Berita  

Alasan PKS Tolak Omnibus Law Kesehatan Jadi RUU Usulan Inisiatif DPR

PKS Tolak RUU Kesehatan

Ngelmu.co – Hanya satu fraksi yang menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan (Omnibus Law), menjadi usul inisiatif DPR RI.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menolak, meski Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui.

“Apakah hasil penyusunan terhadap RUU tentang Kesehatan Omnibus Law, dapat diproses lebih lanjut, sesuai peraturan perundang-undangan?”

Demikian tanya Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi saat memimpin Rapat Pleno pengambilan keputusan atas hasil penyusunan RUU Kesehatan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/2/2023).

Anggota Baleg DPR dari delapan fraksi, menyatakan setuju terhadap proses penyusunan RUU Kesehatan untuk menjadi usul inisiatif DPR RI.

“Satu fraksi, yakni Fraksi PKS, menyatakan penolakannya, dan itulah era demokrasi kita, kita tetap memberi ruang yang sama kepada semua fraksi,” kata Baidowi.

Alasan PKS

Pertanyaannya, apa alasan PKS, menolak RUU Kesehatan Omnibus Law menjadi usul inisiatif DPR RI?

Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa, pun menjawab tanya dengan menyampaikan beberapa catatan.

Salah satunya berupa permintaan dilakukannya konfirmasi ulang terlebih dahulu kepada 26 pemangku kepentingan, yang telah memberikan masukan ke Baleg DPR RI.

Tepatnya, sebelum draf RUU Kesehatan diputuskan menjadi draf RUU inisiatif DPR RI.

“Menolak draf RUU Kesehatan ini untuk dibahas pada tahap selanjutnya, karena kami memandang ini belum selesai secara menyeluruh,” tegas Ledia.

Berikut pernyataan PKS:

Pertama, Fraksi PKS berpendapat bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi salah satu hak dasar masyarakat, yaitu mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas.

Oleh karena itu, perbaikan layanan kesehatan yang berkualitas harus menjadi prioritas dalam penyusunan draf RUU Kesehatan ini, sebagaimana amanat UUD NRI 1945.

Kedua, Fraksi PKS berpendapat bahwa penyusunan RUU Kesehatan yang dibahas dengan metode Omnibus Law ini, tidak boleh menyebabkan kekosongan pengaturan, kontradiksi pengaturan, dan juga harus memastikan partisipasi bermakna dalam penyusunan.

Mengingat banyaknya UU yang akan terdampak dalam penyusunan RUU tentang Kesehatan ini.

Di samping itu, sebelum draf RUU Kesehatan ini diputuskan sebagai draf RUU inisitiaf DPR RI, sebaiknya harus dilakukan konfirmasi ulang kepada 26 pemangku kepentingan, yang telah memberikan masukan dalam RDPU di Baleg DPR RI.

Apakah hasil penyusunan draf RUU Kesehatan ini sudah sesuai dengan berbagai masukan mereka.

Ketiga, Fraksi PKS berpendapat bahwa ada pengaturan dalam beberapa UU yang dihapuskan dalam draf RUU Kesehatan ini.

Sehingga, hal tersebut menimbulkan kekosongan hukum. Antara lain, dihapuskannya aturan mengenai SIPB bidan, yang dalam RUU ini hanya dinyatakan akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Begitu juga dihapuskannya mengenai praktik kebidanan yang mengatur tempat praktik dan jumlahnya, sesuai dengan tingkat pendidikan bidan.

Baca Juga:

Keempat, Fraksi PKS berpendapat bahwa penugasan pemerintah kepada BPJS–yang merupakan badan hukum publik–yang bersifat independen, maka harus disertai dengan kewajiban pemerintah dalam pendanaannya.

Kelima, Fraksi PKS berpendapat bahwa ada kerawanan dalam draf RUU Kesehatan Pasal 236, mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing, dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, dalam rangka investasi atau noninvestasi.

Kerawanan ini terkait dengan tenaga medis dan tenaga kesehatan Indonesia, yang sangat mungkin tersingkirkan atas nama investasi atau alih teknologi.

Selain itu, terdapat kerawanan dalam kata investasi dan alih teknologi itu sendiri, karena artinya ada orientasi investasi dari luar negeri dalam bidang kesehatan.

Terlebih jika menyangkut teknologi canggih terbaru, yang sangat mungkin menenggelamkan rumah sakit lokal, terutama yang dibangun tanpa memiliki modal besar.

Keenam, Fraksi PKS berpendapat bahwa di semua negara, pengaturan tentang profesi kesehatan diatur dalam UU tersendiri.

Oleh karena itu, seharusnya, draf RUU Kesehatan ini tidak menghapus materi pengaturan profesi-profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan, sebagaimana telah diatur dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU 38/2014 tentang Keperawatan, dan UU 4/2019 tentang Kebidanan.

Ketujuh, Fraksi PKS berpendapat bahwa anggaran kesehatan harus dialokasikan secara memadai, untuk memastikan bahwa negara memberi layanan kesehatan berkualitas yang aksesibel bagi masyarakat Indonesia.

Baca Juga:

Sebagai informasi, Wakil Ketua Baleg DPR M Nurdin, saat membacakan laporan Ketua Panja [panitia kerja] Penyusunan Draf RUU Kesehatan, mengatakan bahwa RUU [yang terdiri atas 20 Bab dan 478 Pasal] itu diperlukan; demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.

“Pengaturan RUU tentang Kesehatan dengan metode Omnibus Law, yang menjadikan transformasi sektor kesehatan dari hulu hingga hilir,” sebut Nurdin.

Ia juga membacakan ketentuan penutup terkait draf RUU Kesehatan dengan metode Omnibus Law tersebut.

“Saat undang-undang ini mulai berlaku, sembilan undang-undang dalam bidang kesehatan dinyatakan dicabut atau tidak berlaku,” kata Nurdin.

Setelah penyusunan RUU Kesehatan disetujui di Baleg, RUU Kesehatan akan dibawa dalam Rapat Paripurna DPR; untuk diambil keputusan menjadi usul inisiatif DPR.

PP Muhammadiyah

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah–bersama tujuh organisasi profesi dan masyarakat–juga menolak tegas RUU Kesehatan.

Mereka meminta DPR RI untuk meninjau ulang rancangan regulasi yang memuat aturan dari berbagai UU yang ada itu.

Organisasi profesi dan masyarakat yang ikut bersama PP Muhammadiyah adalah:

  1. PB IDI [Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia];
  2. Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia;
  3. Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia;
  4. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia;
  5. Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia;
  6. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan
  7. Forum Masyarakat Peduli Kesehatan.

Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, mengatakan bahwa RUU Kesehatan, perlu ditinjau ulang, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai UUD 1945.

“Kami mengajak pemerintah, DPR, ketua umum partai politik, kapan lagi kalau tidak sekarang untuk menunjukkan kejujuran, yaitu kembali kepada orisinalitas, pembukaan UUD 1945 tentang kedaulatan rakyat,” tutur Busyro saat jumpa pers di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (7/2/2023).

“Dan buktikan ini ditinjau ulang. Kami semua siap untuk memberikan masukan yang lebih detail, atau ditolak, atau dibatalkan,” sambungnya.

Busyro juga mengungkapkan, pihaknya mendorong Baleg DPR untuk mengeluarkan RUU Kesehatan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.

Sebab, Busyro menilai, RUU Kesehatan adalah bentuk penjajahan atau kolonialisasi yang bertentangan dengan kemerdekaan atau kedaulatan rakyat.

“Kolonialisasi, sekarang ini semakin terwujud dalam politik hukum di Indonesia, padahal yang berdaulat itu bukan negara, apalagi pengusaha, apalagi calo! Bukan! Tapi pada rakyat.”

Busyro juga menyampaikan, bahwa RUU Kesehatan sama seperti beberapa produk hukum yang tidak melibatkan pendapat masyarakat.

Mulai dari UU Cipta Kerja, UU ITE, UU KPK, hingga revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK).