Berita  

Selang Sehari, Kapolri Cabut Telegram Larang Media Siarkan Arogansi Aparat

Kapolri Cabut Telegram Larang Media
Listyo Sigit Prabowo saat pelantikan sebagai Kapolri pengganti Idham Azis di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (27/1). Foto: YouTube/Sekretariat Presiden.

Ngelmu.co – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan ST [surat telegram] Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021, pada Senin (5/4) lalu.

Selang sehari, tepatnya Selasa (6/4) kemarin, Kapolri Jenderal Listyo pun memutuskan untuk mencabut ST yang memuat 11 poin tersebut.

Keputusan yang tertuang dalam STR Nomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 itu diteken oleh Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono.

“Sehubungan dengan referensi di atas, kemudian disampaikan kepada kepala bahwa ST Kapolri sebagaimana referensi nomor empat di atas dinyatakan dicabut/dibatalkan.”

ST baru ini juga telah dibenarkan oleh Argo, “Ya, [benar],” tuturnya, Selasa (6/4), mengutip CNN.

Respons Pakar Hukum Pidana

Pakar hukum pidana Suparji Ahmad pun merespons keputusan Kapolri Jenderal Listyo.

“Terpenting, Polri bukan melarang penyiaran arogansi, tetapi melarang dan mencegah arogansi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, mengutip JPNN, Selasa (6/4).

Lebih lanjut, Suparji memberi catatan, bahwa penyiaran olah TKP tetap perlu, selama tidak mengganggu proses hukum.

“Selama proses hukum bisa berjalan dengan baik, wartawan berhak menyiarkan olah TKP,” tegasnya.

“Terlebih, hak mendapat informasi oleh masyarakat terpenuhi,” jelas Suparji.

Ia juga berharap, dalam membuat kebijakan, ke depannya, Polri dapat menyesuaikan dengan konsep presisi.

“Jangan sampai melanggar aturan atau undang-undang yang berlaku,” pesan Suparji.

“Kebijakan jangan sampai kontraproduktif dengan nilai-nilai presisi,” lanjutnya.

Sebelumnya, dalam ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021, terdapat 11 poin yang salah satunya mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak.

Tentang larangan bagi media internal untuk menyiarkan tindakan aparat yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

Dewan Pers Meminta Penjelasan

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Arif Zulkifli, bertanya sekaligus meminta penjelasan, agar tidak terjadi kesalahpahaman.

“Kapolri dan Humas Mabes Polri harus menjelaskan lebih jauh tentang yang dimaksud dengan telegram ini,” tegas Arif, Selasa (6/4).

Tujuannya agar jelas, apakah imbauan tersebut ditujukan kepada Humas di lingkungan Polri.

“Atau ini adalah perintah kepada Kapolda-kapolda, agar media-media di lingkungan Kapolda, tidak menyiarkan?” sambung Arif bertanya.

“Jadi, biar tidak terjadi ambigu, dan salah paham. Jangan sampai salah paham juga, kita nangkapnya apa, maksud Kapolri apa,” imbuhnya lagi.

AJI Mengecam

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), bahkan mengecam ST yang mengatur peliputan media massa di lingkungan Polri itu.

Sebab, pihaknya menilai aturan tersebut akan menghalangi kerja media massa.

“Terutama poin satu, berpotensi menghalangi kinerja jurnalis,” kritik Ketua Umum AJI Sasmito Madrim, mengutip CNN, Selasa (6/4).

“Karena di dalamnya tertulis, media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan kekerasan,” sambungnya.

Aparat kepolisian, lanjut Sasmito, kerap menjadi aktor yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat, termasuk jurnalis.

Itu mengapa AJI, meminta Kapolri untuk mencabut kembali ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021.

“AJI meminta ketentuan itu dicabut, jika dimaksudkan untuk membatasi kinerja jurnalis,” tegas Sasmito.

Baca Juga: Politikus Golkar Dukung Kapolri Larang Media Internal Siarkan Arogansi Aparat

Sebaiknya, lanjut Sasmito, Listyo fokus menertibkan anak buahnya, agar tidak lagi melakukan kekerasan ketika bertugas.

Salah satu cara terpenting adalah dengan memproses hukum seluruh anggota Polri yang terlibat kekerasan.

“Terbaru, kasus Jurnalis Tempo, Nurhadi, di Surabaya,” beber Sasmito.

“Bukan sebaliknya [justru] memoles kegiatan polisi menjadi humanis,” lanjutnya.

Kata LBH Pers

Direktur LBH Pers Ade Wahyudi, bahkan menilai ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021, sangat berpotensi melanggar UU 40/1999 tentang Pers.

Telegram tersebut, sambungnya, bernuansa pelarangan meliput kekerasan aparat.

“Fungsi pers, justru harus menjadi kontrol jalannya pemerintahan dan penegakan hukum,” jelas Ade.

Itu mengapa, melalui kerja jurnalistik, pelanggaran para pejabat publik atau aparat, wajib sampai ke telinga masyarakat.

Wartawan, kata Ade, wajib mengabarkan kekerasan oleh aparat kepolisian. Akses beritanya juga tidak boleh ditutup melalui telegram tersebut.

“Karena media dilarang meliput, maka nanti hanya akan ada informasi tunggal yang justru itu menutup ruang demokrasi,” kata Ade.

Netizen Ikut Menanggapi

Kabar ini juga sampai ke telinga masyarakat. Termasuk para pengguna media sosial.

Maka tak heran jika netizen pun ikut menanggapi imbauan Kapolri soal pedoman peliputan Polri.

Salah satunya pemilik akun @ilhmL115A3, yang mengatakan, “Oke, fix ini, ya, untuk media internal mereka. Awas aja sampe media massa harus seperti media internalnya.”

Sementara @mamamunnie bertanya, “Maksudnya ditujukan untuk media internal itu apa sih? Media yang kayak apa?”

“Coba pejabut pilri yang di pi en ice bikin aturan yang sama supaya kinerja pi en ice lebih baik dan humanis,” sahut @PNS_Ababil.

Berikut 11 poin pedoman peliputan Polri yang dimaksud:

  1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.
  2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.
  3. [Tidak] menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.
  4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan atau fakta pengadilan.
  5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan.
  6. Menyamarkan gambar dan identitas korban kejahatan seksual, keluarganya, serta pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.
  7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual, keluarganya, serta orang diduga pelaku dan keluarganya yaitu korban di bawah umur.
  8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan reka ulang bunuh diri dan identitas pelaku.
  9. Tidak menayangkan tawuran atau perkelahian secara detail.
  10. Dalam upaya penangkapan pelaku tidak membawa media, dan tak boleh disiarkan secara live.
  11. Tidak menampilkan gambar secara eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

Penjelasan Polri

Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, pada Selasa (6/4), memberikan penjelasan.

Bahwa, aturan tersebut untuk media internal Polri, bukan media massa umum.

“Iya, tujuannya agar kinerja Polri di kewilayahan semakin baik, humanis, dan profesional,” kata Ramadhan.

“Ini ditujukan untuk internal, bukan untuk media [umum]. Artinya media yang dimaksud pun media intenal,” imbuhnya.

Karo Penmas Polri Brigjen Rusdi Hartono juga menekankan, “Lihat STR itu, ditujukan kepada Kabid Humas.”

“Itu petunjuk dan arahan dari Mabes, ke wilayah. Hanya untuk internal,” akuannya, Selasa (6/4).

“Pertimbangannya, agar kinerja Polri di kewilayahan semakin baik,” pungkas Rusdi.