ia juga mengatakan, tidak pernah bertemu pihak berperkara, apalagi sampai menerima uang.

Keesokan harinya–6 Oktober–saat Polda Metro Jaya menaikkan kasus pemerasan oleh pimpinan KPK ke tahap penyidikan, foto Firli berpakaian olahraga tengah mengobrol dengan Syahrul, tersebar.

Kabarnya, keduanya bertemu di GOR Tangki, Mangga Besar, Jakarta Barat saat Firli turun minum ke pinggir lapangan.

Tiga hari kemudian–9 Oktober–Firli mengaku pernah bertemu Syahrul. Namun, ia menyebut pertemuan itu bukan merupakan inisiatifnya.

Menurut Firli, ia tidak cuma berdua dengan Syahrul, dan sang menteri saat itu belum berstatus pihak berperkara di KPK.

Berkaitan pertemuan Firli dengan Syahrul inilah, Polda Metro Jaya menghadirkan Saut Situmorang.

Polda Metro Jaya meminta keterangan Saut tentang bagaimana sikap pimpinan KPK saat menangani sebuah kasus.

Firli Bela Diri, Saut Beri Bantahan

Tanpa tedeng aling-aling, Saut tegas menyebut Firli ngawur!

Saut tidak membenarkan alasan Firli yang menyebut bahwa pertemuan dengan Syahrul itu terjadi pada 2 Maret 2022; sebelum KPK memulai penyelidikan kasus yang bersangkutan pada Januari 2023.

“Firli itu ngawur. Penyelidikan [terkait kasus di Kementan yang melibatkan Syahrul] dimulai Januari 2023, sedangkan penyidikannya mulai September 2023.”

“Tapi ‘kan surat pengaduan masyarakat soal itu sudah masuk, setidaknya tahun 2021. Kasus terhitung ditangani, mulai surat pengaduan resmi masuk ke KPK.”

Artinya? Meskipun KPK memulai penyelidikan terhadap Syahrul pada 2023, bukan berarti KPK tidak tahu informasi soal kasus tersebut pada 2022; saat Firli bertemu Syahrul.

Pernyataan Saut ini terkonfirmasi oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Alex membenarkan bahwa laporan masyarakat tentang dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan), masuk ke KPK sejak awal 2020.

Proses pengumpulan informasinya juga mulai sejak Januari 2021.

Menurut Saut, dalam hal ini terjadi ketidakseimbangan informasi [asymmetric information] antara KPK dan publik.

Pasalnya, pimpinan KPK menguasai semua informasi dari surat pengaduan yang masuk ke lembaga mereka.

“Pada prosesnya, dari masuknya pengaduan masyarakat sampai ke meja pimpinan KPK, ada potensi abuse of power, karena asymmetric information tersebut.”

Demikian penjelasan Saut yang pernah 18 tahun bertugas di Badan Intelijen Negara (BIN).

Penyalahgunaan Wewenang?

Penyalahgunaan wewenang itu misalnya terjadi saat pimpinan KPK, memanfaatkan situasi demi keuntungannya; dengan menemui pihak yang berpotensi berperkara atau yang disebut dalam pengaduan masyarakat.

“Kalau pimpinan KPK otaknya kotor, dia bisa taruh orang di situ [penerimaan pengaduan masyarakat], yang bagian buka surat.”

“Pimpinan KPK menguasai semua informasi [yang masuk tersebut], dan bisa memerintahkan [ke pegawainya], ‘Yang ini kamu survei dulu, yang ini percepat, yang ini tahan’,” beber Saut.

Sebagai pimpinan KPK (2015–2019), Saut juga melihat sendiri pemilahan dan pemilihan terhadap surat-surat aduan yang masuk ke KPK.

“Dilihat dulu, yang oke kasih ke satgas, lalu mereka mulai mempelajari. Berikutnya panggil pengadunya, karena pengadu pasti meninggalkan nomor ponsel [kemudian proses penyelidikan pun bergulir],” jelas Saut.

Mantan penyidik KPK, Aulia Postiera juga menjelaskan jika biasanya, pengaduan masyarakat berbentuk surat, surel, atau melalui KPK Whistleblower System (KWS).

Cara-cara itu tercantum dalam situs web KPK yang juga menyertakan keterangan bahwa tindak lanjut penanganan atas pengaduan yang masuk, sangat bergantung pada kualitas laporan yang disampaikan.

“Surel dan KWS, langsung masuk ke bagian Dumas [pengaduan masyarakat], sedangkan surat, biasanya ditembuskan ke pimpinan KPK,” kata Aulia.

Saat menerima pengaduan, pegawai KPK akan memverifikasi, apakah ada penyelenggara negara yang terlibat atau tidak.

“Kalau sudah memenuhi kriteria [penyelidikan], biasanya ditelaah, apakah butuh tambahan bukti atau keterangan.”

“Kalau butuh, dilakukan pengumpulan bahan keterangan [pulbaket],” sambung Aulia.

Pada proses ini, Tim Dumas KPK kerap turun ke lapangan untuk mengonfirmasi aduan, dan mencari data serta bukti penguat.

Setelahnya, Dumas memberikan paparan ke penyelidik. Jika penyelidik mengiakan kasus tersebut, maka Dumas membuat laporan hasil pemeriksaan.

LHP Dumas

Berikutnya, laporan hasil pemeriksaan dari Tim Dumas (LHP Dumas), dikirim ke Deputi Informasi dan Data.

Ditujukan kepada Deputi Penindakan, dan ditembuskan ke pimpinan KPK.

Jadi, Ketua KPK pasti mengetahui hasil penelusuran Dumas tersebut.

“Pimpinan KPK kemudian kasih disposisi ke penyelidik untuk lakukan penyelidikan. Barulah penyelidik membuat surat perintah penyelidikan [sprinlidik],” ujar Aulia.

Proses penyusunan LHP Dumas sampai sprinlidik, lazimnya, memakan waktu sepekan.

Itu pun jika semua pimpinan KPK sudah membaca LHP Dumas terkait.

Pada rentang waktu itulah, Firli diduga melihat peluang untuk memeras Syahrul.

Baca juga:

“Pada Februari 2020, ada laporan masyarakat terkait dugaan TPK [tindak pidana korupsi] di Kementan. Satu tahun kemudian, Januari 2021, dilakukan pengumpulan informasi oleh Dumas.”

“April 2021, hasilnya dipaparkan ke Direktorat Penyelidikan, ada nota dinas dari Deputi Informasi dan Data ke Deputi Penindakan.”

“Menyangkut proses telaah pengumpulan informasi, didiskusikan dengan Satgas Penyelidikan, bahwa ini layak diselidiki.”

“Laporan ditembuskan–artinya diberitahukan–ke pimpinan KPK, bahwa pengaduan masyarakat ini sudah disampaikan ke Kedeputian Penindakan untuk dilakukan penyelidikan.”

“Pimpinan KPK tidak menerima detail hasil telaahnya, hanya executive summary, bahwa kira-kira seperti ini persoalannya.”

“Pada 27 April, Kedeputian Penindakan meneruskan laporan ke Direktorat Penyelidikan untuk dilakukan penyelidikan.”

“Di Direktorat Penyelidikan, laporan masih ditelaah lagi, tidak langsung terbit sprinlidik,” sebut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Polda Metro Jaya Panggil Tomi Murtomo

Itu mengapa, Ditreskrimsus Polda Metro Jaya ikut memanggil Direktur Pelayanan Pelaporan dan Pengaduan Masyarakat KPK Tomi Murtomo.

Tomi dipanggil sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan oleh Firli.

Pada Senin (16/10/2023), Tomi diperiksa selama 6,5 jam. Setelahnya pun ia hanya berkomentar singkat kepada wartawan, “Aman, aman.”

Saut menyatakan, celah penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK–selama periode konfirmasi pengaduan masyarakat–ini menunjukkan, betapa pentingnya keberadaan Pasal 36 Undang-Undang (UU) KPK.

Berikut bunyinya:

[Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun]

“Aturan pada Pasal 36 itu ketat, sampai ada kata-kata ‘dengan alasan apa pun’. Jadi, ketemu di jalan pun [dengan pihak berperkara], enggak bisa,” tegas Saut.

Saut bahkan pernah mengusir anggota DPRD yang tidak sengaja bertemu dengannya di restoran, dan meminta berfoto bersama.

Meski perilakunya itu tidak menyenangkan, Saut menganggapnya lebih baik daripada ia mengobrol dengan pejabat yang bisa sewaktu-waktu terlibat atau jadi saksi atas kasus tertentu.

Akankah Firli, Lolos?

Pertanyaannya, akankah Firli, lolos? Sebagian pihak menyangsikan penuntasan kasus yang diduga melibatkan Firli ini.

Alasannya? Jabatan Firli yang cukup tinggi sebagai purnawirawan Komisaris Jenderal Polri, serta kelihaiannya untuk lolos dari berbagai kasus selama ini.

Namun, peneliti ICW Kurnia Ramadhana, tidak pesimistis, karena proses penegakan hukum terkait kasus ini sudah bergerak maju; dari penyelidikan ke penyidikan.

Polda Metro Jaya juga sudah memeriksa Firli beserta ajudannya, menggeledah rumah yang bersangkutan, dan menyita sejumlah barang bukti dari kediamannya tersebut.

“Dari kacamata penegakan hukum, ketika ada upaya paksa berupa penggeledahan dan penyitaan, itu menandakan aparat sudah yakin dengan peristiwa pidananya.”

“Tinggal mencari tersangkanya,” kata Kurnia.

Lebih lanjut, dalam konteks ini pun subjeknya sudah jelas, yakni pimpinan KPK.

Selama ini, bukti petunjuknya juga sudah ramai beredar, yakni foto Firli saat bertemu dengan Syahrul di GOR badminton.

“Pertanyaan lanjutannya, pertemuan [Firli dan SYL] itu membincangkan apa? Apakah terkait penanganan perkara di KPK?”

“Kalau iya, maka itu jelas delik, dan Firli terancam, dapat diancam dengan pidana penjara,” tutur Kurnia.

Pasal 65 UU KPK

Bagaimana dengan Pasal 66 UU KPK?

[Tiap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun]

Menurut sejumlah sumber di kalangan penegak hukum, kali ini Firli tidak bakal lolos.

Meski Firli disebut telah menemui pimpinan Polri. Namun, hasilnya tidak ada.

Alat bukti kuatnya, Kapolri pun bergeming. Kemungkinan besar, kasus akan dilanjutkan sesuai prosedur.

Bagaimana soal kabar pertemuan Firli dengan Kapolri yang tidak membuahkan hasil itu?

Pengacara Firli, Ian Iskandar, mulanya tidak membantah maupun membenarkan.

“Silakan tanya ke Pak Kapolri,” jawabnya singkat.

Namun, saat kedua kalinya dihubungi, Ian mengaku tidak tahu informasi tersebut, dan menyebutnya sebagai fitnah untuk memojokkan Firli.

“Sekarang memang semuanya ke beliau itu framing dan fitnah,” klaim Ian.

Mengalirnya Uang Haram

Berdasarkan informasi yang terkumpul, beberapa terperiksa mengakui bahwa Firli menerima uang dari Syahrul dalam tiga kali pertemuan.

Awalnya, total uang yang bakal diterima Firli berkisar Rp60-100 milliar.

Namun, Syahrul tidak menyanggupi jumlah sebesar itu.

Sejauh ini, Firli baru menerima Rp1 miliar pada tiap pertemuan dengan Syahrul.

Oleh karena ia sudah tiga kali bertemu dengan Syahrul di tahun 2022, maka dugaannya adalah uang yang sudah diterima Firli berjumlah Rp3 miliar.

Sampai saat ini, polisi telah memeriksa 55 saksi. Selain Direktur Dumas KPK Tomi Murtomo, ada juga Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar, dan ajudan Firli, Kevin Egananta Joshua.

Irwan merupakan mantan bawahan Firli di Polda NTB pada 2017 yang juga berkerabat dengan Syahrul.

Irwan yang diduga mengatur pertemuan antara Firli dengan Syahrul, menyebut pertemuan awal keduanya terjadi pada Februari 2021.

“Pernah tahun 2021, kira-kira bulan Februari, saya diminta menemani Pak SYL untuk menemui Pak Firli.”

“Dalam rangka membangun atau membuat MoU kerja sama pencegahan tindak pidana korupsi di Kementan,” kata Irwan.

Meski demikian, ia membantah terlibat penyerahan uang dari Syahrul ke kantong Firli. Menurutnya, “Itu tidak betul.”

Bagaimana dengan ajudan Firli yang juga diperiksa, yakni Kevin Egananta?

Kini, ia telah ditarik kembali ke Bareskrim Polri untuk menghindari adanya tekanan terhadapnya jika terus menjadi ajudan Firli.

Menurut sumber di lingkup penegak hukum, tekanan juga sempat diterima beberapa penyidik yang menangani kasus ini.

Akankah Firli Bahuri, Dinonaktifkan?

ICW meyakini polisi telah menemukan bukti kuat, sehingga penetapan tersangka terhadap Firli tinggal menunggu waktu.

Dari beredarnya foto Firli bersama Syahrul dan digeledahnya rumah Firli, menurut Kurnia, terlihat bahwa Firli memang layak ditetapkan sebagai tersangka.

“Maka jika masyarakat menyangka bahwa Firli adalah pelaku di balik pemerasan terhadap pihak yang sedang berperkara [Syahrul Yasin Limpo], itu tidak salah,” tutur Kurnia.

Kalau Firli benar-benar menjadi tersangka, Kurnia dan Aulia Postiera, mendesak agar manusia satu ini dinonaktifkan dari jabatan Ketua KPK.

Sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang berbunyi:

[Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya]

“Kalau Firli jadi tersangka, ini merupakan skandal besar di dunia. Pertama kalinya Ketua KPK di suatu negara, jadi tersangka korupsi,” sentil Aulia.

Sehubungan dengan seriusnya kasus yang menjerat Firli, Aulia juga menyarankan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi), memberikan diskresi untuk menunda putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK yang kini berlaku llima tahun; dari sebelumnya empat tahun.

Jika aturan lima tahun masa jabatan pimpinan KPK itu berlaku mulai saat ini, artinya, Firli masih akan menjabat setahun lagi, padahal dengan kasus yang membelitnya, hal tersebut akan makin dalam mencoreng citra KPK serta penegakan hukum di Indonesia.

“Lebih baik, presiden menunjuk orang-orang kredibel untuk setahun ke depan, supaya KPK bisa tetap dipercaya,” kata Aulia.

UU KPK Perlu Direvisi!

Saut Situmorang juga berpendapat bahwa kasus Firli, membuka mata publik bahwa UU KPK, perlu direvisi.

Menurutnya, KPK sebaiknya dipimpin satu orang saja.

Meski satu orang ini belum pasti baik, setidaknya publik hanya perlu mengawasi satu orang tersebut.

Selain merampingkan struktur kepemimpinan KPK, Saut juga mengusulkan agar Dewan Pengawas KPK, dibubarkan.

Sebagai gantinya, Pengawas Internal KPK dihidupkan kembali, karena mereka dapat bertindak proaktif.

“Ketua KPK ke mana, diam-diam diikuti, dilihat ngapain saja, ketemu siapa saja.”

“Jadi, tidak menunggu laporan kejadian [penyalahgunaan wewenang],” jelas Saut.

Ia merasa hal itu lebih efektif ketimbang Dewan Pengawas yang hanya bertindak saat ada laporan masuk yang menurut Saut, lebih tepat disebut ‘Dewan Penerima Pengaduan’.