Mengenal Mitos dan Fakta Masjid Agung Demak

Fakta Masjid Agung Demak

Ngelmu.co – Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di Tanah Jawa.

Kerajaan ini didirikan oleh Wali Songo (wali sanga) dengan Raden Patah sebagai raja pertamanya.

Kerajaan Demak juga menjadi pusat penyebaran ajaran Islam.

Salah satu bukti terlihat dari megahnya Masjid Agung Demak yang masih berdiri hingga saat ini.

Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia.

Masjid ini berlokasi di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Pembangunan masjid ini berlangsung pada abad ke-15 Masehi. Saat itu, Raden Patah, memberi gambar bulus sebagai simbol pembangunannya.

Bulus menggambarkan candra sengkala memet yang bermakna Sirna Ilang Kertaning Bumi.

Secara filosofis, gambar bulus ini menggambarkan tahun pembangunan Masjid Demak, yaitu 1401 Saka.

Dari segi arsitektur, Masjid Agung Demak mengusung gaya tradisional Jawa.

Berbeda dari masjid pada umumnya yang memiliki kubah, atap masjid ini justru berbentuk limas dan bersusun tiga.

Atap ini sarat akan makna tentang ajaran Islam, yaitu tentang Iman, Islam, dan Ihsan.

Adapula yang menaknainya secara tasawuf, yaitu tentang syariat, tharikat, dan hakikat.

Saka Tatal

Atap Masjid Demak ditopang empat saka atau tiang, yaitu di barat laut, barat daya, tenggara, dan timur laut.

Pembuatan saka atau tiang ini dilakukan langsung oleh empat wali dari wali sanga.

Mereka adalah Sunan Bonang [membangun tiang barat laut], Sunan Gunung Jati [barat daya], Sunan Ampel [tenggara], dan Sunan Kalijaga [timur laut].

Tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga, dikenal dengan nama saka tatal atau saka guru tatal.

Tiang ini termasuk unik, karena dibuat dari serpihan dan potongan-potongan kayu.

Serpihan dan potongan kayu tersebut disatukan, diikat, kemudian dihaluskan.

Dalam satu keterangan, disebut bahwa ikatan itu dilepas beberapa tahun kemudian.

Namun, dalam keterangan lain, disebutkan bahwa proses pembuatan saka guru tatal [dari menyatukan serpihan kayu, mengikat, dan menghaluskan] hanya butuh waktu satu malam.

Saka tatal memiliki makna filosofi yang mendalam.

Serpihan kayu yang berbeda ukuran itu melambangkan perbedaan suku yang ada di wilayah Nusantara.

Namun, perbedaan-perbedaan itu tetap dapat disatukan, bahkan bisa menjadi kekuatan saat sudah dihaluskan.

Pintu Penangkal Petir?

Selain saka tatal, Masjid Agung Demak juga memiliki daun pintu yang dikenal dengan sebutan pintu petir atau lawang bledheg [dipercaya bisa menangkal petir].

Pintu ini sebenarnya sama seperti pintu pada umumnya.

Namun, terdapat beragam aneka ornamen, mulai dari kepala naga dengan mulut terbuka, semburan api, mahkota, sulur-suluran, hingga Surya Majapahit.

Konon, ornamen pintu petir ini merupakan gambar petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Sela.

Ia merupakan keturunan Prabu Brawijaya dari Majapahit.

Ki Ageng Sela dikenal dengan kesaktiannya yang luar biasa.

Saking saktinya, Ki Ageng yang memiliki nama lain Kiai Ngabdurrahman ini dipercaya pernah menangkap petir atau geledek.

Dalam kisah yang berkembang, petir yang ditangkap Ki Ageng Sela itu dibawa menghadap ke Raden Patah.

Berikutnya, Raja Demak itu memerintahkan agar Ki Ageng Sela, menggambarkan geledek tangkapannya tersebut.

Lalu, Ki Ageng Sela, membawa geledek itu ke tengah alun-alun kota untuk digambar di sana.

Ki Ageng meminta masyarakat untuk tidak mendekat.

Singkat cerita, saat Ki Ageng, baru menggambar kepalanya, tiba-tiba ada seorang wanita mendekat dan langsung menyiramkan air ke arah geledek itu.

Tindakan wanita itu menimbulkan ledakan keras.

Lalu, geledek dan wanita yang menyiramnya kemudian lenyap.

Saat ini, Masjid Agung Demak, masih berfungsi sebagai tempat ibadah umat Islam.

Selain itu, sejak tahun 1999, bangunan tersebut juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Mengulik Berbagai Versi

Ada sejumlah versi lain soal tanggal pembangunan masjid ini, seperti babad tanah jawi yang mengisyaratkan pembangunan masjid dimulai akhir 15 masehi.

Muhammad Khafid Kasri, dalam bukunya, ‘Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagahwangi’ (2008), menuliskan pembangunan masjid ini juga terjadi seiring riwayat Raden Patah.

Dalam peperangan dengan pasukan Prabu Girindrawardhana dari Kediri yang sebelumnya berhasil menduduki Majapahit.

Raden Patah kemudian menyesali tindakannya, karena terburu hawa nafsu, menyerang tanpa mengukur kekuatan pasukan musuh.

Akibatnya, banyak korban yang gugur dari pihaknya, sehingga kemudian para wali menyarankan Raden Patah untuk melanjutkan membangun Masjid Agung yang belum rampung; sembari memikirkan strategi menghadapi musuh.

Raden Patah kemudian sepakat, dan melanjutkan pembangunan masjid.

Ia pun mensyaratkan bagian teratas masjid atau mustaka, didesain dengan bentuk runcing yang mirip huruf arab satu.

Permintaan itu dimaknai sebagai lambang kejantanan, bahwa Demak, berani menghadapi pasukan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Girindrawardana.

Mitos

Penentuan arah kiblat Masjid Agung Demak, memiliki sejarah yang unik dan mistis.

M. Hariwijaya, dalam bukunya, ‘Islam Kejawen’ (2006), menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga, dianggap sebagai ulama yang menentukan arah kiblat Masjid Agung Demak pada masanya.

Agar sesuai menghadap ke arah Ka’bah di Makkah.

Disebutkan, saat penentuan arah kiblat yang dipimpin Sunan Giri, sidang sempat memanas, lantaran terjadi silang pendapat.

Sunan Kalijaga kemudian berdiri menghadap ke selatan.

Ia memegang mahkota Masjid Makkah di tangan kanannya, dan mahkota Masjid Demak di tangan kiri, kemudian dipertemukan.

Disepakati bersama arah kiblat setelah mahkota dilepaskan.

Ada juga mitos lain yang menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga, pernah naik pohon untuk melihat Ka’bah.

Lalu, ia turun dan menyatakan bahwa arah masjid kiblat Demak, telah persis, lurus dengan Ka’bah.

Pada Juli 2010 silam, arah kiblat di Masjid Agung Demak, sempat digeser; usai terjadi pergeseran kiblat hingga 12 derajat.

Pengubahan arah kiblat itu kemudian menuai kontroversi di kalangan para tokoh agama.

Akhirnya, dua tahun setelahnya, posisi arah kiblat dikembalikan ke tempat semula.

Arsitektur Masjid

Dinas Pariwisata Kabupaten Demak, menyebut bahwa dari sisi arsitektur, Masjid Agung Demak merupakan simbol arsitektur tradisional Indonesia.

Khas dan memiliki sejumlah arti filosofis. Masjid ini juga masih memegang syarat sederhana. Namun, terlihat megah.

Atap masjid berbentuk limas yang bersusun tiga merupakan gambaran akidah Islam yakni Iman, Islam, dan Ihsan.

Masjid ini diklaim masjid dengan tipe tajug, yaitu atap dengan model piramida. Meskipun pada bangunan serambinya beratap limasan.

Selanjutnya, yaitu tadi pintu Masjid Agung Demak yang dikenal dengan nama Pintu Bledheg; diklaim mampu menahan petir.

Pintu yang dibuat oleh Ki Ageng Selo juga merupakan prasasti Candra Sengkala yang berbunyi Nogo Mulat Sarira Wani.

Di mana maknanya adalah menujukkan tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi.

Menuju luar, bagian teras Masjid Agung Demak, ditopang oleh delapan buah tiang yang disebut Saka Majapahit.

Sejak pertama kali dibangun, masjid ini telah direnovasi sekitar satu kali pada 1984.

Baca juga:

Nilai historis tinggi yang dimiliki oleh Masjid Agung Demak juga membuat masyarakat di sekitar masjid, berupaya untuk terus menjunjung tinggi serta menjaga keaslian bangunan masjid tersebut.

Baik dari artistiknya, maupun arah kiblatnya.