Betapa Pilu Kesaksian Tragedi Kanjuruhan: Gate 13 seperti Kuburan Massal

Tragedi Kanjuruhan Gate 13
Foto: Twitter/JesWashington

Ngelmu.co – Betapa pilu kesaksian yang terekam dalam ingatan Eko Prianto (39), tentang tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu (1/10/2022) malam lalu.

Ia adalah satu dari puluhan ribu suporter Arema FC atau Aremania, yang berada di lokasi kejadian; usai laga Arema FC vs Persebaya.

Malam itu, sebenarnya Eko sudah memiliki tiket, tetapi ia sengaja tidak masuk ke stadion untuk menemani kawannya yang tidak punya tiket.

“Tanggal 1 Oktober, saya punya tiket, tapi saya tidak masuk. Saya ada di luar, saya dan teman saya cuma keliling di luar stadion.”

Demikian penuturan Eko di awal ceritanya di Malang, Senin (3/10/2022) kemarin, mengutip CNN Indonesia.

Mereka yang berkeliling untuk mengamati kondisi, melihat banyak aparat yang berjaga-jaga di sekitar Stadion Kanjuruhan.

Kala itu, kondisi masih aman. Bahkan, sampai peluit panjang akhir babak kedua dibunyikan.

Namun, tidak lama kemudian, Eko mengaku mendengar suara letupan gas air mata dari dalam stadion.

“Setelah peluit dibunyikan, masih keadaan kondusif. Saya berpikir, alhamdulillah, meskipun kalah, Aremania, mereka sudah dewasa.”

“Tapi beberapa menit kemudian ada suara seperti tembakan, beberapa kali,” ungkap Eko.

Ia pun mendekat ke gerbang stadion, mencari tahu, apa yang terjadi di dalam.

Eko mendapati gedoran dari arah dalam yang berlanjut dengan teriakan minta tolong.

“Saya berada dekat gate 10, di situ pertama kali saya dengar ada suara gedor-gedor pintu, suara minta tolong, suara jeritan.”

Baca Juga:

Eko melihat seorang perempuan, sudah tidak sadar. Ia dan kawannya pun mengevakuasi perempuan tersebut ke tempat yang lebih aman.

“Pertama kali, saya lihat ada perempuan sudah lemas, pingsan. Sama rekan-rekan ditolong.”

“Setelah itu satu, dua, tiga, jumlah korban terus bertambah. Saya menolong ada lima orang,” jelas Eko.

Ia kemudian juga melihat hal yang lebih parah di gate 13 dan 14.

Di sana, Eko menyaksikan sendiri banyaknya perempuan dan anak-anak yang tergeletak. Bertumpukan.

Ia mencoba membuka paksa pintu gerbang gate 13, dengan segala cara.

Namun, upaya Eko, tidak berhasil; karena pintu hanya terbuka sebagian.

Baca Juga:

Di tengah cerita, Eko terdiam. Ia tidak mampu meneruskan perkataannya. Tangisannya pecah. Eko pun tertunduk.

“Di gate 13, di situlah titik semacam kuburan massal teman-teman saya, Aremania. Aku enggak kuat, mas,” ujarnya, menangis.

Setelah sedikit tenang, Eko baru berupaya melanjutkan cerita.

Ia mengaku berupaya mencari pertolongan kepada aparat keamanan yang malam itu bertugas di Kanjuruhan; untuk mengevakuasi korban yang tergeletak.

Namun, yang Eko dapat justru penolakan.

“Saya lari ke aparat keamanan, petugas dari TNI-Polri. Pertama, saya minta tolong ke kepolisian.”

“Mereka tidak mau, takut terjadi apa-apa,” ungkap Eko.

“Ke aparat yang pakai baju loreng juga ditolak, saya malah mau dipukul sama beliau, sambil bilang, ‘Temenku yo onok sing kenek cok’,” beber Eko.

Baginya, peristiwa malam itu adalah kejadian terburuk selama lebih dari hampir 30 tahun dirinya menjadi Aremania.

“Ini kejadian paling buruk, dan bukan yang pertama… tapi saya minta, kejadian, tragedi 1 Oktober ini, harus diusut tuntas,” pungkas Eko.