Puluhan Tahun Kekejian PKI

Partai Komunis Indonesia PKI
Foto: Dok. Wikipedia

Ngelmu.co – Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahir dan berupaya tumbuh di atas pijakan bernama kekejian.

Pijakan yang mereka pilih sendiri, bukan dalam waktu yang sebentar. Puluhan tahun.

Bahkan tanpa merasa bersalah, sanggup menjadikan kematian pihak yang mereka anggap lawan, sebagai pelengkap tarian.

1920

Partai Komunis telah lahir sejak 23 Mei 1920, meski nama partai bengis tersebut baru diubah menjadi PKI pada 1924.

Melalui konferensi, Semaoen, terpilih sebagai ketua umum pertama partai ini.

Sementara Darsono duduk di kursi wakil, Bergsma menjabat sekretaris, dan Baars merupakan komisioner.

Di tahun 1920 juga, PKI mengaku bagian dari Komitern–organisasi komunis revolusioner internasional alias perhimpunan partai komunis dari berbagai negeri.

Sebelumnya, mereka adalah Sarekat Islam (SI) Merah, lantaran berlandaskan asas sosialisme-komunisme.

Pola yang makin melebarkan jurang antara pihaknya dengan SI Putih yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto.

1926

Di Banten, PKI yang melayangkan isu agama, mulai belajar dari ulama setempat.

Sebab, pertama kali menyebarkan paham komunis dengan menolak agama, mereka gagal.

Maka PKI pun menjadikan agama sebagai propaganda, sembari berupaya memancing keuntungan.

Salah satunya, menarik kiai berpengaruh ke dalam barisannya, seperti Tubagus Achmad Chatib.

Ia adalah kiai sekaligus mantan Presiden Sarekat Islam di Labuan.

Tubagus Achmad juga menantu dari ulama paling berpengaruh di Banten–dari Caringin–saat itu, yakni KH Asnawi.

Ia juga membawa putra dari KH Asnawi, yaitu Tubagus Emed, beserta pengikutnya, bergabung ke PKI.

Para kiai lain di Banten, seperti Kiai Moekri hingga Kiai Madoen, juga mengikuti hal ini.

Maka fasilitas seperti langgar, masjid, dan pesantren, perlahan menjadi tempat berkumpul pun rapat para aktivis PKI.

PKI mengolah proses pendekatan di Banten, dengan sangat menarik bagi para ulama setempat.

Emed pernah mengisahkan dialog antara Puradisastra dengan Tubagus Achmad.

Tubagus Achmad bertanya pada Puradisastra, “Apa tujuan PKI?”

Puradisastra pun menjawab, “Tolong-menolong dalam urusan dunia dan agama.”

Tubagus Achmad kembali menjawab, “Jika memang tujuan PKI, melindungi agama, maka ia sepakat dengan mereka.”

Padahal, Puradisastra, jelas bukan figur yang taat, karena ia pernah kedapatan berada di kedai, saat bulan Ramadan.

Baca Juga:

Syukurnya, tidak semua kiai sepakat dengan PKI. Pasalnya, salah satu dari mereka, melihat komunisme, tak sejalan dengan Islam.

Ia adalah Kiai Jasin, asal Menes, yang bahkan sempat mengundang Tjokroaminoto, bicara di Labuan, pada Februari 1925.

Walaupun saat itu suaranya tak banyak didengar, lantaran warga terpikat dengan hasutan PKI. Penuh janji.

Belum lagi mereka yang bergabung karena tekanan sosial. Sebab, yang tak bergabung akan dicap sebagai kaki tangan Belanda.

Setelah menguasai Banten, mereka akan berkumpul di tempat ulama paling berpengaruh Caringin, yakni Kiai Asnawi. Sebelum menunggu instruksi PKI Batavia.

Menjelang pemberontakan, 12 November 1926, digelar pertemuan di Desa Bama.

Massa pun hadir, dipimpin oleh Kiai Moekri dan Kiai Ilyas. Banyak orang berpuasa.

Di Pandeglang dan Serang, massa juga berkumpul.

Tengah malam, pemberontakan mulai berlangsung. Mereka menangkap asisten wedana, Mas Wiriadikoesoemah dan keluarganya, di Labuan.

Seorang polisi yang berjaga tewas, dua lainnya terluka.

Sebagian kelompok massa juga menyasar jalanan Labuan, mencari polisi. Tiga orang pun tewas.

Sementara Mas Mohammed Dahlan–pegawai informan polisi–terluka serius.

Lebih lanjut, di Menes, pemberontakan melibatkan 300-400 orang.

Wedana Raden Partadinata dan Benjamin [pengawas rel lokal] yang terbunuh pun dimutilasi.

Di Cening [desa antara Menes dan Labuan], seorang polisi dan Wedana juga tertembak.

Semua berlangsung hingga otoritas di Batavia, mengirimkan 100 tentara [dipimpin Kapten Becking] ke Banten.

Pasukan pun berhasil membebaskan Mas Wiriadikoesoemah.

Lalu, Kiai Moekri yang memimpin ratusan orang berkumpul pada 14 November, menyerukan, agar menyerang orang Belanda di Labuan.

Namun, ajakannya terhadap Tubagus Emed, terbentur penolakan dari Kiai Asnawi.

Pada 17 November 1926, seluruh gerakan selesai. Sampai Desember 1926, sekitar 1.300 orang tertangkap.

Di mana 99 orang dibuang ke Digul, 27 di antaranya adalah haji, dan 11 lainnya merupakan kiai.

1945

Pada 1999, Pusjarah TNI menerbitkan buku ‘Komunisme di Indonesia Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia [1913-1948]’.

Di sana tercantum, PKI Cirebon, lahir pada 7 November 1945, di bawah pimpinan M Joesoep dan Mr Suprapto.

Joesoep merupakan advokat yang pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Supir Indonesia (Persi).

Budayawan Cirebon, yakni Nurdin M Noer–dalam tulisannya [berjudul ‘Pemberontakan PKI Antara di Cirebon dan Madiun’] juga menyebut PKI Cirebon, mencoba memanfaatkan situasi sosial politik yang tak stabil [awal masa revolusi].

Pasalnya, saat itu terdapat pertentangan antara golongan moderat dengan revolusioner.

Tentang bagaimana cara untuk membela sekaligus mempertahankan kemerdekaan.

PKI Cirebon memanfaatkan situasi ini untuk menguasai kondisi politik. Mereka juga tengah menyiapkan rencana pemberontakan.

Di bawah pimpinan Joesoep dan Suprapto, PKI mulai coba menarik simpati rakyat.

Mereka mendatangkan Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Alasannya, untuk menghadiri konferensi–agar tak menimbulkan kecurigaan.

Joeseop dan Suprapto melakukan itu karena sadar, saat itu, untuk menarik simpati masyarakat Cirebon, tidak mudah.

September 1945. Walaupun masih lemah, tetapi PKI, mulai berani menyerang pejabat pemerintah dan tempat ibadah.

Setidaknya, demikian laporan Konsul NU Kawasan Utara Jawa KH Muhammad Ilyas kepada PBNU:

Revolusi Pekalongan, gara-gara [orang] dari negeri Porworejo bernama Sarjoyo.

Ia datang ke Pekalongan, memproklamasikan dirinya sebagai residen Pekalongan.

Lalu, di tiga kabupaten [Tegal, Pemalang, dan Pekalongan] memproklamasikan Pekalongan, menjadi Soviet, komunis.

Bukan main perilaku komunis yang di luar batas itu, baik ucapannya, maupun perbuatannya.

Serambi masjid dikencingi, haji-haji diteriaki agen Arab, kiai-kiai dikatakan penipu.

Pekik Merdeka diganti dengan pekik Soviet.

Untung, Alhamadulillah, Pekalongan yang terkenal fanatik Islam, kalau martabat agamanya dinodai, rakyat berbondong-bodong menjadi barisan manusia.

Menyerbu rumah bupati dan pejabat komunis, sambil mengarahkan bambu runcing mereka ke sasaran.

Menyerukan yel, “Merdeka, merdeka… ya, Merdeka.”

Pembantaian Pimpinan Pesantren

Pembantaian pimpinan pesantren di Madiun dan Magetan terjadi, karena PKI, sadar betul bahwa pesantren adalah kekuatan strategis.

Terutama dalam mempertahankan NKRI.

Pasalnya, saat perang 10 November, mereka bergerak serentak, setelah mendengar seruan Resolusi Jihad dari PBNU (22 Oktober 1945).

Heroisme kaum santri berhasil mengusir tentara Sekutu dari Surabaya.

Maka selain melumpuhkan TNI dan polisi, PKI mengincar pesantren dan para ulamanya untuk dilumpuhkan.

Bahkan, PKI punya slogan khusus, “Pondok bobrok, langgar bubar, santri mati.”

Bukan sekadar gertak. Mereka benar-benar menerapkan slogan tersebut, dengan strategi teror, tangkap, dan bantai.

Mereka memulai penculikan, terhadap para pimpinan pesantren yang selama ini aktif dalam perjuangan kemerdekaan.

PKI menanggap para kiai yang mengajarkan agama dan cinta Tanah Air itu, menghambat agenda mereka.

Secara agresif, PKI menyerang NU. Selain ajaran agama, mereka juga merampas aset, seperti tanah, hasil pertanian dan pendudukan, hingga membakar masjid.

1946

Pada 9 Februari 1946, rombongan PKI dan Laskar Merah dari luar daerah, sampai di Stasiun Cirebon.

Dengan bersenjata lengkap, tanggal 12 Februari 1946, mereka menginap di Hotel Ribberink (Grand Hotel).

PKI pun menyebarkan isu ke masyarakat luas, jika polisi, tentara, telah melucuti anggota Laskar Merah yang baru tiba di stasiun.

1948

Berbagai kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI), terekam jelas dalam benak para pelaku sejarah.

Bagaimana gejolak pemberontakan pada 1948, di Madiun, Jawa Timur, sebenarnya telah terindikasi nyata, sejak awal.

Kesaksian KH Khoirun

Kala itu, pemerintah kabupaten, berupaya meredam pemberontakan dengan mengumpulkan tokoh masyarakat, kiai, hingga kader PKI di Pendopo Madiun.

Namun, upaya tersebut justru menjadi titik awal perang saudara, antara PKI dan masyarakat.

Bahkan, para tokoh masyarakat, kiai, dan pejabat yang terlibat agenda perdamaian tersebut, tak sampai menginjakkan kaki mereka di pendopo.

“Diculik dan diangkut menggunakan berbagai kendaraan oleh PKI.”

“Mereka dibawa ke berbagai tujuan secara berpencar, dan hingga kini, tidak pernah diketahui keberadaannya.”

Demikian penuturan KH Khoirun [yang berusia 93 tahun, saat ditemui di kediamannya, Desan Doho, RT17/03, Dolopo, Madiun, Jatim], Selasa (17/5/2016) siang.

Ia mengaku, ayah kandungnya juga merupakan salah satu korban pembunuhan massal oleh PKI, di tahun 1948.

Liciknya, sebelum mengeksekusi dengan kejam, PKI menjebak serta mengelabui tokoh masyarakat, kiai, hingga pejabat.

Kesaksian KH Ma’ruf Nawawi

Bagi bangsa Indonesia, terutama masyarakat Madiun, tahun 1948, memang menjadi masa suram.

Wilayah di Jawa Timur ini menjadi basis gerakan pemberontak PKI.

KH Ma’ruf Nawawi [yang berusia 84 tahun, saat ditemui di kediamannya, di Sewulan, Dagangan, Kabupaten Madiun, Selasa (17/5/2016) malam], pun mengungkap kisah.

Sebelum 1948, ujarnya, banyak kader PKI yang menyusup ke berbagai pondok pesantren.

Dalam aktivitas penyamaran sebagai santri, mereka mempelajari, hingga mencuri berbagai informasi.

Pada saat pengurus pondok pesantren lengah, PKI pun mulai melancarkan strategi penyerangan.

PKI, memanfaatkan para santri yang dibekali ilmu kedigdayaan, untuk mengundang sang kiai.

Menularkan ilmunya kepada kelompok binaan PKI, dengan alasan, jumlah pemuda yang ingin belajar, terlalu banyak jika ditampung di pondok pesantren.

Biadabnya, ketika kiai bersedia mendatangi kelompok pemuda rekayasa PKI, keberadaannya justru tak lagi pernah diketahui.

Peristiwa berlanjut dengan pembakaran bedug masjid di daerah Pandansari. Menandai peringatan dini pemberontakan PKI di Madiun.

Kesaksian KH Muhayat

Lebih lanjut, KH Muhayat yang juga menjadi saksi sejarah pemberontakan PKI, buka suara.

Menurutnya, PKI mengawali kampanye merebut simpati masyarakat, dengan menghadirkan banyak tontonan.

Seperti pagelaran wayang kulit, pun ketoprak. Itu menjadi media andalan PKI, agar masyarakat senang, dan mudah diajak bergabung.

Kawasan Caruban, menjadi wilayah awal PKI, aktif mengincar kiai dan santri, sebagai target utama.

Suatu ketika, gerombolan mereka menjemput paksa seorang kiai setempat, sementara iring-iringannya, mendatangi rumah sang kiai.

Panjang gerombolan tersebut bahkan mencapai 1 kilometer.

“Kami merasa berutang budi kepada Pasukan Siliwangi, yang berhasil menumpas dan meredam perluasan pengaruh PKI di wilayah Madiun.”

Demikian penuturan Kiai Muhayat, di kediamannya, Dukuh Banjar, Kedungrejo, Pilangkenceng, Kabupaten Madiun.

Selengkapnya, baca di:

1949

Setahun pasca pemberontakan PKI Madiun 1948, tepatnya pada 20 Maret 1949, terjadi agresi Militer Belanda II.

Tentara Belanda hendak masuk dan menyerang Trenggalek. Penduduk pun diimbau mengungsi, meninggalkan kota.

Ketika Kota Trenggalek kosong, sembari panik, PKI dan pendukungnya di Trenggalek, membakar Masjid Agung. Alasannya demi melaksanakan bumi hangus.

Sebagaimana kata Abdul Hamid Wilis. Saksi mata peristiwa tersebut adalah imam besar Masjid Agung kala itu, yakni Kiai M Yunus.

Kediaman yang bersangkutan, terletak di Kauman.

Menurut Kiai Yunus, di tengah kepanikan dan kesibukan masyarakat mengungsi, masuk waktu sholat Isya.

Saat itu, sebetulnya masih banyak jemaah, seperti biasa.

Sampai pada sekitar pukul 10 malam, mereka pamit dari masjid, untuk bersiap mengungsi bersama keluarga masing-masing.

Tersisa Kiai Yunus dan satu dua jemaah di sana.

Di waktu itulah, kata Abdul Hamid, datang beberapa orang PKI dan Pesindo, untuk memasang bom pada tiap saka guru Masjid Agung.

Beberapa dari mereka bahkan melanjutkan aksi biadanya dengan menyiapkan jeriken minyak tanah.

Anggota PKI sengaja berniat membakar Masjid Agung. Jelas, Kiai Yunus menolak dan menentang.

Namun, PKI dan Pesindo melanjutkan upaya mereka untuk membakar masjid.

Kiai Yunus pun mencoba mencari bantuan. Ia menghubungi komandan Mayor Zainal Fanani dan komandan lainnya.

Sayangnya, tidak berhasil. Ia yang tinggal sendiri, bahkan sempat digotong keluar masjid, saat bersikeras berdiam di dalam.

Akhirnya, Masjid Agung Trenggalek benar-benar mereka bakar, tepat pada Ahad (21/3/1949) tengah malam.

1951

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utama, yakni Harian Rakjat dan Bintang Merah.

Mereka juga mengambil posisi sebagai partai nasionalis, di bawah pimpinan DN Aidit.

PKI mendukung berbagai kebijakan antikolonialis, dan antibarat yang diambil oleh Presiden Soekarno.

Pada 1951, bersama kelompok di sekitarnya–termasuk para pemimpin muda [Sudisman, Lukman, Njoto, dan Sakirman]–Aidit, menguasai pimpinan partai.

Tidak ada satu pun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun, pada saat itu.

Aidit membawa PKI berkembang sangat cepat di bawah kepemimpinannya.

Dari sekitar 3.000-5.000 anggota di tahun 1950, menjadi 165.000 pada 1954. Bahkan mencapai 1,5 juta, di tahun 1959.

Pada Agustus 1951, PKI juga memimpin serangkaian pemogokan. Berlanjut dengan tindakan tegas kubu penentang PKI di Medan dan Jakarta.

Akibatnya, untuk sementara waktu, para pemimpin PKI, kembali bergerak di bawah tanah.

1962

Meski pemberontakan Madiun, dapat dipadamkan, PKI belum berhenti berupaya untuk bangkit.

Lagi-lagi, mereka menjadikan umat Islam sebagai target penekanan, seperti para ulama dan santri.

PKI terus melayangkan teror, demi melemahkan mental Muslim.

Pada 1962, para pendukung PKI pun menyerbu peninggalan Sunan Ampel, Masjid Agung Kembangkuning, Surabaya.

Mereka bahkan menginjak-injak tempat suci itu sembari menyakikan ‘Genjer-genjer’, dan menari.

Gerombolan manusia biadab itu juga menginjak-injak dan membakar ayat suci Al-Qur’an, dan kitab lainnya.

Rupanya, PKI punya niat mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani.

Mereka juga menghina Islam, dengan pementasan reog, ludruk, dan ketoprak.

PKI menceritakan matinya Tuhan, hingga mengakibatkan perkelahian mereka dengan NU pun tak terhindar.

1963

Tahun 1963, keadaan mulai berbalik. PKI memanaskan situasi politik dengan melempar tekanan keras pada lawan politiknya.

Termasuk dengan mendorong berbagai aksi sepihak, di daerah-daerah yang menjadi basis lahan pertanian.

Sejak 1963 juga, PKI yang mulai kembali bangkit, berupaya menaikkan daya tawarnya.

1964

PKI menyerang lebih agresif. Menetapkan musuh-musuh mereka.

Seperti Aidit yang dalam hasil penelitian tentang kaum tani di Jawa Barat, selama Februari-Maret 1964, menetapkan musuh bagi petani.

Tujuh setan desa yang membela kepentingan kaum pengisap desa. Begitu katanya.

  1. Tuan tanah jahat;
  2. Lintah darat;
  3. Tukang ijon;
  4. Kaptalis birokrat;
  5. Tengkulak jahat;
  6. Bandit desa; dan
  7. Penguasa jahat.

Namun, pada praktiknya di lapangan, kriteria penetapan musuh ini justru longgar.

Sebab, pada kenyataannya, aksi sepihak malah menjelma aksi brutal.

1965

Betapa liciknya Partai Komunis Indonesia (PKI), membuat pengajian jebakan, demi menumpas umat Islam di Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim).

Pada 18 Oktober 1965, mereka menyebar undangan atas nama NU.

Mendapat kabar tersebut, warga Dusun Krajan, Desa Cemetuk, Kecamatan Cluring pun berduyun-duyun menuju rumah Pak Lurah Matulus.

Namun, nyatanya undangan tersebut berasal dari PKI. Mereka sengaja menyamar sebagai Banser dan Fatayat.

Sebagai dedengkot PKI setempat, Matulus menjadikan undangan pengajian palsu tersebut untuk menjebak warga desa. Terutama para aktivis Banser dan Anshor.

Anggota Gerwani yang mendapat bagian mengurus bagian konsumsi, mengenakan kerudung serta seragam warna hijau, khas Fatayat NU.

Mereka juga ikut menyenandungkan sholawat. Iya, sebagian Gerwani mengurus makan minum, sebagian lagi bertugas sholawatan di panggung.

Itu mengapa, pengajian penuh petaka itu tak menimbulkan kecurigaan sama sekali.

Warga desa juga ikut menyenandungkan sholawat. Mengikuti pengajian hingga akhir, dan makan-makan bersama.

Namun, kegembiraan mereka sebagaimana ketika menjalani pengajian pada umumnya, berakhir duka.

Sebab, tak lama kemudian, para tamu undangan nampak memegang perut dan leher mereka, dan kejang.

Para tamu merasa begitu kesakitan di rumah Matulus.

Ternyata? Makanan yang mereka makan, telah tercampur racun. Pelakunya tak lain adalah Gerwani.

Rencana keji mereka berhasil menghilangkan nyawal puluhan anggota Anshor dan Banser Banyuwangi.

Setelahnya, para Gerwani pun nampak tertawa. Mereka gembira saat melihat anggota Banser dan Anshor, sekarat.

Satu per satu peserta pengajian tumbang. Bagi mereka, potret tersebut membuat tak ada perlawanan berarti.

Cukup dengan racun makanan, pihak yang mereka anggap musuh pun runtuh bersamaan.

Selengkapnya, baca di:

1968

Aksi sepihak PKI–dalam bentuk kekerasan–sejak 1960, dan pecah pada Gerakan 30 September 1965, belum berakhir.

Mereka kembali memainkan gerakan sporadis, hingga 1968-an.

Sejarah panjang mencatat kekerasan PKI di Indonesia. Pelanggaran hak asasi manusia, atas beragam aksi mereka di masyarakat.

2013

PKI menuduh NU dan TNI, sebagai penjagal, dan menuntut mereka untuk meminta maaf.

Pada 2013, Ketua PBNU HA Slamet Effendy Yusuf, pun menegaskan.

Bahwa pihaknya, menolak meminta maaf kepada PKI, karena mereka pemberontak, bukan korban.

“Mereka memang menuntut negara, TNI, dan NU meminta maaf.”

“Tapi hal itu tidak mungkin, karena NU itu antikomunis, dan komunis itu bertentangan dengan Pancasila,” tegasnya, Ahad (14/4/2013).

Slamet yang bicara dalam seminar nasional ‘Kebebasan dan HAM dalam Koridor Pancasila’, di Kantor PCNU Surabaya, itu juga menjelaskan.

Bagaimana keturunan PKI saat ini, pintar mengemas pandang, hingga seolah-olah PKI adalah korban.

“Tapi NU, memiliki bukti sejarah. Bahwa PKI adalah pemberontak, yakni sholawat badar dan Banser.”

“Sholawat Badar diciptakan pimpinan NU di Banyuwangi, untuk melawan PKI.”

“Itu sama dengan Banser. Jadi, hal itu membuktikan, bahwa PKI itu musuh. Bukan korban,” tegas Slamet.

Lebih lanjut, pihaknya mengajak negara dan TNI, untuk tidak melayani tiga tuntutan PKI, antara lain maaf, kompensasi, dan rehabilitasi.

“Kita justru harus waspada, karena mereka sekarang bukan berhadapan langsung dengan TNI, NU, dan negara.”

“Melainkan melakukan penyusupan,” jelas Slamet.

Penyusupan itu, imbuhnya, bukan hanya dalam bentuk ‘Paguyuban Korban Orde Baru’.

Namun, mereka juga menyusup ke parlemen di Senayan, birokrasi melalui Pilkada langsung. Bahkan, menyusup ke NU.

“Banyak anak-anak muda NU yang mulai tertarik dengan ajaran Marxisme.”

“Banyak kalangan yang mulai melihat pemberontakan G30S/PKI, sebagai rekayasa Orde Baru.”

“Padahal, generasi sekarang tidak tahu banyak tentang PKI. NU punya bukti, siapa mereka,” pungkasnya.