Berita  

Chandra, Warganet yang Doakan Aceh Kena Tsunami Lagi

Chandra Kusuma Farhan dan g0dMei Doakan Tsunami untuk Aceh

Ngelmu.co – Chandra Kusuma Farhan ‘menghilang’ dari media sosial Twitter, setelah memanen kecaman dari sesama pengguna.

Ia harus menerima teguran keras, karena ulahnya sendiri.

Pemilik akun Twitter, @pendakimagelang–yang kemudian mengubahnya menjadi, @pendakilugu, sebelum ‘menghilang’–itu mendoakan agar tsunami kembali menimpa Provinsi Aceh.

Semua berawal dari tiga kalimat yang Chandra tulis, saat mengomentari sebuah artikel.

Berjudul, ‘Aktivis Kecam Kasus Anjing Mati Usai Ditangkap Satpol PP di Pulau Bayak Aceh’.

“Mengedepankan agama, hingga disebut Serambi Mekkah, tapi akhlak gak ada,” kata Chandra di awal cuitannya.

“Manusianya kejam, beringas, brutal,” sambungnya. “Semoga tsunami terjadi lagi di provinsi ini. Amin.”

Demikian tiga kalimat Chandra, yang justru memicu amarah dari sesama warganet.

Salah satunya akun @intracardiac. “Karena setitik anjing, rusak otak sebelanga,” tuturnya.

“Saya dari Aceh. Berapa nomor rekening, Mas-nya? Saya belikan tiket, kita ketemu di Aceh, saya guide-kan,” sambungnya.

“Jangan cuma tahu Aceh, karena anjingnya. Tour ke Aceh, sowan sama pendaki Aceh,” imbuhnya lagi.

“Biaya Mas sebulan, saya tanggung,” tantang @intracardiac.

Lebih lanjut, ia juga sempat menyampaikan agar Chandra, tidak mengunci akun Twitter-nya.

“Akunnya enggak usah dikunci, tinggal kirim nomor rekening ke saya,” kata @intracardiac.

“Supir pribadi, saya sediakan. Mau tidur di hotel bintang 4, di Banda Aceh, saya bolehkan, sebulan full, gak apa-apa,” imbuhnya.

“Atau mau di vila mana? Makan gratis sebulan, saya bayarin. Capture saja tweet saya tadi jadi barang bukti,” tantangnya lagi.

Bukan hanya @intracardiac, pengguna Twitter, @zarazettirazr, juga menanggapi Chandra.

“Semoga Tuhan tidak mendengar doamu yang jahat @pendakimagelang, yang sudah ganti nama akun jadi @pendakilugu,” tulisnya.

Zara merasa Chandra begitu jahat. “Kok bisa, ngaku animal lovers, kalau sama manusia nyumpahin tsunami kayak gitu, ya.”

Baca Juga:

Sebenarnya, Chandra bukan satu-satunya orang yang berdoa agar tsunami menimpa Aceh.

Pasalnya, pemilik akun Twitter @g0dMei, juga demikian.

“Alhamdulillah, bagus ini, biar sadar sendiri. Entah kapan mau sadar diri,” twit-nya.

“Harusnya, Aceh di-tsunami full sampai hilang benaran. Aceh 100 persen munafik, masa setengah-setengah tsunaminya, huft,” sambungnya enteng.

Bedanya, jika Chandra ‘menghilang’ dari Twitter, tidak demikian dengan @g0dMei, yang masih aktif mengirimkan berbagai cuitan hingga berita ini ditulis.

Pengakuan Warga Aceh Singkil

Komentar Chandra dan @g0dMei–yang mengundang murka netizen–berkaitan dengan cerita seekor anjing bernama Canon.

Awalnya, salah satu akun Instagram, mengunggah sejumlah foto dan video Canon.

Pemilik akun juga mengunggah video yang menunjukkan proses penangkapan Canon oleh Satpol PP setempat.

Video memperlihatkan bagaimana sejumlah petugas Satpol PP, memegang kayu dan berdiri mengelilingi Canon.

Satu di antara mereka mengarahkan kayu ke rantai tempat Canon terikat, kemudian anjing itu ditundukkan.

Pemilik akun tersebut juga menyampaikan, bahwa kejadian itu terjadi di Pulau Banyak, Aceh Singkil, Aceh.

Ia juga menyebut, Canon, dimasukkan ke keranjang kecil, dibawa pergi, tak bisa bernapas, dan akhirnya mati.

Namun, bagaimana dengan pernyataan pihak lainnya?

Seorang warga di Aceh Singkil, Aceh, mengaku pernah digigit oleh Canon, yang dipelihara di sebuah resort di Pulau Banyak.

“Kejadiannya itu pada bulan September 2020. Waktu ada kegiatan adat tolak bala,” kata warga bernama Eko Chandra.

“Biasanya, warga menggelar kegiatan di Pulau Panjang,” imbuhnya kepada wartawan, Senin (25/10) kemarin.

Sebagai informasi, Pulang Panjang adalah salah satu pulau di Kecamatan Pulau Banyak.

Menurut Eko, saat itu ia bersama temannya, melewati depan resort yang diduga memelihara Canon.

Posisi anjing, kata Eko, terikat rantai panjang. Ia pun mengaku tak menyangka, Canon dapat menjangkaunya.

“Pas aku melewati anjing itu, langsung diterkamnya di bagian pergelangan kaki,” akuannya.

“Berdarah waktu itu. Aku langsung pulang ke Pulau Banyak,” beber Eko.

Lebih lanjut, ia mengaku mengalami bengkak di bagian kaki pada malam hari.

Setelah menjalani pemeriksaan di sebuah rumah sakit, dokter menyarankan Eko untuk melakukan suntik antirabies.

Maka ia harus pergi ke rumah sakit di daratan Aceh Singkil, naik kapal, dengan waktu tempuh sekitar 3,5 jam.

“Karena waktu itu di Pulau Banyak, tidak ada suntik antirabies,” papar Eko.

Baca Juga:

Warga di sana juga marah, setelah mengetahui ada orang yang digigit anjing.

Setelah mendapat protes dari masyarakat, kata Eko, pemilik resort hanya meminta maaf dan mengaku bertanggung jawab.

“Waktu kejadian, warga sempat emosi, risih. Jadi sempat mau demo, hanya untuk mengusir anjing itu,” jelas Eko.

“Tapi karena ada solusi yang lain, mungkin ia bisa mengamankan anjing itu, jadi warga tidak jadi demo untuk mengusir anjing,” bebernya.

“Tapi dari kejadian itu, pemilik justru tidak mengindahkan teguran warga,” sambung Eko.

“Bahkan, pemilik resort mau melarang warga dan wisatawan yang lewat di depan resortnya,” imbuhnya lagi.

“Padahal, depan resortnya bibir pantai yang orang sering jalan,” lanjut Eko.

Terpisah, Mukhlis selaku Camat Pulau Banyak juga mengaku, pihaknya telah mendapat laporan.

Ada dua orang yang tergigit anjing, di resort tempat Canon dipelihara. Peristiwa terjadi di waktu berbeda.

“Ada korban, ada yang digigit, setidaknya dua orang, dan wisawatan dikejar, karena itu kita minta penertiban,” jelas Mukhlis.

Ia menyampaikan, proses penertiban tersebut berlangsung dengan upaya persuasif.

Bahkan, pihaknya telah menyurati pemilik resort sejak 2019, dengan imbauan berisi larangan pemeliharaan anjing di Pulau Banyak.

“Pemilik resort sudah kita surati, tapi tetap saja anjing itu dipelihara,” tutup Mukhlis.

‘Empati pada Hewan, tapi Tak Empati pada Sesama’

Pemeran Usman dalam film 5 Penjuru Masjid, yakni Zaky Ahmad Rivai, juga ikut bersuara.

Berikut yang Ngelmu kutip dari akun Instagram pribadinya, @zaky_zr, Selasa (26/10):

Saya dan kita semua pasti tidak setuju dan akan mengecam siapa pun yang menganiaya hewan.

Tapi saya juga tidak sepakat ketika ada kekerasan yang dilakukan sekelompok orang, lalu yang disalahkan adalah daerah di mana orang tersebut berada.

Tempo hari, kita mendapat berita seekor anjing bernama Canon, di Pulau Banyak, Aceh Singkil, dianiaya hingga mati.

Itu buruk, tapi yang lebih buruk lagi, orang-orang menyalahkan dan menghina Aceh, sebagai provinsi yang menerapkan syariat, alih-alih mengecam pelaku.

Pertama, apa sih sulitnya mencari berita yang valid?

Media-media mainstream mulai banyak yang mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.

Kita semua paham, bahwa tidak bisa menilai suatu peristiwa hanya dari satu sumber saja.

Kedua, peristiwa penganiayaan anjing di negara ini banyak, amat sangat banyak.

Mengapa hanya Canon yang disorot?

Lagi, saya tidak membenarkan penganiayaan terhadap Canon, tapi tolonglah, jangan menutup mata.

Di Tomohon atau di Solo saja misalnya, setidaknya, 1.200 anjing digebuki sampai mati sebelum dimasak dan disantap.

Ketiga, kalau alasannya karena anjing memang jadi makanan bagi sebagian orang, apakah orang-orang ini tidak tahu bagaimana seekor anjing diperlakukan, sebelum nantinya dimasak dan disantap?

Dimasukkan karung, dipukuli, disiksa sedemikian rupa.

Tentu, metodenya bukan disembelih, lalu mati begitu saja.

Di mana nurani manusia, ketika menyumpahi saudaranya sesama manusia, dilanda tsunami?

Bagi orang Aceh, mendengar kata ‘tsunami’, bukan hanya bencana, tetapi tentang luka mendalam yang belum benar-benar pulih.

Deretan komentar penghinaan terhadap Aceh dan orang-orangnya, seakan menyimpulkan satu hal:

Yang dibenci bukan penganiayaannya, tapi penerapan syariat oleh orang-orang Aceh.

Padahal, penganiayaan terhadap Canon, tidak ada hubungannya terhadap syariat Islam ataupun kampanye wisata halal.

Empati kepada hewan, tapi tak empati kepada sesama manusia.

Yang mengaku mencintai hewan, tetapi tidak mencintai manusia, biasanya adalah hewan itu sendiri.