Said Aqil, “Tidak Ada Istilah Kafir untuk Non-Muslim”

Ngelmu.co – Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat resmi ditutup. Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj menyampaikan rekomendasi komisi-komisi dari hasil rapat pleno Munas Ulama, salah satunya tidak menyebut kafir kepada non-Muslim.

Related image

Dalam video berdurasi 2:33:01 yang diunggah oleh akun YouTube NU Channel, pada menit ke 1:33:41, Said Aqil memulai pembahasannya mengenai penyebutan kafir pada non-Muslim. Menurutnya, setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi, istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu bangsa dan negara.

“Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa, tidak dikenal istilah kafir. Maka, setiap warga negara, memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi,” kata Said Aqil, Jumat (1/3/2019).

“Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekkah, untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar. Tapi Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku non-Muslim di madinah, di sana disebut non-Muslim, tidak disebut kafir,” tandasnya.

Said juga menjelaskan jika berdasarkan konstitusi, tidak ada lembaga yang boleh mengeluarkan fatwa, kecuali Mahkamah Agung. Maka, hasil musyawarah tersebut bukanlah fatwa.

“Kalau ini hasil musyawarah ulama, bukan fatwa. Karena Indonesia bukan negara agama, beda dengan negara timur tengah yang ada mufti. Namun, sejurus dengan itu. Tidak boleh ada warga negara Indonesia yang tidak beragama. Maka, ada Kementerian Agama, tapi tidak ada darul fatwa,” ujarnya.

Baca Juga: Said Aqil Sebut Selain Imam Masjid, Khatib, KUA dari NU, Salah Semua

Sekretaris LBMNU Jatim yang juga tim perumus, Ahmad Muntaha mengatakan bahwa non-Muslim dalam suatu negara bangsa tidak dapat masuk dalam kategori kafir. Karenanya, ia menyampaikan jika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka adalah warga negara atau muwathin yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama serta setara, sebagaimana lainnya.

“Jangan sebut kafir kepada non-Muslim. Ini juga melatih bahwa salam konteks sosial kemasyarakatan seorang muslim semestinya tidak memanggil non-Muslim dengan panggilan yang sensitif ‘hai kafir’,” tutur Ahmad.

Usai acara, Said Aqil kembali menegaskan pernyataannya, “Ada 15 masalah, tapi yang saya sampaikan lima poin yang sangat penting. Pertama, sebagai negara bangsa, maka tidak ada istilah Muslim (dan) kafir, yang ada Muslim (dan) non-Muslim”.