Berita  

Publik Soroti Beda Tuntutan Penyerang Novel Baswedan dan Penusuk Wiranto

Beda Tuntutan Kasus Novel Baswedan Wiranto

Ngelmu.co – Perbedaan tuntutan yang diarahkan kepada pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, dengan terdakwa penusukan terhadap Wiranto, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mendapat sorotan publik.

Pasalnya, penusuk Wiranto, Syahrial Alamsyah (Abu Rara), dituntut hingga 16 tahun penjara.

Namun, kedua terdakwa penyiraman air keras, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, hanya dituntut satu tahun penjara.

Itulah yang membuat publik geram, dan menyampaikan komentarnya di media sosial, khususnya Twitter, sebagaimana dikutip Ngelmu, Rabu (17/6).

@DinoSantana8: Bedanya, Wiranto sedang pelesiran, jalan-jalan. Novel, shalat Subuh. Itu aja bedanya.

@IDFaqih: Yang satu sengaja, yang satu tidak sengaja.

@Bluelinedot: Bedanya, pelaku penusuk Wiranto mudah ditangkap, tapi 16 tahun penjara. Pelaku penyiraman Novel butuh 3 tahun buat nangkap, tapi cukup 1 tahun penjara.

@alanbastian: Yang satu warga biasa. Yang satu lagi warga luar biasa.

Diketahui, dua kasus ini sama-sama berupa serangan terhadap seseorang.

Tetapi ada perbedaan mencolok, di mana pada kasus penusukan Wiranto, disebut terorisme.

Sementara kasus penyerangan Novel, dinilai sebagai penganiayaan.

Alat yang digunakan untuk menyerang, efek yang ditimbulkan, hingga pasal yang dijeratkan, juga berbeda.

Berikut penjabarannya dilansir Kumparan:

Pasal yang dinilai terbukti dalam kasus penusukan Wiranto, adalah:

Dakwaan Pertama

Pasal 15 juncto Pasal 6 junto Pasal 16 A UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Dakwaan Kedua

Pasal 15 juncto Pasal 7 UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Dengan ancaman hukuman:

Dakwaan Pertama

Paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Pidananya masih ada kemungkinan ditambah 1/3 lantaran diduga melibatkan anak.

Dakwaan Kedua

Pidana penjara paling lama seumur hidup.

Ringkasan kasus:

Abu Rara, menusuk Wiranto dengan kunai, di Alun-Alun Menes, Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019).

Pelaku, saat itu juga sempat menyerang Pemimpin Pesantren Mathla’ul Anwar, Fuad Syauqi.

Menurut Dirut RSUD Berkah Pandeglang, Firmansyah, Wiranto, mengalami luka di bagian perut bawah, akibat penusukan.

Namun, luka tidak dalam, kondisinya pun relatif stabil.

“Itu ada dua tusukan, tapi belum sampai ke usus. Terkenanya itu di bagian lapisan peritoneum-nya. Kondisinya stabil. Lukanya enggak terlalu parah,” jelas Firmansyah.

Wiranto, sempat dirawat di RSPAD, hingga akhirnya kembali beraktivitas, pada Desember 2019.

Tepatnya, saat ia dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), periode 2019-2024.

Baca Juga: Novel Baswedan soal 2 Terdakwa Kasusnya: Bebaskan Saja daripada Mengada-ada

Sementara pasal yang dinilai terbukti dalam kasus penyiraman Novel, adalah Pasal 353 ayat (2) KUHP (Dakwaan Subsider)

Dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 7 tahun.

Ringkasan kasus:

Peristiwa terjadi pada 11 April 2017 lalu. Di mana Rahmat dan Ronny, yang menjadi terdakwa kasus, merupakan polisi aktif.

Jaksa, dalam pertimbangannya, menyatakan Rahmat dan Ronny, terbukti melakukan penganiayaan berat dengan terencana.

Maksudnya adalah kedua terdakwa terbukti memantau rumah Novel, sebelum menjalankan aksinya.

Rahmat adalah pelaku penyiraman air keras kepada Novel, yang baru pulang sholat Subuh di Masjid.

Sementara Ronny adalah pengendara motor yang membonceng Rahmat, saat kejadian.

Penganiayaan jelas menimbulkan luka berat, karena air keras mengenai mata Novel.

Tetapi dalam pertimbangan tuntutan, jaksa, tidak menjerat kedua pelaku dengan dakwaan primer, yakni Pasal 355 ayat (1) KUHP, di mana ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Alasannya, jaksa mengatakan, Rahmat, tak bermaksud menyiramkan air keras ke wajah Novel, melainkan hanya ke badan.

Sementara dalam pleidoi yang dibacakan kuasa hukum, kedua terdakwa, menilai jaksa tak dapat membuktikan dakwaan.

Sehingga menurut mereka, hakim layak membebaskan kedua terdakwa.

Diketahui, akibat penyiraman ini, Novel, harus dirawat di beberapa rumah sakit, dan baru bisa kembali bekerja, setelah 16 bulan mendapat perawatan.

Mata kiri Novel pun, sudah tidak bisa diperbaiki, sedangkan mata kanan, kini hanya memiliki kemampuan melihat 60 persen, itu pun dengan bantuan lensa khusus.

“Tim dokter yang selama ini menangani mata Novel, menyatakan kondisi mata kiri tidak dapat diperbaiki lagi, karena kerusakan sebagian besar retina,” kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri, Jumat (7/2).

“Sehingga, kondisi terakhir mata kiri hanya dapat melihat cahaya,” sambungnya.

Baca Juga: ‘Pasang Badan’ untuk Bintang Emon yang Diserang Buzzer Usai Komentari Kasus Novel Baswedan

Menanggapi kritik dari publik, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Hibnu Nugroho, pun menilai wajar.

“Memang inilah yang jadi pertanyaan masyarakat banyak, kenapa dalam perkara yang sama, kok pidananya beda,” tuturnya, Selasa (16/6).

“itulah fakta hukum di Indonesia, tidak steril, tidak dalam ruang hampa. Makanya kemarin banyak yang merasa kecewa terhadap tuntutannya [penyerang] Novel,” sambung Hibnu.

“Kehilangan panca indra itu luka berat, lho, diatur dalam KUHP, itu cukup berat. Sehingga pidananya setidaknya setimpal,” lanjutnya.

“Mudah-mudahan hakim mendengar semua ini, bahwa apa yang dituntutkan itu tidak sebanding dengan akibat yang terjadi,” imbuh Hibnu.

Maka ia pun berharap, putusan hakim bisa memberi rasa keadilan.

Sebab hakim, menurutnya, tidak terikat pada besaran tuntutan serta dapat menjatuhkan pidana maksimal, sesuai pasal yang dinilai terbukti.

“Ini sangat ditunggu oleh masyarakat. Kalau sampai nanti putusan pengadilan itu adalah melebihi yang dituntutkan dan memaksimalkan yang diancamkan dalam pidana, ini akan pulih cerita hukum kita,” pungkas Hibnu.