Berita  

Soal Marahnya Mensos Risma ke Pendamping PKH di Gorontalo

Risma Marah di Gorontalo
Menteri Sosial Tri Rismaharini, marah-marah saat rapat bansos dengan Pemprov Gorontalo, Kamis (30/9/2021).

Ngelmu.co – Marahnya Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini kepada pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) di Gorontalo, masih menjadi perbincangan.

Lantas, bagaimana kelanjutannya?

Minta Maaf ke Istri Gubernur Rusli

Gubernur Gorontalo Rusli Habibie–yang sebelumnya mengaku tersinggung dengan sikap Risma–mengundang pendamping PKH yang bersangkutan, yakni Fajar Sidik Napu, ke kediamannya.

Mereka bertemu pada Ahad (3/10) lalu, di rumah pribadi Rusli, yang berlokasi di Kelurahan Moodu, Kota Gorontalo.

Lalu, ia mengaku, telah menerima WhatsApp pribadi dari Risma, yang terkirim ke nomor istrinya, Idah Syahidah.

Sebagai informasi, istri Gubernur Rusli, juga menempati kursi anggota Komisi VIII DPR RI.

Namun, Rusli tidak menjelaskan, apa isi pesan Risma yang terkirim ke nomor sang istri.

“Jadi, Pak Fajar, mungkin Ibu Menteri saat itu lagi capek, jadi bisa kesal.”

“Saya minta, maafkan ibu menteri, dan memaafkan saya juga. Ini hanya miskomunikasi antara kita.”

Demikian penuturan Rusli, dalam pertemuan tersebut, sebagaimana Ngelmu kutip dari situs resmi Pemprov Gorontalo, Selasa (5/10).

Rusli Minta Maaf ke Risma

Setelah membaca pesan Risma, Rusli, balik meminta maaf. “Sebagai gubernur, juga saya meminta maaf kepada Ibu Menteri.”

“Jika ada kalimat, sikap saya, yang menyinggung Ibu Menteri, untuk mohon dimaafkan,” ujarnya.

Rusli yang tak ingin memperpanjang masalah ini, meminta semua pihak untuk menyikapi dengan bijak.

“Saya takutnya, Ibu Menteri bertemu dengan warga yang tingkat kecerdasannya kurang,” ucapnya.

“Kita katakan sumbu pendek, atau gimana, maka Ibu Menteri yang balik diserang,” sambung Rusli.

“Itu yang tidak kita harapkan. Mudah-mudahan, ini yang pertama dan terakhir,” imbuhnya lagi.

Rusli juga berharap, permasalahan ini benar-benar selesai.

Ia juga menekankan, ketersinggungan sebelumnya adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai gubernur.

Sebagaimana Risma, datang ke daerahnya sebagai seorang menteri. Tidak ada kaitannya dengan politik, atau partai politik mana pun.

“Jadi, sudah clean and clear. Ini semata-mata miskomunikasi. Jadi, jangan digiring jadi opini politik,” tegasnya.

“Tidak ada hubungan sama sekali. Saya bicara sebagai gubernur, Pak Fajar sebagai koordinator,” lanjut Rusli.

“Ibu Risma datang bukan sebagai kader partai, tapi sebagai Mensos RI,” pungkasnya.

Klarifikasi Pendamping PKH

Sebagai pendamping PKH, Fajar, memberikan klarifikasi atas kejadian yang menimpanya.

Di hadapan Rusli, ia juga mengaku, telah memaafkan Mensos Risma.

“Beberapa media juga bertanya kepada saya, apakah saya keberatan dengan tindakan kemarin,” kata Fajar.

“Saya membalas, tidak mungkin saya memarahi orang tua yang memarahi saya,” imbuhnya.

“Karena bagi saya, itu bagian dari pendidikan ke kami,” jelas Fajar kepada Rusli.

Ia pun menjelaskan duduk permasalahan yang terjadi.

Saat itu, tuturnya, kepala desa menanyakan 26 nama penerima PKH kepada pejabat Kemensos, karena uang mereka belum masuk ke rekening.

Lalu, Fajar menjelaskan, hal itu terjadi lantaran daftar nama tersebut belum masuk di daftar Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).

SP2D merupakan domain Kemensos. Selanjutnya, Fajar menjelaskan, bahwa saat itu tengah terjadi proses pemadanan data.

“Sehingga terindikasi, KPM ini dinonaktifkan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS),” bebernya.

Menerima penjelasan tersebut, Risma langsung bertanya kepada staf Kemensos, dan jawabannya, data masih ada.

Begitu juga dengan pernyataan pegawai bank yang bertugas mencairkan dana.

Kontan, jawaban itu membuat Risma naik pitam, dan bangun dari kursi, menghampiri Fajar.

Sembari menunjuk-nunjuk pendamping PKH itu, Risma beberapa kali mengucap, “Tak tembak kamu.”

“Pihak bank menyampaikan, sudah dalam proses transaksi,” kata Fajar.

“Mendegar hal itu, Ibu Menteri langsung berdiri ke arah saya,” imbuhnya.

“Padahal, maksud pihak bank itu yang sudah transaksi untuk program BPNT [Bantuan Pangan Nontunai], bukan penerima PKH yang Ibu Menteri maksudkan,” jelas Fajar.

Baca Juga:

Setelah insiden, Fajar mengaku telah mengklarifikasi langsung kepada Risma.

Ia menjelaskan, jika daftar 26 nama itu masih ada di aplikasi e-PKH.

Sebagian besar di antaranya, merupakan penerima perluasan PKH (masuk daftar baru di 2021).

“Nama-nama yang belum masuk uangnya itu, PKH perluasan yang pendataannya dilakukan bulan Januari,” papar Fajar.

“Dan pengaktifannya antara bulan Juni dan Juli 2021,” sambungnya.

Di akhir, sebagai koordinator PKH, Fajar mengaku berkomitmen, bekerja sesuai prinsip SIP [santun, integritas, dan profesional].

Ia juga menegaskan, tidak pernah menghapus pun menambah data sesuka hati, karena data penerima bansos, tersimpan di Kemensos.

Respons Pengamat dan Pejabat Negeri

Beberapa pengamat dan pakar komunikasi, serta pejabat negeri, juga telah merespons kemarahan Risma kepada Fajar. Berikut di antaranya:

Selly Andriany Gantina

Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), membela Risma.

“Ya, menurut saya, ibarat keluarga, pendamping PKH ini anak dari Ibu Menteri, sedangkan Bu Menteri, ibunya. Jadi, wajar saja.”

Hidayat Nur Wahid

Sementara Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW), punya pandangan lain.

“Mestinya, Mensos membimbing dan memberikan teladan terbaik, bagaimana menyelesaikan masalah dengan komprehensif, tanpa marah-marah, yang malah menambah masalah.”

Jamiluddin Ritongga

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritongga, menilai kebiasaan marah-marah Risma, sangat tak baik.

Sebagai menteri, ujarnya, Risma seharusnya mampu mengendalikan emosi, terutama di depan umum.

“Kebiasaan marah-marah itu sudah terlihat, sejak Risma menjadi Wali Kota Surabaya.”

“Hanya saja, kebiasaan marah-marahnya itu tidak banyak di ekspos di media massa dan media sosial.”

“Akibatnya, masyarakat menilai Risma, sosok pemimpin yang baik, bijaksana, dan menghargai bawahannya.”

“Padahal, kebiasaan tersebut tidak baik, apalagi ia [seorang] menteri. Sebaiknya, di-reshuffle saja,” kata Jamiluddin, Ahad (3/10) lalu.

Ia juga menilai, bahwa sejak menjadi menteri, Risma kerap melampiaskan amarahnya.

Lalu, media massa dan media sosial, langsung mengeksposnya. Akibatnya, masyarakat pun mengetahui watak asli Risma.

“Pemimpin yang tidak dapat mengendalikan amarahnya, tentu tidak layak menjadi pemimpin.”

“Apalagi kalau ia sambil marah-marah, mengambil keputusan, tentu akan berbahaya bagi lembaganya,” jelas Jamiluddin.

Selain itu, sambungnya, marah-marahnya Risma, juga selalu membuat gaduh.

Masyarakat, kata Jamiluddin, juga menjadi lebih tahu kemarahan Risma, daripada kinerjanya.

Kejadian berulang ini, menurutnya, membuat Risma justru menjadi beban untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dengan begitu, jauh lebih baik jika Jokowi, mengevaluasi sosok Risma, sebagai menteri sosial.

Ahmad Khoirul Umam

Di sisi lain, pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menyebut gaya komunikasi Risma, berubah-ubah.

“Tidak mudah ditebak, meledak-ledak, suka marah-marah, tidak cocok untuk dibawa dalam kepempinan politik nasional.”

Demikian tutur Umam, yang tak menampik bahwa terkadang, pemimpin perlu ‘marah’ untuk menegaskan sikap, posisi, dan arahan kebijakan.

Namun, lanjutnya, jika sikap itu muncul hanya untuk menunjukkan ‘ego’ dan ‘keakuan’ seorang pemimpin, pernyataan tegas pun seharusnya cukup.

Tanpa harus menunjuk-nunjuk, dan mempermalukan orang lain, karena sejatinya, sikap itu tak pantas dilakukan.

“Tegas, tidak harus kasar. Tegas, juga bisa ditunjukkan tanpa kemarahan,” jelas Umam, Senin (4/10) kemarin.

Ia juga menilai, gaya kepemimpinan yang meledak-ledak juga tak cocok diterapkan dalam ruang demokrasi yang matang dan dewasa.

Menurut Umam, ruang politik masyarakat yang plural di Indonesia, membuat gaya komunikasi Risma, justru berpotensi kontraproduktif.

Bahkan membelah masyarakat, hingga menciptakan kegaduhan yang tidak sepatutnya terjadi.

“Terlebih jika hal itu sampai memunculkan ketersinggungan masyarakat, seperti yang disampaikan Gubernur Gorontalo belakangan ini,” papar Umam.

Ia juga mencatat, marah-marahnya Risma di ruang publik, bukan hanya sekali terjadi.

Umam pun menekankan, bahwa masyarakat tidak akan suka dengan kemarahan Risma [yang kerap dianggap sebagai simbol ketegasan].

Sebab, sebaliknya, kemarahan Risma yang berlebihan dan berulang, malah berpotensi membentuk opini publik, menganggapnya sebagai sosok yang pongah.

“Jadi, sebaiknya Mensos Risma, berlatih mengelola emosinya,” pesan Umam.

“Kepemimpinan publik harus dikelola dengan baik, bukan dengan kemarahan, atau bahkan dengan gaya politik dendam,” sambungnya.

“Yang jelas-jelas tidak mendidik bagi masyarakat demokrasi yang egaliter,” jelasnya.

Umam juga menyampaikan, bagaimana upaya mengelola emosi, bukan hanya untuk kebaikan pribadi.

Namun, untuk efektivitas dan optimalisasi kinerja pemerintahan yang tengah berjalan.

Tanggapan Satir Sudjiwo Tedjo

Kemarahan Risma yang terekam dalam video singkat–kemudian viral di media sosial–juga mengundang tanggapan budayawan Sudjiwo Tedjo.

Melalui akun Twitter pribadinya, @sudjiwotedjo, ia menulis rentetan kalimat satir.

“Mbok media, jangan cuma posting Bu Risma saat marah-marah ke bawahan.”

“Posting juga dong saat Mensos, mantan Wali Kota Surabaya ini marah-marah ke Pak Jokowi, ke Pak Luhut, Pak Mahfud, dan lain-lain.”

“Siapa tahu ada dan banyak (?). Agar tidak terkesan bahwa beliau beraninya cuma sama bawahan. Pers harus adil.”

Begitu kata Sudjiwo Tedjo, yang jelas langsung mengundang reaksi beragam dari sesama pengguna Twitter.

Maka ia pun melanjutkan, “Lawanlah satirku ini dengan satir pula.”

“Gerombolan yang pada marah-marah dengan twit ini, enggak bakal aku ladeni.”

“Sebab marah-marah itu gampang. IQ Melati pun bisa. Membuat satir, itu baru butuh IQ Berbintang,” tutup Sudjiwo Tedjo, tertawa.

Baca Juga:

Sebelumnya, Gubernur Rusli, mengaku tersinggung dengan sikap Risma, yang menunjuk-nunjuk warganya, ketika berkunjung pada Kamis (30/9) lalu.

“Saya saat melihat video itu, sangat prihatin,” tuturnya kepada wartawan, usai menghadiri ‘Survei Indeks Kepuasan Masyarat Terhadap Kinerja Pemerintah’, di Hotel Maqna, Jumat (1/10).

“Saya tidak memprediksi, seorang ibu menteri, sosial lagi, memperlakukan seperti itu. Contoh yang tidak baik,” kritik Rusli.

Lebih lanjut, ia pun mengingatkan, agar Risma, menjaga sikap di depan rakyat. Terutama saat berkunjung ke kampung orang.

Memaki sembari menunjuk orang lain, bukan potret yang pantas, maka tak semestinya dianggap wajar.

“Pangkat, jabatan, harus kita jaga,” kata Rusli. “Tidak ada artinya pangkat ini semua kita tinggalkan. Kalaupun toh ia salah, ya, dikoreksi. [Bukan dimaki] Di depan umum lagi.”

Peristiwa terjadi saat Risma–bersama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota–tengah melakukan pemadanan data.

Di waktu yang bersamaan, Rusli sedang mendampingi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ke Kabupaten Boalemo.

Terekam, Risma menunjuk sekaligus memaki salah seorang pendamping PKH, yang belakangan diketahui bernama Fajar.

“Pendamping PKH itu menyampaikan kepada ibu menteri, ada nama-nama ini, saldonya kosong,” kata Rusli.

“Karena informasinya sudah dicoret. Itu yang bikin naik darahnya,” sambungnya menjelaskan.

Menurut Rusli, manusia emosi itu wajar. Boleh. “Tapi jangan kelakuan seperti itu dong,” tegasnya.

“Itu pegawai saya, meskipun ia pegawai rendahan, tapi manusia juga,” sambung Rusli.

“Saya alumni STKS, tahun 80-an sudah kenal Menteri Nani Soedarsono, para Dirjen, tapi tidak ada yang sikapnya begitu,” imbuhnya.

“Saya tersinggung, saya enggak terima,” ketus Rusli, yang bahkan meminta Presiden Jokowi, untuk mengevaluasi sikap Risma.

Pasalnya, ini bukan kali pertama yang bersangkutan meluapkan emosinya di hadapan publik.

Sikap Risma juga sudah telanjur viral, dan menghebohkan warga Gorontalo.

“Tolonglah, mumpung Pak Presiden juga bisa lihat di YouTube, di mana-mana,” kata Rusli.

“Karena sudah ribut, peringati stafnya karena seperti itu,” pungkasnya kala itu.