Pengertian, Tujuan, dan Syarat I’tikaf

Ramadhan telah tiba di penghujungnya. Inilah saat 10 hari terakhir atau asyrul awakhir yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh umat Islam.
Di malam-malam tersebut, ada Lailatul Qadar, malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Di akhir Ramadhan, Rasulullah saw melakukan i’tikaf selama 10 hari terakhir. Hari-hari beliau dihabiskan di masjid dengan tilawah, sholat, zikir dan ibadah lainnya. Sunnah ini sudah mulai banyak dilakukan umat Islam di Indonesia.
Lalu, apa sesungguhnya i’tikaf itu? Apa makna dan tujuannya? Apa pula yang membatalkannya?
Tulisan berikut ini akan mengupas secara tuntas tentang i’tikaf.
Arti dan Makna I’tikaf
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid. Selama di masjid, niat beribadah kepada Allah swt di masjid tersebut, dilakukan oleh orang tertentu, dengan syarat-syarat tertentu, tata cara tertentu, di waktu tertentu. (Ash-Shiyaamu fil Islam, hlm. 450-451).
Syarat-syarat I’tikaf
  1. Islam
  2. Berakal, karena orang yang gila tidak disyari’atkan beribadah.
  3. Mumayyiz, yaitu berumur minimal 7 tahun dan telah memahami ibadah yang ia kerjakan. Tidak sah iktikaf anak kecil yang belum mumayyiz.
  4. Berniat i’tiikaf, karena setiap amalan bergantung kepada niat.
  5. I’tikaf dilakukan di masjid
    I’tikaf di masjid yang digunakan shalat berjamaah, ini syarat khusus bagi laki-laki, sebab apabila ia harus keluar masjid untuk melakukan shalat berjama’ah di masjid lainnya maka itu menafikan tujuan i’tikaf, yaitu berdiam diri di masjid, tidak banyak keluar. Dan tidak dipersyaratkan masjid tersebut harus diadakan padanya shalat Jumat.
    Adapun bagi wanita boleh itikaf di masjid yang tidak digunakan shalat berjama’ah, karena wanita tidak wajib shalat berjama’ah, tetapi dengan syarat itu adalah masjid umum, bukan masjid khusus di rumahnya, dan syarat lain bagi wanita adalah izin suami atau wali dan aman dari ‘fitnah’ (seperti godaan antara laki-laki dan wanita, atau memunculkan mudarat seperti menimbulkan prasangka buruk dan pembicaraan yang tidak baik).

Hukum Itikaf

Sunnah (kecuali karena nazar maka wajib). Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

الاعتكاف سنة بالإجماع، ولا يجب إلا بالنذر بالإجماع

“I’tikaf hukumnya sunnah berdasarkan ijma’, dan tidak diwajibkan kecuali karena nazar, juga berdasarkan ijma’”. (Al-Majmu’, 6/407).

Tujuan

Orang yang beri’tikaf menyerahkan dirinya, ruhnya, hatinya dan jasadnya secara totalitas untuk beribadah kepada Allah, demi mencari ridha-Nya, menggapai kebahagian di surga-Nya, terangkat derajat di sisi-Nya dan menjauhkan diri dari semua kesibukan dunia yang dapat menghalangi seorang hamba berusaha mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla”. (Ash-Shiyaamu fil Islam, hlm. 459)

Ummul mukminin Aisyah radhiyallahu anha berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila masuk sepuluh hari terakhir Ramadhan maka beliau mengencangkan sarungnya (tidak berhubungan suami istri dan mengurangi makan dan minum), menghidupkan malamnya (dengan memperbanyak ibadah) dan membangun keluarganya (untuk ibadah)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Waktu I’tikaf

Tidak ada batas waktu minimal dan maksimal yang dipersyaratkan untuk sahnya iktikaf. Yang utama adalah sepuluh hari dan malamnya penuh di akhir Ramadhan, namun andaikan seseorang berhalangan secara penuh maka tidak mengapa insya Allah ia beri’tikaf sesuai kemampuannya.

Awal dan Akhir I’tikaf

Mulai i’tikaf tanggal 21 Ramadhan dan masuk ke masjid sebelum terbenam matahari di tanggal 20 agar ketika terbenam matahari orang yang beri’tikaf sudah ada di masjid, karena saat itu telah masuk tanggal 21. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan ini adalah pendapat yang terkuat insya Allah, karena tidaklah disebut sepuluh hari yang terakhir kecuali dimulai sejak awal tanggal 21 Ramadhan, yaitu sejak terbenamnya matahari.

Amalan-Amalan

Disunnahkan bagi orang yang beritikaf memperbanyak ibadah kepada Allah SWT seperti:

1. Shalat-shalat sunnah

2. Membaca Al-Qur’an

3. Berdo’a

4. Berdzikir

5. Istighfar

6. Bertaubat dan ibadah-ibadah khusus lainnya

7. Menghindari ucapan-ucapan yang sia-sia apalagi yang haram

8. Meminimalkan interaksi dan pembicaraan dengan orang-orang agar lebih banyak beribadah dan lebih khusyu’

Tindakan Mubah

1). Keluar masjid untuk menunaikan hajat yang mesti dilakukan, baik secara tabiat maupun syari’at, seperti:

Keluar untuk buang hajat, makan dan minum apabila tidak tersedia di masjid, berwudhu atau mandi wajib, shalat Jum’at, bersaksi jika diwajibkan atasnya, khawatir ‘fitnah’ yang mengancam diri, keluarga, anak atau harta serta keluar untuk melakukan sesuatu yang wajib atau meninggalkan yang haram.

Tidak batal i’tikaf seseorang apabila keluarnya karena alasan-alasan di atas, dan hendaklah segera kembali ke masjid apabila hajat telah selesai. Ummul Mukminin Aisyah berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا اعْتَكَفَ، يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ

“Dahulu Nabi apabila beri’tikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadaku (tanpa keluar dari masjid) dan aku menyisir rambut beliau, dan beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena hajat sebagai manusia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2). Boleh melazimi satu tempat di masjid untuk beri’tikaf dan boleh membuat kemah kecil untuk beriktikaf di dalamnya. Ummul Mukminin Aisyah berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْتَكِفُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

“Dahulu Nabi beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka aku membuatkan untuk beliau sebuah kemah, beliau shalat Shubuh kemudian masuk ke dalamnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3). Boleh dikunjungi keluarga dan berbicara dengan mereka serta mengantar kembali pulang apabila dibutuhkan, sebagaimana dalam hadis Ummul Mukminin Shafiyyah radhiyallahu ’anha,

أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي المَسْجِدِ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا

“Bahwasanya beliau mengunjungi Rasulullah ketika sedang beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka beliau berbicara bersama Rasulullah beberapa saat, kemudian bangkit untuk kembali pulang, maka Nabi shallallahu ’alayhi wa sallam pun bangkit bersamanya untuk mengantarnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4). Boleh makan dan minum di masjid dengan tetap menjaga kebersihan. Sahabat yang mulia Abdullah bin Al-Harits bin Jaz’in Az-Zubaidi berkata,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ

“Dahulu kami makan roti dan daging pada masa Rasulullah, di masjid”. (HR. Ibnu Majah, Shahih Ibni Majah, 3/126)

Hal-hal yang Membatalkan

1) Keluar masjid dengan sengaja tanpa keperluan

2) Berhubungan suami istri

3) Murtad, keluar dari Islam. Murtad membatalkan iktikaf, bahkan menghapus seluruh ibadah yang telah dikerjakan dan menghalangi diterimanya ibadah yang akan dikerjakan.

Sumber: Kitab Madrasah Ramadlan karya Ust. Sofyan Chalid Ruray