Berita  

Setahun Jokowi-Ma’ruf, Indef: Tiap Penduduk Tanggung Utang Rp20,5 Juta

Jokowi Ma'ruf Utang Negara

Ngelmu.co – Selasa, 20 Oktober 2020, genap setahun, Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, menjabat sebagai presiden dan wakil presiden. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, pun mengulas kinerja pemerintah.

Menyoroti Utang Negara

Salah satu yang menjadi perhatiannya adalah nilai utang negara yang semakin bertambah.

“Setiap satu orang penduduk, di era Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, tercatat menanggung utang Rp20,5 juta,” kata Bhima, seperti dilansir Liputan 6.

“Itu diambil dari perhitungan utang pemerintah, Rp5.594,9 triliun, per Agustus 2020, dibagi 272 juta penduduk,” jelasnya, Senin (19/10).

Bhima, juga tidak menyangkal jika beban utang itu, akan semakin membesar.

Pasalnya, pertumbuhan ekonomi nasional, mengalami penurunan hingga menyentuh level -5,32 persen, pada kuartal II 2020, akibat terlambatnya penanganan COVID-19.

Kenyataan yang justru berbanding terbalik dengan Cina, negara asal pandemi.

Negeri Tirai Bambu, mencatatkan pertumbuhan positif 3,2 persen, pada periode yang sama.

Begitu pun dengan Vietnam, yang tumbuh positif 0,3 persen, karena respons cepat pada pemutusan rantai pandemi.

Mereka, menerapkan kebijakan lockdown, sekaligus menjadi negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan Cina.

Indonesia Urutan ke-6

Bhima, mengutip catatan International Debt Statistics 2021 dari Bank Dunia.

Indonesia, tercatat menempati urutan ke-6 tertinggi Utang Luar Negeri (ULN), yakni USD 402 miliar.

Jika membandingkan dengan negara berpendapatan menengah dan rendah lainnya, seperti Argentina, Afrika Selatan, hingga Thailand, beban ULN itu, jauh lebih besar.

Bahkan, angka ini berpotensi semakin membesar, mengingat pandemi COVID-19, belum juga mereda.

“Di tengah situasi pandemi, pemerintah terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak, jika ada guncangan dari kurs rupiah,” beber Bhima.

Pemerintah pun telah menerbitkan Global Bond, sebesar USD 4,3 miliar, pada 2020, yang jatuh tempo tahun 2050, atau tenor 30,5 tahun.

Artinya, kata Bhima, pemerintah sedang mewarisi utang pada generasi ke depan.

Stimulus Kesehatan dalam PEN Relatif Kecil

Ia juga menyebut, kesiapan Pemerintahan Jokowi, dalam hal stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN), menghadapi resesi ekonomi, relatif kecil.

Merujuk perbandingan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, yang 20,8 persen, dan Singapura, 13 persen, RI, hanya 4,2 persen dari PDB.

“Stimulus kesehatan dalam PEN, hanya dialokasikan 12 persen,” kata Bhima.

“Sementara korporasi, mendapatkan 24 persen stimulus,” imbuhnya.

“Ada ketimpangan yang nyata antara penyelamatan kesehatan dibandingkan ekonom,” lanjutnya lagi.

Baca Juga: Berbagai Keputusan Jokowi Tuai Penolakan di Tahun Pertama Periode Kedua

Pengerjaan pembangunan infrastruktur yang giat selama setahun ke belakang, juga mencuri perhatian Bhima.

Ia, menganggap pembangunan yang jor-joran, justru jadi salah satu masalah terbesar pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Bhima, menilai program tersebut terbilang sia-sia dalam menurunkan ongkos logistik.

“(Salah satu masalah terbesar adalah) biaya logistik yang tak menurun signifikan, meskipun bangun infrastruktur di mana-mana (high cost economy),” kritiknya.

Biaya logistik, menurut catatan Bhima, masih berada pada kisaran 23-24 persen, dari produk domestik bruto (PDB).

Maka itu, ia, menyatakan pembangunan infrastruktur belum mampu menurunkan biaya logistik, karena banyak yang salah dalam perencanaan.

“Tingginya biaya logistik, menyebabkan investasi di Indonesia, berbiaya tinggi,” ujar Bhima.

Rendahnya Angka Inflasi

Ia, juga menyoroti rendahnya angka inflasi pada setahun Jokowi-Ma’ruf, yakni akibat tekanan daya beli masyarakat, selama pandemi COVID-19.

Deflasi, bahkan terjadi dalam beberapa bulan, dengan inflasi inti (core inflation), hanya 1,86 persen, per September lalu.

Inflasi yang rendah itu, turut berakibat pada harga jual barang yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dari produsen.

“Bahkan tidak sedikit yang menawarkan harga diskon, agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual,” kata Bhima.

“Dalam jangka panjang, jika inflasi tetap rendah, maka produsen akan mengalami kerugian, bahkan terancam berhenti beroperasi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Bhima, mengutip angka pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terus meningkat, dengan perkiraan jumlah mencapai 15 juta orang.

Hasil survey ADB (Asian Development Bank), pun menunjukkan UMKM Indonesia, terus mengurangi karyawan, setiap bulannya.

“Situasi di tahun 2020, sangat berbeda dari krisis 1998 dan 2008. Di mana PHK di sektor formal, dapat ditampung di sektor informal/UMKM,” tutur Bhima.

“Saat ini, 90 persen UMKM, membutuhkan bantuan finansial untuk memulai usahanya kembali,” lanjutnya.

Bertambahnya Kemiskinan

Hal ini, sambung Bhima, dapat berakibat pada laju kemiskinan yang kian bertambah.

Ia, mengatakan perkiraan angka kemiskinan, mencapai lebih dari 12-15 persen, akibat jumlah orang miskin baru yang meningkat.

“Data Bank Dunia, mencatat, terdapat 115 juta kelas menengah rentan miskin yang dapat turun kelas, akibat bencana, termasuk pandemi COVID-19,” ujar Bhima.

Jawaban Menkeu

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pun angkat bicara soal kenaikan utang Indonesia.

“Semua negara terjadi kenaikan,” jawabnya, dalam APBN Kita, Senin (19/10).

Sri Mulyani, menjelaskan, sejumlah negara, termasuk Indonesia, harus melakukan pelebaran defisit anggaran, guna memitigasi dampak COVID-19.

Menurutnya, bukan hanya memperlebar defisit tahun 2020, tapi juga berlanjut sampai 2021, agar berdampak juga pada rasio utang.

Sebagai informasi, tahun ini, pemerintah menetapkan defisit anggaran 6,34 persen, dan tahun depan 5,7 persen.

“Indonesia, dengan defisit yang 6,3 persen, tingkat utang kita di 38,5 proyeksinya untuk tahun ini. Tahun depan defisit anggaran kita di 5,7 persen,” beber Sri Mulyani.

Dengan demikian, rasio utang terhadap produk domestik Bruto (PDB), juga meningkat tajam.

Jika sebelumnya terjaga dengan batas 30 persen, tahun ini, bisa mencapai 38,5 persen.

Bahkan, untuk tahun depan, rasio utang akan lebih tinggi, yakni hingga 41,8 persen.

Sri Mulyani, menyebut sejumlah negara yang juga melakukan pelebaran defisit, sebagai contoh.

Seperti Amerika Serikat (AS), yang pada kuartal II, -18,7 persen, dan tahun depan masih -8,7 persen.

Artinya, rasio utang AS, juga naik melebihi 100 persen, yakni 131,2 persen, dan pada 2021, mencapai 133,6 persen.

“Jadi kalau kita lihat, semua negara terjadi kenaikan sangat tinggi utangnya. Bahkan, Jerman, yang paling hati-hati, defisitnya meningkat besar,” tegas Sri Mulyani.