Berita  

Wafatnya 9 Orang per Jam karena COVID-19 Tak dapat Dianggap Wajar

Angka Kematian Akibat Covid Corona di Indonesia

Ngelmu.co – Negara tidak bisa menganggap wafatnya sembilan orang karena COVID-19, dalam setiap jam, sebagai hal yang wajar. Angka tersebut berangkat dari jumlah kematian dalam dua hari terakhir.

Tepatnya 221 kematian pada Ahad (20/12) lalu, dan 205 kematian pada Senin (21/12) kemarin.

Jelas, jumlah tersebut menjadi penambahan terbanyak sejak awal pandemi, Maret lalu.

Maka pemerintah, tentu tidak bisa menganggap angka itu sebagai hal yang sepele. Terlebih saat ini, total kematian sudah mencapai 20.085 kasus.

“Seharusnya kita tidak menolerir satu kematian pun saat pandemi. Seharusnya kita tidak terbiasa, [tidak] mencari pembanding,” kata doktor bedah saraf sekaligus pengelola Pandemic Talks.

“Dan [tidak] mencari kewajaran akan 20 ribu kematian ini,” sambungnya, mengutip Tirto, Senin (21/12).

“Setiap kematian sangat berarti, karena kehidupan juga sangat berarti,” tegas Kamil.

Baca Juga: Nilai Tes COVID-19 di RI Tak Akurat, Taiwan Tutup Pintu TKI

Bukan hanya Kamil, Biomedical Scientist, Mutiara Anissa; Data Scientist, Firdza Radiany; dan dokter sekaligus peneliti kesehatan masyarakat, Pritania Astari, juga turut dalam inisiatif ini.

Mereka, mengungkap bagaimana kematian akibat virus Corona, di Indonesia, melonjak semakin cepat.

Sebagaimana data pemerintah:

  • 5.000 angka kematian pertama, tercatat dalam rentang 150 hari;
  • 5.000 berikutnya bertambah dalam 56 hari;
  • Penambahan 5.000 yang ketiga terjadi dalam 50 hari; dan
  • Dalam 39 hari, kembali bertambah 5.000 kematian [hingga jumlahnya mencapai 20.085].

Lanjut ke pemeriksaan spesimen. Pada Senin (21/12), berlangsung pemeriksaan terhadap 37.445 spesimen.

Di mana hasilnya, 6.848 orang terkonfirmasi positif COVID-19, hingga totalnya menjadi 671.778.

Sementara jumlah pasien yang dinyatakan sembuh adalah 5.073 orang [total 546.884], dan meninggal 205 [akumulasi 20.085].

Artinya, tercatat sebanyak 104.809 pasien [sekitar 15,6 persen dari total yang positif]], masih masuk dalam kasus aktif [menjalani perawatan].

Sementara pada Senin (21/12) kemarin, tercatat sebanyak 67.509 kasus suspek.

Indonesia Terlambat

Juru Bicara Satgas COVID-19, Wiku Adisasmito, mengatakan, terlambatnya penanganan atau memang yang terjangkit COVID-19 memiliki penyakit komorbid [memperkecil peluang kesembuhan], mengakibatkan melonjaknya angka kematian.

“Atau mungkin karena pelayanan kesehatan yang kurang maksimal,” tuturnya, Senin (21/12).

Satgas, kata Wiku, saat ini terus berupaya berkoordinasi dengan pihak daerah untuk mendorong pendeteksian dini dengan testing, tracing, serta meningkatkan kualitas treatment melalui pembagian workload dokter yang sesuai.

Begitu pun dengan meningkatkan kualitas sarana-prasarana.

Lebih lanjut, Wiku, mengatakan bahwa pemerintah juga telah menyiapkan ‘plan B’, jika permintaan tempat tidur isolasi COVID-19 meningkat.

Salah satunya dengan mengalihfungsikan ruangan, atau pembuatan rumah sakit darurat.

Kematian merupakan Indikator Akhir Penanganan Pandemi

Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, mengatakan bahwa kematian adalah indikator akhir dari tertangani atau tidaknya pandemi.

Semakin tinggi angka kematian, dapat bermakna bahwa kasus COVID-19, sudah tak bisa dideteksi secara dini, sehingga orang yang terinfeksi, menginfeksi orang yang berisiko tinggi.

“Ini menunjukkan juga bahwa performa pengendalian pandemi di wilayah itu tidak bagus,” kata Dicky.

“Kalau ada kematian, berarti buruk pengendaliannya. Kalau dari trennya memang memburuk, kematian meningkat,” imbuhnya, melalui sambungan telepon, Senin (21/12).

Begitu pun dengan gambaran penanganan pandemi di Indonesia, yang menurutnya, kecepatan penyebaran virus sudah meninggalkan jauh upaya pengendalian dari pemerintah.

“Jadi kita ketinggalan jauh dengan angka kematian seperti itu,” jelas Dicky.

Maka pencegahan di Indonesia, tak lagi cukup hanya dengan imbauan untuk tetap tinggal di rumah.

Sebab, 3T [testing, tracing, treatment], sudah wajib diperkuat. Sama wajibnya dengan penerapan pembatasan sosial yang konsisten.

“Pokonya, kegiatan lain harus dibatasi, dan harus terkendali dulu [pandemi]. Kalau tidak, nanti makin parah dan enggak ada pilihan,” tegas Dicky.

Kembali ke Kamil, semakin cepat angka kematian bertambah, maka menunjukkan bahwa sebenarnya jumlah kasus di Indonesia, jauh di atas angka yang dilaporkan.

Sekaligus menjadi gambaran betapa kapasitas testing masih rendah, dan juga menunjukkan sistem kesehatan yang diambang kolaps.

Lantaran tidak bisa menyelamatkan kelompok yang terinfeksi COVID-19, dengan gejala berat.

“Jadi, peningkatan kematian harian akhir-akhir ini adalah indikasi betapa tidak terkendalinya transmisi penularan COVID-19,” kata Kamil.

“Dan juga, indikasi, perlu dilakukan intervensi kebijakan untuk mencegah penularan,” sambungnya.

“Hingga hulunya diputus, bukan muaranya ditambah, misal menambah bed rumah sakit atau memperluas lahan pemakaman,” pungkas Kamil.