Penelitian Akademisi NU, Toleransi Beragama Mahasiswa PTN Masih Tinggi

Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) Wilayah Jabodetabek dan Banten membubarkan diri pada Jumat (14/9/2018) petang usai menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi di Kementerian Keuangan. (Warta Kota/Feryanto Hadi)

Ngelmu.co, JAKARTA – Seringkali masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan sejumlah kampus menjadi salah satu pelopor intoleransi. Rupanya hal tersebut dibantah melalui kajian akademis.

Adalah penelitian tentang tingkat toleransi beragama yang dilakukan Universitas Indonesia (UI) menunjukkan bahwa secara umum tingkat toleransi beragama di kalangan mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) masih cukup tinggi.

“Dari sisi persepsi dengan batasan nilai minimal 4 dan maksimal 18, didapatkan hasil rata-rata nilai adalah 16,3. Sedangkan toleransi dalam aspek sikap dengan batasan nilai minimal 5 dan maksimal 18, didapatkan hasil bahwa rata-rata nilainya adalah 14,6,” kata ketua tim penelitian, Yon Machmudi PhD, di Jakarta, Senin (26/11/2018) seperti dikutip dari Antaranews.com.

Hasil penelitian itu dilakukan Universitas Indonesia (UI) melalui program pengabdian masyarakat (pengmas) untuk skema UI Peduli Kajian Strategis.

Penelitian dipimpin oleh Yon Machmudi PhD dengan anggota Dr Nurwahidin, Kinta Hermawan MSI, dan Muhammad Akmal Farraz S.Ikom. Fokus utama yang diteliti adalah bagaimana tingkat toleransi di perguruan tinggi dan bagaimana pola asuh serta pendidikan agama berpengaruh terhadap toleransi di kalangan mahasiswa.

Penelitian ini dilakukan dengan menyebar kuesioner secara online di kalangan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi negeri di wilayah Jabodetabek pada Maret-November 2018. Ada sekitar 1004 mahasiswa dari tiga perguruan tinggi yang berpartisipasi dalam survei ini yaitu dua PTN umum dan satu PTN berbasis agama. Namun setelah dilakukan cek validitas dinyatakan ada 799 responden yang dinyatakan valid datanya.

Profil dari responden adalah 97 persen muslim dan tiga persen non muslim serta 80 persen pernah mengikuti kegiatan keagamaan di kampus.

Rendah Yon Machmudi yang juga Ketua Prodi Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Glolbal UI ini menambahkan, hasil penelitian lainnya adalah mahasiswa dengan pola asuh otoritarian di mana kedua orang tua cenderung keras dan tidak memberikan kesempatan anaknya untuk memilih maupun berbeda, menunjukkan hasil tingkat toleransi yang rendah.

Dari sekitar 175 mahasiswa yang berasal dari tipe pengasuhan ini sebanyak 115 (65 persen) responden memiliki toleransi beragama di bawah rata-rata.

Sementara pola pengasuhan otoritatif atau demokratis di mana orang tua memberikan arahan dan tanggung jawab kepada anak-anaknya menunjukkan sebagian besar dari mahasiswa memiliki tingkat toleransi beragama tinggi.

“Hasil penelitian ini penting untuk disampaikan bahwa sikap tidak toleran maupun toleran itu tidak muncul begitu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua terutama sejak masa anak-anak maupun awal dewasa. Pendidikan agama baik formal maupun informal perlu ditingkatkan agar dapat berpengaruh positif dalam menumbuhkan toleransi di perguruan tinggi,” katanya.

Kesimpulannya, lanjut dia, toleransi agama itu dapat berkembang dalam diri mahasiswa maka pendidikan toleransi perlu diperkenalkan sejak dini di keluarga dan dikuatkan di level pendidikan formal secara berjenjang terutama di level universitas.

“Hal yang menarik dari penelitian ini adalah walaupun toleransi beragama mahasiswa di tiga perguruan negeri ini cukup tinggi tetapi aspek toleransi politiknya menunjukkan data yang berbeda,” katanya.

Untuk toleransi politik yang dalam tahap mengkhawatirkan ini, kata Yon, nampaknya perlu penguatan pemahaman tentang demokrasi di kalangan mahasiswa. Tentu yang dimaksud demokrasi di sini adalah bukan demokrasi liberal tetapi demokrasi Pancasila yang sesuai dengan budaya Indonesia.

“Saya yakin kecenderungan toleransi politik di bawah rata-rata ini tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa tetapi juga terjadi di tingkat elite. Namun ini perlu penelitian baru yang lebih mendalam,” kata pria yang juga berlatar belakang Nahdlatul Ulama ini.

Yon menambahkan, penelitian ini telah melalui uji kevalidan yang tinggi karena instrumen yang digunakan telah diuji melalui uji pakar (expert judgment) dari beberapa ahli di bidang psikologi, kajian Islam maupun statitistik. Beberapa ahli yang telah memberikan masukan dalam penelitian ini adalah Gagan Hartana (ahli statistik) Mayke S Tedjasaputra (psikolog) dan Dr Sri Mulyati (ahli agama).