Opini  

Carut Marut Kebijakan Jokowi 2018, Benang Kusut Persoalan Garam Nasional

Petani Garam

Carut Marut Kebijakan Jokowi 2018, Benang Kusut Persoalan Garam Nasional

#2019GantiPresiden

Adhi Azfar, ST, ME
Direktur Eksekutif Center of Development Studies (CDS)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, telah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Kebijakan ini telah memberi kewenangan Kementerian Perindustrian untuk mengimpor garam. Beleid ini menimbulkan polemik karena sebagai negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut (pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), Indonesia masih belum mampu mencukupi kebutuhan akan garam.

Ironisnya, salah satu negara pemasok kebutuhan garam Indonesia adalah negara yang memiliki bibir pantai yang kecil, Singapura yang memasok 24,41 ton garam atau senilai 110,91 ribu dolar AS (Data BPS, 2015).

Kebijakan ini merespons 21 perusahaan yang sudah berhenti produksi akibat kurang stok garam. Tak hanya mengurangi ribuan karyawan, perusahaan-perusahaan tersebut berniat hengkang dari Indonesia akibat menipisnya stok garam industri. Namun peristiwa ini bukan pertama kali terjadi, tahun 2015 Indonesia juga sudah mengimpor garam industri, dan berulang terus setiap tahun.

Ketiadaan Road Map Produksi Garam menjadi persoalan paling krusial dalam benang kusut garam nasional. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya memiliki skema bussines as usual.

Selama ini KKP tidak punya kewenangan impor, yang ada hanya wewenang pemberian kuota impor. Sedangkan kebijakan impor garam sepenuhnya ada di Kementerian Perdagangan. PP No.9/2018 ini lebih memperparah lagi, kewenangan KKP kembali dipangkas, dimana kewenangan impor komoditas pergaraman sebagai bahan baku dan bahan penolong industri, penetapan rekomendasinya diserahkan kepada Menteri Perindustrian.

PP Nomor 9 Tahun 2018 ini juga berpotensi mencederai aturan hukum di atasnya, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, dimana UU Nomor 7/2016 ini menyebutkan rekomendasi impor harus dikeluarkan KKP.

Pasal 37 ayat 3 UU tersebut menyatakan bahwa dalam hal impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari menteri. Dalam hal ini adalah Menteri KKP (pasal 1 ayat 34). Aturan UU ditabrak PP Nomor 9 Tahun 2018 ini.

Selain tak punya peta jalan, data-data tentang garam serta neraca garam nasional juga menjadi persoalan. KKP menyebutkan kebutuhan impor 2,2 juta ton, sementara Kemenperin menyebutkan 3,7 juta ton garam industri yang dibutuhkan.

Impor garam industri ini dibutuhkan industri pangan, pabrik kaca, pabrik kertas, pengeboran minyak dan farmasi. Garam untuk industri masih harus diimpor karena tingkat kualitasnya tinggi, belum dapat dicapai oleh garam lokal. Garam untuk aneka pangan harus memiliki kandungan NaCl (Natrium Chlorida) diatas 94 persen, sedangkan untuk farmasi kandungan NaCl harus diatas 97 persen. Sementara rata-rata NaCl garam lokal baru 92 persen. Di Indonesia, spesifikasi garam setinggi itu (diatas 94 persen) baru didapatkan di perairan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di pantai lain, rata-rata kandungan air dalam garam masih sangat tinggi.

Perbedaan kandungan NaCl dan air tersebut yang menyebabkan garam industri tidak layak dikonsumsi langsung masyarakat. Akan tetapi, masuknya garam industri asing ke dalam negeri bukan tidak mungkin mempengaruhi harga garam konsumsi.
Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, masih sulitnya pemerintah membedakan garam industri dan garam konsumsi, sehingga terjadi kerancuan data.

Kedua, apakah ada jaminan masuknya garam industri tidak disusupi garam konsumsi akibat moral hazard pelaku impor dan oknum pejabat tertentu. Dua hal ini yang perlu diantisipasi pemerintah agar harga garam konsumsi di pasar lokal tidak anjlok, dan kelangsungan usaha petani garam terlindungi.

 

http://watyutink.com/opini/impor-garam-2018-benang-kusut-persoalan-garam-nasional