Kekerasan Fisik ataupun Verbal, Tetaplah Kekerasan

Kekerasan Fisik Verbal

Ngelmu.co – Saya sama sekali tidak bergembira ketika menerima kabar pengeroyokan terhadap Ade Armando (AA).

Dosen Universitas Indonesia (UI), dan seorang influencer media sosial.

Seorang teman meneruskan video, bagaimana insiden itu terjadi.

Saya kira, butuh beberapa waktu untuk mencernanya, dan mengetahui sebab musababnya.

Banyak yang mempertanyakan, mengapa AA, ada di dalam demonstrasi yang bukan ‘habitat’-nya?

Menurut informasi yang saya terima, AA berada di demo itu bersama-sama para aktivis Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS).

Sebuah organisasi, di mana ia adalah inisiatornya.

Ironisnya, AA berada ditengah-tengah demo itu untuk mendukung aspirasi yang hendak disuarakan oleh para pendemo, yakni menolak amandemen konstitusi dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Namun, demonstrasi ini jelas bukan ‘habitat’ AA.

Kehadirannya memancing perhatian. Orang segera mengenalinya. AA terlihat terlibat perdebatan dengan ibu-ibu.

Ia diteriaki, kemudian dipukuli, dan sedihnya juga, dilucuti pakaiannya.

Ya, memang butuh waktu untuk mencerna, mengapa ini semua terjadi.

Kekerasan dalam demonstrasi, bukan sesuatu yang aneh di negeri ini.

Saya ingat bentrokan-bentrokan antara massa aksi dengan pihak aparat keamanan pada masa Orde Baru, dan sesudahnya.

Saya juga ingat, bagaimana pada akhir tahun 1990-an, terjadi fenomena yang baru dalam demonstrasi dan oposisi terhadap penguasa.

Pada tahun 1960-an hingga 1980-an, demo-demo di-organisir dari kampus-kampus besar, dan prestisius Indonesia.

Ia melibatkan kaum akademisi dan intelektual.

Arief Budiman menggambarkannya sebagai peran ‘begawan’ kaum intelektual, yakni kaum intelektual turun dari menara gadingnya ketika terjadi krisis yang melanda masyarakat.

Kalau keadaan normal, begawan ini akan kembali ke kampus.

Mitos ‘begawan’ itu masih tetap hidup, bahkan sampai saat ini.

Namun, kenyataan berbicara lain.

Para elite demonstran ini, beberapa lama setelah berdemo, entah berhasil atau tidak menumbangkan penguasa, segera masuk ke dalam sistem politik.

Mereka menjadi politikus, penguasa, atau pengusaha dengan kontrak-kontrak gemuk, atau kemudian menjadi elite intelektual yang suaranya diperhatikan dengan takzim, sekalipun mereka berhenti berpikir.

Awal tahun 1990-an, memperlihatkan dekadensi kampus-kampus elite Indonesia.

Para akademisinya menjadi teknokrat-teknokrat yang melayani rezim penguasa.

Para mahasiswanya mulai berubah–mereka berasal dari keluarga-keluarga kelas menengah PNS atau ABRI.

Tentu sebagian besar mereka menjadi pro-status quo.

Mereka lebih tertarik pada karier, daripada politik.

Inilah zaman ketika menjadi insinyur seperti Habibie, atau MBA, menjadi sangat prestisius.

Gerakan sosial pun berubah. Di kampus-kampus besar, bukan tidak muncul gerakan.

Anak-anak kelas menengah ini, ketika menghadapi represi politik, menjadi sangat religius.

Akademisi sekular didikan Belanda, sudah pensiun.

Generasi berikutnya lebih tertarik pada agama, khususnya Islam.

Kebangkitan agama mulai dari kampus-kampus, khususnya kampus-kampus elite.

Persis pada saat itu juga muncul gerakan-gerakan mahasiswa di luar kampus. Mereka mengambil gerakan yang sangat berbeda, yakni gerakan kiri.

Eksperimen gerakan sosialis pun dimulai. Dari luar kampus.

Gerakan ini hanya sempat muncul sebentar, hingga direpresi habis-habisan oleh rezim Orde Baru pada 1996.

Sementara di kampus-kampus elite, gerakan Islam, makin kuat. Gerakan yang mengatasnamakan mahasiswa, agak melemah.

Faksi kiri dalam gerakan mahasiswa, menjadi makin radikal. Banyak dari mereka melepaskan atribut mahasiswa, dan menjadi organisator massa akar rumput.

Akhir-akhir kekuasaan Soeharto, pelaku aksi-aksi mahasiswa tidak lagi terpusat di kampus-kampus elite.

Banyak aktivis berasal dari kampus-kampus non-elite. Karakter gerakan pun berubah.

Taktik di jalanan ketika melakukan demo pun berubah.

Jika pada masa-masa sebelumnya, para pendemo; mahasiswa, cenderung menghindar dari bentrokan dengan aparat, maka dalam tiga tahun periode akhir Soeharto, para pendemo justru mencari-cari cara bentrokan dengan aparat.

Mereka mempersiapkan diri dengan baik–dengan bom molotov, ban-ban untuk dibakar, serangan terkomando, lengkap dengan rute evakuasi.

Banyak orang bilang, inilah pertama kali kehadiran ‘generasi tawuran’ dalam demo-demo.

Generasi ini tidak segan-segan melakukan kekerasan–baik terhadap aparat, maupun terhadap lawannya.

Saya kira, kekerasan seperti bentrok fisik dan serangan kepada aparat keamanan, sudah menjadi ‘repertoar’ dalam aksi-aksi mahasiswa.

Memang sebagian besar aksi mahasiswa bisa dilakukan secara damai–seperti gerakan #ReformasiDikorupsi, misalnya.

Namun, itu pun tidak lepas dari kekerasan.

Waktu protes-protes itu, ada banyak insiden kekerasan yang melibatkan para demosntran dengan aparat.

Aparat keamanan pun terlihat makin mempersiapkan diri untuk menghadapi para demonstran ini.

Pemakaian air dan gas air mata menjadi sangat intensif untuk membubarkan massa.

Begitu juga pasukan-pasukan bermotor yang mobile, untuk mengantisipasi kekerasan.

Akhir-akhir ini, ada juga fenomena yang lebih baru, khususnya di Jakarta, yaitu keterlibatan anak-anak sekolah menengah–SMA dan SMK–dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa.

Di lapangan, saya kira, mereka lebih keras lagi. Tidak jarang demo-demo berubah seperti menjadi ajang tawuran.

Sekalipun ‘repertoar’ gerakan itu berubah, ada yang tidak berubah, yakni para pemimpin-pemimpin demo ini.

Para pelaku demo dengan kekerasan pada tahun 1990-an, ini sekarang menjadi pemimpin-pemimpin di negeri ini.

Mereka duduk di DPR atau di lembaga-lembaga pemerintahan.

Ironisnya, beberapa kali saya membaca, bahwa mereka melabelkan demo-demo mahasiswa masa kini sebagai ‘anarkis’.

Seakan tindakan mereka saat berdemo dahulu adalah gerakan Mahatma Gandhi.

Apa yang kita pelajari dari semua ini?

Satu hal. Baik protes dengan atau tanpa kekerasan, ganjarannya adalah kekuasaan dan kekayaan.

Namun, zaman juga berubah. Mode atau cara berkuasa juga berubah. Sebagian besar perubahan itu terjadi karena teknologi.

Lewat teknologi itulah para penguasa membentuk opini, menciptakan preferensi, membuat sesuatu yang menakutkan dan juga membuat sesuatu yang harus dicintai.

Inilah zaman ide dan inspirasi. Para politisi berkuasa dengan mengeksploitasi identitas–menciptakan kemarahan dan kebencian berdasarkan identitas itu.

Dalam kemarahan, tidak ada imajinasi, kecuali kebencian.

Sekaligus, orang juga dipaksa untuk bangga kepada hal-hal yang dangkal (banal).

Kalau kamu tidak senang dengan Sirkuit Mandalika, maka kamu tidak cinta Indonesia.

Apa yang lebih dangkal dari keindonesiaan yang diukur dari Mandalika, IKN, atau panjangnya jalan tol yang tarifnya sekarang naik itu?

Demikianlah.

Kita tidak punya pemimpin dengan pemikiran yang mengimajinasikan masyarakat masa depan.

Kita bahkan tidak ingat lagi bahwa, misalnya, Republik ini didirikan untuk mewujudkan ‘keadilan untuk semua’, kita tidak memiliki pemimpin.

Namun, kita memiliki ‘influencers.’

Kita juga memperlakukan para influencers itu seperti para pemimpin kita.

Sebentar, atau para pemimpin kita, memimpin dengan berlagak seperti influencers, dengan populismenya yang murahan itu.

Kita juga memberlakukan apa yang disebut ‘cancel culture‘ atau kebudayaan mengasingkan atau meniadakan yang tidak kita sukai.

Kita meng-cancel apa saja yang kita anggap tidak berada dalam zona nyaman kita.

Mode berkuasa pada zaman ini adalah dengan menciptakan imajinasi keblinger ‘cancel culture‘ ini.

Ironisnya lagi, ‘cancel culture‘ ini diciptakan oleh mereka yang menganggap dirinya paling toleran.

Mereka yang menganggap dirinya pejuang pluralisme. Mereka yang memperjuangkan kebebasan apa saja.

Saya kira, di sinilah sambungan antara kekerasan terhadap AA, dengan seluruh bangunan sistem kekuasaan kita.

AA menjadi bagian dari pertarungan itu.

Tidak perlu waktu terlalu lama, rekan-rekan AA, dalam satu barisan di media, segera memproklamirkan, bahwa pelaku-pelaku pengeroyokan terhadap AA adalah para ‘kadrun’.

Anda tentu hafal dengan kata kunci yang senantiasa dipakai dalam provokasi online.

Siapa saja yang tidak sepakat dengan mereka, langsung mendapat cap ‘kadrun’ atau kadal gurun.

Itulah istilah yang diciptakan oleh kelompok ini.

Maknanya tertuju pada kadal yang volume otaknya kecil, yang hidup di gurun–sebuah metafora sarkastik untuk menggambarkan kebodohan yang fanatik dalam beragama.

Indonesia tanpa kadrun adalah jelas metode ‘cancelling‘ yang sangat efektif.

Bagaimana dengan mereka yang mengucapkannya?

Menurut saya, sering kali melakukan kekerasan semantik terhadap objek yang di-kadrun-kan.

Orang-orang ini selalu mengkhotbahkan persatuan, toleransi, kebebasan.

Mereka merasa berada di tataran moral yang lebih tinggi dari para kadrun–‘hollier than thou mentallity’.

Namun, persis pada saat itulah, sebenarnya mereka menyingkirkan apa yang mereka tidak sukai dan inginkan.

“Indonesia tanpa kadrun!”

Tanpa pernah mau mengakui, bahwa yang mereka tuding sebagai kadrun itu adalah warga negara juga.

Bukankah ini adalah sebuah bentuk kekerasan juga?

Saya tidak paham kalau ini bukan.

Para pelaku kekerasan fisik ini terprovokasi oleh kekerasan verbal yang pernah diucapkan kepada mereka.

Selain sebutan ‘kadrun’, lihatlah serangan online yang dilakukan terhadap demonstrasi ini–dari ejekan bahwa mereka dibayar, hingga ke nasi bungkus dan segelas air mineral untuk para demonstran.

Sekali lagi, saya sama sekali tidak senang dengan kekerasan yang menimpa AA.

Namun, di sisi yang lain, kekerasan ini membuat saya merefleksikan, bahwa ada hubungan yang sangat jelas antara kekerasan fisik dan kekerasan secara naratif yang dibangun oleh AA, dan kawan-kawannya.

Oleh: Made Supriatma

Baca Juga: