UU Baru KPK Cetak Sejarah: Demokrasi di Negara Hukum Mulai Dirusak

Ngelmu.co – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke-4, Abraham Samad, menilai Undang-undang baru KPK telah mencetak sejarah. Komentar ini lahir, usai Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan kepada Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

“Pertama kali dalam sejarah, penggeledahan berhari-hari pasca OTT (Operasi Tangkap Tangan),” tulis @AbrSmd, di media sosial Twitter, Ahad (12/1).

Dalam cuitannya, Samad melampirkan hasil tangkapan layar, sampul epaper harian Kompas, yang terbit pada Ahad (12/1), dengan judul “Penggeledahan Dilakukan Pekan Depan”.

Ia geram, karena KPK baru bisa melakukan penggeledahan, beberapa hari setelah menangkap tangan delapan orang, tepatnya pada Rabu (8/1) lalu.

Sebagai informasi, mereka ditangkap terkait kasus dugaan suap proses pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR, dari Partai Demokarasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Tujuan penggeledahan itu agar menemukan bukti hukum secepat-secepatnya. Itulah mengapa sebelum ini, OTT dan geledah itu selalu barengan waktunya,” sambung Samad.

Bukan hanya Samad, pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, juga menyuarakan hal yang sama.

Menurutnya, penggeledahan penyidik KPK yang tertunda, berpotensi membuat barang bukti terkait perkara tersebut ‘lenyap’.

“Pertama kali dalam sejarah, penggeledahan diumumumkan waktunya, dan penggeledahan dilakukan setelah empat hari OTT,” kriti Fickar, Ahad (12/1).

Ia menilai, hal ini sebagai bagian dari upaya pelemahan KPK, serta kemunduran dalam memberantas tindak pidana korupsi di Tanah Air.

“Demokrasi di negara hukum mulai dirusak. Ini salah satu akibat penguasaan negara oleh oligarki partai dan pengusaha,” tuturnya.

UU baru KPK dinilai memperlambat kinerja, karena penggeledahan baru bisa dilakukan, setelah mengantongi izin Dewan Pengawas.

Seperti amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [PDF] atau UU KPK baru.

“Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas,” begitu bunyi pasal 47 UU KPK.

Padahal sebelum UU KPK ini berlaku, penggeledahan bisa dilakukan, tak lama setelah proses penangkapan.

Baca Juga: Dianggap Tak Resmi, KPK Tidak Diizinkan Geledah Kantor DPP PDIP

Maka tak heran, jika Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat berlakunya UU yang baru, sebagai penghambat kinerja KPK.

Menurut ICW, UU baru membuat penggeledahan sejumlah tempat dalam perkara suap komisioner KPU menjadi lambat.

“UU KPK baru (UU No 19 Tahun 2019) terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia,” kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, seperti dilansir Tirto, Ahad (12/1).

Terhambatnya penyegelan dan penggeledahan di kantor DPP PDIP, juga menjadi sorotan.

“Padahal dalam UU KPK lama (UU No 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak, tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak manapun,” imbuhnya.

Lebih lanjut Kurnia mengatakan, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK yang baru, harus menjadi menjadi prioritas Presiden Joko Widodo.

“Presiden Joko Widodo agar tidak buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK baru,” pungkasnya tegas.