Berita  

Anggota MKMK yang Minta Sanksi PTDH untuk Anwar Usman Itu Bintan Saragih

Anwar Usman Bintan Saragih

Ngelmu.co – Anwar Usman tidak dipecat dari Mahkamah Konstitusi (MK), meski ia diberhentikan dari jabatan ketua.

Sanksi itu pun membuat anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Bintan R Saragih, menyatakan dissenting opinion [pendapat berbeda].

Menurutnya, Anwar semestinya mendapat sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), karena yang bersangkutan dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat.

Namun, dalam putusan MKMK, Anwar hanya dijatuhi sanksi pemberhentian dari jabatan ketua MK.

Setelah Anwar, terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi.

Bintan sendiri merupakan anggota MKMK yang mewakili unsur akademisi berlatar belakang hukum.

Saat ini, Bintan menjabat sebagai dekan dan penasihat senior di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH).

Ia juga tercatat mengajar mata kuliah metode penelitian hukum, hukum tata negara, dan ilmu negara.

Pengalaman Bintan di bidang hukum, berawal saat ia meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia pada 1970.

Lalu di tahun 1991, Bintan mendapat gelar doktor hukum tata negara dari Universitas Padjajaran.

Berbekal gelar di bidang hukum, Bintan sempat menjadi dosen di Univeristas Indonesia (UI).

Saat membacakan dissenting opinion di sidang MKMK, Bintan mengaku telah menjadi dosen di UI selama 35 tahun (1971-2006).

Dalam kesempatan itu juga, Bintan menyatakan dirinya sebagai dosen di UPH selama kurang lebih 20 tahun (2003-sekarang).

Bukan cuma sebagai dosen, ia juga pernah menjadi anggota Dewan Etik periode 2017-2020; anggota Majelis Kehormatan MK.

Baca juga:

Pada sidang MKMK kali ini, Bintan menyatakan dissenting opinion atas sanksi yang dijatuhkan kepada Anwar.

Pendapatnya ini merujuk ilmu hukum yang ia pelajari selama ini.

“Cara saya berpikir dan berpendapat selalu konsisten sebagai seorang ilmuwan atau akademisi.”

“Karena itu, dalam memandang dan menilai sesuatu masalah, peristiwa, keadaan, gejala yang ada, selalu berdasarkan apa adanya [just the way it is],” kata Bintan.

“Itulah sebabnya dalam memberi putusan pada pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi a quo, saya memberi putusan sesuai aturan yang berlaku.”

“Dan tingkat pelanggaran kode etik yang terjadi dan terbukti, yaitu sanksi bagi hakim terlapor berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi,” tegas Bintan.