Sosok Christiaan Snouck Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje

Ngelmu.co – Masa Perang Aceh (1873-1904); dalam rangka untuk mengetahui kekuatan ulama Aceh, dan peranan Mekkah, Kerajaan Belanda, merekrut Christiaan Snouck Hurgronje (1837-1936).

Pasalnya, saat itu sangat sulit untuk menaklukkan Aceh, jika hanya mengandalkan kekuatan senjata.

Mereka menyadari betul, bahwa yang menjadi sumber kekuatan rakyat Aceh adalah agama Islam.

Maka mereka pun merekrut Snouck Hurgronje, yang merupakan pakar agama Islam dan bahasa Arab.

Snouck Hurgronje adalah putra keempat dari pasangan pendeta JJ Snouck Hurgronje dan D Christian de Visser.

Pada 1880, Snouck Hurgronje berhasil meraih gelar doktor sastra Arab dari Universitas Leiden.

Di saat masih menjadi mahasiswa, Christiaan Snouck Hurgronje pernah mengatakan:

“Membantu penduduk negeri jajahan agar terbebas dari Islam adalah kewajiban kita.”

Maka untuk mempelajari Islam, Snouck Hurgronje berpura-pura masuk Islam, dan pergi ke Mekkah–berhaji–di tahun 1884.

Lalu, ia memilih Abdul Ghaffar sebagai nama Islami, dan mulai berpakaian sebagaimana para muslim.

Di dalam suratnya, Christiaan Snouck Hurgronje, mengatakan bahwa masuk Islam adalah langkah untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya.

Di antara tahun 1898-1903, Snouck Hurgronje kerap pergi ke Aceh, untuk membantu Joannes Benedictus van Heutsz.

Benedictus van Heutsz adalah Gubernur sipil dan militer Belanda untuk wilayah Aceh.

Pada bukunya sendiri, Snouck Hurgronje, menuliskan rekomendasi strategi untuk mengalahkan perlawanan umat Islam di Aceh.

Christiaan Snouck Hurgronje menganggap Islam, sebagai faktor negatif atau ancaman.

Islam juga yang menurutnya memberikan semangat fanatisme di kalangan pemeluknya.

Christiaan Snouck Hurgronje menilai, Islam juga yang membangkitkan rasa benci terhadap penjajah kaphee (kafir) Belanda.

Ia menganggap ulama sebagai motor penggerak perlawanan, dan merasa menghabisi mereka adalah harus.

Baca Juga:

Christiaan Snouck Hurgronje, memformulasikan pemeluk Islam menjadi tiga kategori, yakni di bidang:

  1. Agama murni (ibadah);
  2. Sosial kemasyarakatan; dan
  3. Politik.

Di mata Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.

Di bidang ibadah, pemerintah Hindia Belanda, direkomendasikan untuk memberikan kebebasan umat Islam.

Agar umat Islam tetap dapat beribadah dan menjalankan kepercayaan agamanya; selama tidak mengganggu kekuasaan penjajah Belanda.

Mereka mengupayakan agar Islam, hanya menjadi ‘agama masjid’.

Mereka juga mengupayakan local wisdom alias adat istiadat kembali bangkit untuk mereduksi pengaruh Islam.

Kalaupun ada hukum Islam, maka harus sesuai dengan adat istiadat masyarakat setempat.

Di bidang kemasyarakatan, mereka menggalakkan pendidikan yang sekularisme; netral dari unsur agama.

Di bidang politik? Muncul usul agar pemerintah menolak tiap usaha yang membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islamisme (persatuan umat Islam sedunia.

Bagi Christiaan Snouck Hurgronje, menghindari dan membatasi Islam politik adalah harus. Bahkan, kalau bisa juga melarangnya.

Sebab, menurutnya, membiarkan Islam politik sama saja dengan mendukung lahirnya fanatisme agama.

Fanatisme agama, di mata Christiaan Snouck Hurgronje, ke depannya akan berbahaya bagi penguasa kolonial.

Bila perlu, Snouck Hurgronje menyebut penumpasan Islam politik juga harus dilakukan; melalui kekerasan dan kekuatan senjata.

Setelah menumpas Islam politik, pemerintah harus segera bergerak, memberikan pendidikan serta kesejahteraan.

Tujuannya agar masyarakat pribumi percaya, jika pemerintah kolonial punya maksud baik.

Setelah puluhan tahun berperang, strategi licik Christiaan Snouck Hurgronje, berhasil membuat Aceh, jatuh ke tangan penjajah.

Apakah sampai saat ini musuh Islam, masih menggunakan taktik serupa?

Semoga umat Islam, benar-benar senantiasa saling menguatkan, dan tidak pernah lupa dengan sejarah.

Referensi:

  • Surya Dinasti: Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (2016);
  • Lembaga Kajian Syamina: K Subroto, Strategi Snouck Hurgronje Mengalahkan Jihad di Nusantara (2017); dan
  • Tirto: Mustaqim Aji Negoro, Siasat Snouck Hurgronje Menjinakkan Islam Politik (2018).