Berita  

KPK: Dulu Dipuji, Kini Dicaci

Puji Caci KPK Biaya Dinas
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diwarnai oleh tulisan laser pada Senin (28/6/2021) malam. Foto: JPNN/Fathan Sinaga

Kini Dicaci

Puji yang dahulu lahir, tumbuh, dan bersemi, seolah layu, hingga berubah menjadi caci.

Ada yang blak-blakan, ada juga yang memilih menyikapi perubahan ini dengan sindiran halus, seperti @andikamalreza.

“KPK sebelum era orang baik, ‘Maaf, kami tidak bisa menerima pemberian air putih ini’,” cuitnya.

“KPK semasa eranya orang baik, ‘Maaf, kok minumnya cuma air putih?” sambung Kamal.

Warganet bernama Dio juga ikut merespons. “Besok, kalau sudah ganti rezim, usulin bubarin saja, sih.”

“Bikin lembaga antikorupsi baru. Hahaha. Lalu, jadikan pelajaran sejarah, bahwa Revisi UU KPK, terbukti merugikan bangsa,” sambungnya.

“Dulu bangga mau daftar KPK. Sekarang malu,” akuan @AnandaIlyasaMT.

“KPK sekarang macam gak ada giginya lagi,” tutup @kukuhnugraha22.

Kata ICW

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, praktik perjalanan dinas–khususnya menghadiri undangan–sering digunakan sebagai dalih.

Baik untuk memberi berbagai fasilitas, seperti tiket pesawat kelas bisnis, hotel mewah, penyambutan, hingga antar jemput.

Berbagai pemberian itulah yang berpotensi menimbulkan kedekatan, utang budi, gratifikasi, serta konflik kepentingan.

Pimpinan KPK sebelumnya, menyadari hal ini, sebagaimana tercermin pada sikap para pegawainya.

Sayangnya, menurut peneliti ICW, Almas Sjafrina, pimpinan KPK saat ini telah merusak usaha pimpinan KPK sebelumnya.

“Melalui Peraturan Pimpinan KPK yang baru, Firli Bahuri dan pimpinan KPK lainnya, telah membuka kontak pandora yang selama ini berguna untuk melindungi KPK dari berbagai potensi penyimpangan.”

“Dengan menggelar karpet merah pemberian fasilitas perjalanan dinas, oleh pihak penyelenggara,” kritik Almas keras, secara tertulis, Selasa (10/8) lalu.

Hal ini, lanjutnya, juga akan menjadi kesempatan bagi berbagai pihak untuk memengaruhi dan membangun kedekatan dengan pejabat pun staf KPK.

“Baik itu pihak-pihak yang perkaranya tengah ditangani KPK, ataupun tidak,” jelas Almas.

Ia juga merespons klarifikasi Ali. Menurutnya, walaupun Ali, bilang aturan tersebut tak berlaku untuk penindakan atau acara yang diselenggarakan swasta, tetapi kenyataannya, itu hanya suara Ali seorang.

Pasalnya, pembatasan tersebut tidak dituangkan dalam beleid terkait.

“Kemunduran KPK sebagai badan antikorupsi yang selama ini disegani oleh masyarakat, semakin terlihat,” tutur Almas.

“Alih-alih berbagai peraturan itu mendorong reformasi kelembagaan, peraturan pimpinan KPK tentang perjalanan dinas, menambah bobot kehancuran nilai-nilai integritas KPK.”

Baca Juga:

Almas tidak sendiri. Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK non-aktif Sujanarko, juga bicara.

Ia membandingkan aturan perjalanan dinas baru dengan yang sebelumnya (Perkom 7/2012).

Menurut Sujanarko, aturan lama punya spirit untuk membiayai seluruh perjalanan dinas secara mandiri.

Hal itu tercermin dalam berbagai prinsip perjalanan dinas, seperti selektif, ketersediaan anggaran, efisiensi, dan tidak melewati batas pagu anggaran.

Pembiayaan di luar anggaran KPK, sangat terbatas dan kondisional.

Bahkan, pada praktiknya, KPK tidak pernah menerima biaya perjalanan dinas dari anggaran instansi pemerintahan lainnya.

Klausul ini, kata Sujanarko, hanya dilakukan untuk kegiatan yang didanai oleh donor asing. Kegiatan yang juga jarang dilakukan.

“Ini semata-mata untuk menjaga independensi KPK,” tegasnya, Selasa (10/8). “Dan menghindari conflict of interest.”

Sementara Perkom yang baru, kata Sujanarko, “Justru mengharapkan dibiayai oleh panitia pengundang.”

Maka jelas jika menurutnya, aturan baru ini akan menimbulkan ruang abu-abu bagi kode etik KPK.

Contoh, bagaimana hukumnya jika pegawai KPK, menerima jamuan makan di restoran, atau perlakuan mewah lainnya dari pengundang?

“Akan sulit pegawai KPK menjaga kredibilitas, kewibawan, indepedensi,” imbau Sujanarko.

“Kalau KPK datang ke daerah dijemput, dikasih uang harian, dibiayai hotel, dikasih makan, dan lain-lain,” imbuhnya.

Sujarnarko, bahkan memprediksi gerak-gerik pemerintah-pemerintah daerah pasca aturan ini berlaku.

Jika sebelumnya mereka kerap menjadi mangsa KPK, nantinya justru akan banyak mengundang pejabat KPK, dan ada anggaran khusus menjamu mereka.

Hal ini, kata Sujanarko, tentu akan merusak citra pegawai KPK–yang selama ini dikenal sebagai sosok independen dan berintegritas.

“Peraturan Perjadin ini, secara nyata akan menghancurkan branding pegawai KPK yang ‘unik’, terkait indenpedensi pegawai,” pesannya.

“Sebelum Perjadin ini merusak lebih dalam ke pegawai KPK, saran saya untuk dicabut saja,” pungkas Sujanarko.