Berita  

Ungkap Siasat Radikalisme Susupi ASN, Alissa Wahid: Jangan Heran Banyak ‘Kader’ yang Berjuang

Siasat Radikalisme ASN Alissa Wahid

Ngelmu.co – Alissa Wahid yang merupakan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, mengungkap proses terjadinya eksklusivisme beragama di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menurutnya, kelompok tersebut ikut berkontribusi menciptakan radikalisme di kalangan pegawai kelembagaan, hingga BUMN di Indonesia.

“Jangan heran saat ini ketika ASN, BUMN, lembaga pemerintah itu, banyak sekali kader-kader yang berjuang,” tuturnya.

“Kenapa? Karena rupanya mereka diberi tugas perjuangan,” sambung Alissa, dalam diskusi daring, seperti dilansir CNN, Selasa (11/8).

Pakem tersebut, menurutnya, berasal dari kelompok garis keras keagamaan.

“Pertama ada pendekatan personal dan engagement, lalu penanaman ideologi eksklusivisme beragama,” ujar Alissa.

Berdasarkan fakta di lapangan, lanjutnya, proses eksklusivisme hingga menuju radikalisme, sudah ditanam sejak perguruan tinggi.

Organisasi radikal, menginfiltrasi sejak bangku kuliah; menanamkan eksklusivisme beragama.

Dengan cara mengenalkan konsep diri serta ajaran terkait kebanggaan sebagai umat.

Lebih lanjut Alissa mengatakan, mereka yang telanjur masuk ke dalam kelompok, akan ditanamkan visi perjuangan.

Kemudian mereka ditugaskan sebagai kader, hingga menggerakkan masyarakat.

Tahapan-tahapan yang Alissa ungkap, diklaim sebagai fakta lapangan; sesuai cerita eks kader HTI.

Gerakan kecil itu, awalnya menyasar kader dari mahasiswa yang aktif berorganisasi di kampus.

Setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan, mereka dijanjikan penempatan posisi tertentu dalam dunia kerja; lembaga pemerintahan hingga swasta.

Selain itu, kata Alissa, kader juga akan ditugaskan untuk mencari kemenangan kecil.

Seperti diutus ke daerah, di mana Islam menjadi agama minoritas, untuk kemudian mulai menggerakkan masyarakat di sana.

Praktik ini, lanjut Alissa, sudah tak asing di Indonesia. Maka ia meminta, agar pemerintah bisa membuat program serta penanganan yang akurat.

Baginya, kelemahan Indonesia dalam melawan radikalisme selama ini terletak pada pendekatan, program, dan sasaran yang tak tepat.

“Jadi saya ingin menyampaikan ke teman-teman BNPT, tidak cukup dengan hanya melakukan seminar besar-besaran,” kritik Alissa.

Salah satu cara mengantisipasi radikalisme, menurutnya adalah dengan menguatkan praktik moderasi beragama, serta membangun praktik bernegara; berlandaskan hak konstitusi.

Baca Juga: Apollinaris Darmawan: Terus-menerus Hina Islam, saat Kembali Ditangkap Hanya Diam

Sementara bagi Ade Armando, komunikasi pemerintah soal radikalisme, sejauh ini masih belum tegas.

“Jadi ada semacam ketidakyakinan dari pemerintah untuk bersikap lebih tegas terhadap radikalisme,” ujarnya.

Ade mengingatkan, jika ada pihak yang lebih penting untuk diwaspadai, yakni mereka yang ingin mengubah Indonesia secara gradual.

“Melalui jalur kebudayaan, pendidikan, ekonomi, politik, agar Indonesia menjelma sebagai sebuah negara yang diatur oleh syariah,” sambungnya.

Jauh sebelum ini, pada (4/3) lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Tjahjo Kumolo, menyatakan 17 calon pejabat eselon I, diduga terpapar paham radikal.

Begitupun dengan yang disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, akhir tahun lalu.

Ia mengakui, ada anak buahnya yang mempraktikkan ajaran agama secara eksklusif.

Pengkotak-kotakan kelompok itu, kata Sri, membuat Kemenkeu, menjadi sulit bersinergi.

Praktik keagamaan itu juga dinilai memunculkan sikap intoleran, hingga membuat ASN menjadi tidak peka.