Berita  

Diskors Usai Bahas Jokowi di Medsos, Dosen Unnes Gugat Rektor ke PTUN

Dosen Sucipto Gugat Rektor Unnes

Ngelmu.co – Herdin Pardjoangan, sebagai kuasa hukum dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes), Dr Sucipto Hadi Purnomo—yang diskors usai membahas Presiden Joko Widodo, di akun Facebook pribadi—menyampaikan kelanjutan kasus kliennya.

Fathur Rokhman, sebagai rektor yang menskors Sucipto—sejak 12 Februari lalu—digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Timur.

“Penggugat dicopot atas dugaan pelanggaran disiplin, berupa unggahannya di media sosial, pada tanggal 10 Juni 2019,” kata Herdin, seperti dilansir Tempo, Rabu (10/6).

Diketahui, Sucipto, hanya menuliskan status Facebook, “Penghasilan anak-anak saya menurun drastis pada lebaran kali ini. Apakah ini efek Jokowi yang terlalu asyik dengan Jan Ethes?”

Maka menurutnya, pemberian sanksi oleh rektor tersebut, melanggar aturan tata usaha negara.

Sucipto, lanjut Herdin, tidak pernah dipanggil oleh atasan langsungnya, untuk mengklarifikasi status Facebook-nya.

“Sanksi pembebasan penggugat dari tugas mengajar tersebut, dijatuhkan langsung oleh rektor, yang bukan atasan langsung penggugat,” jelas Herdin.

Ia juga menyoroti, status Sucipto, yang hanya dosen biasa di Unnes, tidak memiliki jabatan struktural.

Pihaknya menilai, keputusan rektor Unnes, cacat hukum.

Maka Sucipto, sebagai penggugat meminta majelis hakim membatalkan Keputusan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor B/167/UN37/HK/2020 tentang Pembebasan Sementara dari Tugas Jabatan Dosen atas Nama Sucipto Hadi Purnomo.

Penggugat juga menuntut ganti rugi, atas hilangnya tunjangan profesi dan remunerasi, sebesar Rp4,5 juta per bulan.

Terhitung sejak April 2020, hingga putusan ini mendapat kekuatan hukum tetap.

Menanggapi kabar ini, pengacara rektor Fathur, Muhtar Hadi Wibowo, menyatakan gugatan tersebut prematur, salah alamat.

“Karena SK yang dimaksud, belum bisa dikatakan sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara,” ujarnya secara tertulis, Rabu (10/6).

Keputusan Rektor Unnes Nomor B/167/UN37/HK/2020 tentang pembebasan sementara dari tugas jabatan Dosen FBS Unnes, atas nama Sucipto Hadi Purnomo, lanjut Muhtar, bukan putusan final.

Ia menuturkan, SK tersebut hanya bersifat sementara, sebagaimana tertera pada Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Lebih lanjut Muhtar mengatakan, rektor Unnes, wajib dan berhak, menjelankan intruksi Kemendikbud, untuk memeriksa Sucipto, yang diduga melakukan pelanggaran berat.

“Maka untuk mempermudah pemeriksaan yang bersangkutan, karena diduga telah melakukan pelanggaran tingkat berat, diterbitkan keputusan rektor tersebut, sampai ada putusan akhir,” jelas Muhtar.

Tetapi ia mengatakan, pihaknya siap menghadapi gugatan yang dilayangkan Sucipto, ke PTUN.

“Tapi pendapat saya, alangkah baiknya dosen non-aktif tersebut, memperbaiki sikap, etika, attitude, sebagai layaknya seorang dosen,” kata Muhtar.

“Dalam media sosial, buatlah status media sosial yang baik-baik, yang positif, tidak aneh-aneh,” pungkasnya.

Baca Juga: Rombak Posisi, Erick Thohir Tak Menggeser Relawan Jokowi dari Kursi Komisaris PT PP

Sedikit mundur ke belakang, anggota tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA), Profesor Engkus Kuswarno, sempat menanyakan alasan rektor Unnes, menskors Sucipto.

Mengaku telah membaca Surat Keputusan (SK) yang dijatuhkan kepada Sucipto, dirinya menilai, tak ada indikasi penghinaan terhadap presiden, seperti yang disampaikan pihak universitas.

Menurut Engkus, SK tersebut, merujuk kepada masalah ketidakdisiplinan pegawai.

“Kan saya kebetulan juga sudah baca SK pemberhentian sementaranya, yang dirujuk adalah masalah kedisiplinan pegawai ya, disiplin PNS,” tuturnya, seperti dilansir Detik, (17/2) lalu.

“Sama sekali tidak dikaitkan ada nomenklatur yang menyebutkan seperti yang disampaikan dijelaskan oleh rektornya, atau Humasnya Unnes,” sambung Engkus.

Ia yang juga ikut menganalisis, tulisan Sucipto, di media sosial Facebook, menyebut tak ada indikasi menghina Presiden Jokowi.

Engkus pun mempertanyakan, keanehan dari SK Rektor Unnes tersebut.

“Cuma saya membaca teks dan konteksnya, ini rasa-rasanya enggak ada unsur penghinaan,” ujarnya.

“Anehnya, kok yang ajukan gugatannya adalah rektornya sendiri, yang menyatakan itu adalah penghinaan terhadap lambang simbol negara, karena itu dalam proses, makanya diberhentikan sementara,” kata Engkus.

Ia pun mengaitkan kejanggalan itu, dengan tugas Sucipto, sebagai anggota Tim EKA Kemendikbud.

Pasalnya, Sucipto, pernah melakukan penyelidikan terhadap Rektor Unnes.

“Nah, salah satunya (tugas Tim EKA) adalah kebetulan mendapat laporan dari masyarakat, bahwa rektor Unnes ini, melakukan tindakan plagiat, waktu pengusulan profesornya,” beber Engkus.

“Nah, kita mencari data, termasuk di antaranya adalah Pak Sucipto itu yang dilibatkan. Termasuk saya, dan juga dari beberapa perguruan tinggi lain, kita ‘kan satu tim,” imbuhnya.

“Hanya dalam perkembangannya, kok aneh, hanya beliau saja yang kemudian yang diberi sanksi pembebasan tugas itu sementara,” lanjut Engkus.

Menurutnya, penskorsan terhadap Sucipto, terkesan dipaksakan.

Engkus pun berpendapat, rektor Unnes, seperti panik, hingga menggunakan kekuasaannya untuk menskors Sucipto.

“Jadi ini, ada sesuatu yang dipaksakan gitu. Jadi rasanya memaksakan diri, rektor ini. Seperti yang… mohon maaf kalau saya menyampaikan sedikit agak persepsional gitu. Seperti sedang panik, gitu. Panik,” kritiknya.

“Sedangkan stafnya sendiri, ditugaskan oleh kementerian di Tim EKA, kemudian jadi saksi di pengadilan dan seterusnya,” sambungnya.

“Nah ini kalau saya melihat, rektor seperti sedang melawan dosennya sendiri. Melakukan sebuah perlawanan terhadap dosennya sendiri, dengan bertindak menggunakan powernya sebagai rektor, dan memberhentikan sementara,” pungkas Engkus.