Disebut Keliru Tangani COVID-19, Analis AS: Indonesia Terancam Krisis Sosio-Ekonomi

Ngelmu.co – Sana Jaffrey, seorang analis dari lembaga nonprofit Carnegie Endowment, Amerika Serikat (AS), menilai Indonesia telah melakukan kekeliruan dalam menangani pandemi COVID-19. Mulai dari lambatnya penanganan, salah prioritas, hingga transparasi data yang tak dipercaya oleh masyarakat.

Atas dasar itu, Indonesia, diprediksi akan mengalami krisis sosio—ancaman kerusuhan sosial—dan ekonomi, dalam perang menghadapi wabah virus Corona.

Pernyataan itu disampaikan Jaffrey, dalam laporan analisisnya, Rabu (29/4) lalu.

“Setelah berbulan-bulan membantah kasus COVID-19, yang tak terdeteksi, pemerintah mengonfirmasi pasien pertama terinfeksi pada bulan Maret.

Pada saat itu, negara tetangga Indonesia, sudah meluncurkan pengujian massal dan pembatasan mobilitas untuk menahan penyebaran.

Jokowi, mengesampingkan lockdown, dengan alasan dampak ekonomi yang keras di negara-negara berkembang lainnya, seperti India,” demikian tulis Jaffrey di awal.

Ia menyoroti, Indonesia yang tak melakukan pengamanan ketat. Akibatnya, kematian dalam kasus COVID-19, melonjak ke posisi tertinggi di Asia Tenggara.

Analis AS Sana Jaffrey

“Pada 28 April, hitungan resmi pemerintah dari kasus positif, melampaui 9.500, setelah tes dilakukan pada 62.000 orang, kurang dari 0,02 persen dari total populasi,” kata Jaffrey.

“Negara ini telah mencatat 773 kematian, termasuk lebih dari 40 dokter dan perawat. Pemerintah juga mengakui kehadiran lebih dari 213.000 kasus, yang diduga sedang menunggu untuk diuji,” sambungnya.

“Tanpa perbaikan (penanganan), negara tersebut akan membayar biaya jangka panjang yang sangat curam,” lanjut Jaffrey.

Baca Juga: LP3ES Beberkan 37 Pernyataan Blunder Pemerintah Terkait COVID-19

Intervensi yang dilakukan pemerintah, dinilai terlambat. Ia juga menyoroti, pernyataan peneliti independen dari Universitas Indonesia, yang memperkirakan infeksi COVID-19 mencapai angka 1,7 juta, dengan 144.000 kematian.

“Meskipun menghindari penutupan, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, berada dalam kekacauan, dengan prediksi kontraksi sebesar 0,4 persen yang dapat menjerumuskan lebih dari sembilan juta orang ke dalam kemiskinan,” jelas Jaffrey.

“Data survei terbaru, menyajikan gambaran yang lebih suram, yakni 25 persen orang dewasa (50 juta orang) melaporkan, bahwa mereka sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan harian. Ini menciptakan kekhawatiran, tentang kerusuhan perkotaan,” imbuhnya.

Menurut Jaffrey, para pejabat senior di Tanah Air, memberikan teori-teori yang tak berdasar, tentang dampak ringan COVID-19 di cuaca tropis.

Padahal para dokter, sudah memohon kepada presiden, untuk mengabaikan saran yang keliru, demikian pula para ilmuwan yang mengeluh karena tak ikut serta dalam proses.

“Tak yakin dengan angka resmi, jurnalis mengumpulkan data dari pemakaman, catatan medis, dan penghitungan gubernur, demi mengungkap dugaan, bahwa lebih dari 2.200 pasien, meninggal saat menunggu tes,” beber Jaffrey.

“Jokowi, mengakui bahwa data disembunyikan untuk mencegah kepanikan massal. Lebih parah lagi, pemerintahannya, menggunakan data cacat ini untuk menunda intervensi kritis,” sambungnya.

Berbagai upaya juga dinilai terlambat. Bahkan relatif lemah, jika melihat standar global.

Sebab, pembatasan yang diterapkan Indonesia, tak melarang perjalanan keluar masuk domestik, dari daerah yang terkena dampak, meskipun ada ketakutan penularan meluas.

“Pemerintah akhirnya melarang sebagian besar perjalanan komersial, pada 24 April, sebagai upaya mencegah mudik menjelang Idul Fitri (yang biasa dilakukan sekitar 20 juta orang),” kata Jaffrey.

“Tetapi sebanyak 1,6 juta di antaranya, diperkirakan telah pulang kampung sebelum kebijakan berlaku,” imbuhnya.

Baca Juga: Nasir Djamil Miris Penyaluran Bansos Macet karena Menunggu Tas ‘Bantuan Presiden’

Selain aksi yang telat, Raffley menilai, penanganan yang buruk telah mempercepat krisis kesehatan serta berdampak pada ekonomi.

“Sejak awal, presiden ingin menghindari penguncian regional, karena dampak ekonominya pada sektor informal, yang mencakup hampir 60 persen tenaga kerja Indonesia,” tuturnya.

“Namun, sarannya untuk bekerja dari rumah, bisa dilakukan oleh pekerja kantoran,” sambung Jaffrey.

“Sementara penjual makanan, tukang cukur, pengendara ojek online, tanpa sumber pendapatan pun bantuan pemerintah, kembali ke kota asal mereka,” lanjutnya.

Dominasi militer dalam pengelolaan krisis kesehatan, juga dinilai Jaffrey, telah menghasilkan kombinasi yang tidak dapat, hingga dapat menyebabkan penegakan hukum kacau dan kejam.

“Semua personel yang bertugas mengoordinasi respons krisis adalah pensiunan perwira militer,” ujarnya.

“Ini termasuk kepala satuan tugas manajemen bencana, juru bicara nasional tentang krisis COVID-19, menteri kesehatan, menteri agama, menteri urusan kelautan dan investasi, menteri pertahanan, dan kepala staf presiden,” imbuh Jaffrey.

“Pemerintahan Jokowi, memiliki konsentrasi personel militer tertinggi, dibandingkan kabinet manapun, sejak jatuhnya kediktatoran militer Suharto, 1998 silam,” sambungnya.

Jaffrey pun menyoroti, perang wilayah yang disebutnya paling terlihat antara pemerintah pusat dan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan.

“Faktanya, pemerintah pusat, secara sistematis merusak upaya Anies, untuk mengelola krisis. Meskipun Jakarta adalah pusat COVID-19 di Indonesia, permintaan soal pembatasan sosial, berulang kali ditolak,” ungkapnya.

“Setelah deklarasi darurat kesehatan nasional, permintaannya ditunda oleh menteri kesehatan, dan baru disetujui beberapa hari kemudian,” imbuh Jaffrey.

“Hubungan pemerintah dengan masyarakat sipil juga terus memburuk. Di tengah pandemi, parlemen juga mengumumkan rencana pengesahan dua RUU, yakni hukum pidana yang memicu demonstrasi mematikan tahun 2019, dan RUU Ciptaker yang ditolak oleh serikat pekerja,” sambungnya.

Jaffrey menilai, terlepas dari tragedi kemanusiaan yang mengkhawatirkan, salah langkah pemerintah dalam menanggapi COVID-19, dapat memengaruhi lintasan politik jangka panjang dalam tiga cara.

“Salah satunya percepatan kebangkitan militer dalam urusan sipil, yang sudah berjalan dengan baik dalam pemerintahan saat ini,” sebutnya.

“Permainan kekuasaan yang berkelanjutan antara pemerintah pusat dan daerah, dapat memaksa re-evaluasi undang-undang desentralisasi Indonesia,” sambung Jaffrey.

“Akhirnya, bisa muncul krisis kepercayaan warga terhadap pemerintah,” lanjutnya.

Wabah virus Corona yang skalanya jauh lebih besar, diprediksi, akan menjadi ujian tertinggi bagi masyarakat terkait gagapnya pemerintah dalam betindak.

“Tetapi, kali ini tampaknya ketahanan orang-orang Indonesia mendapat ujian yang sangat besar oleh pandemi berskala global yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Jaffrey.

“Selain diuji oleh ketidakmampuan pemerintahnya sendiri,” pungkasnya.

Diketahui, hingga Ahad (3/5) kemarin, Indonesia telah mencatatkan:

  • 349 kasus baru,
  • 11.192 total kasus positif,
  • 845 total pasien meninggal,
  • 1.876 total pasien sembuh,
  • 8.471 total pasien dirawat,
  • 23.130 total jumlah PDP,
  • 236.369 total jumlah ODP,
  • 112.965 jumlah spesimen diperiksa PCR,
  • 83.012 jumlah kasus diperiksa spesimennya,
  • Daerah terdampak di 34 provinsi: 326 kabupaten/kota