Jelang Pemilu, Cuma Satu Parpol yang Penuhi Keterwakilan 30 Persen Perempuan di 84 DCT?

Keterwakilan 30 Persen Perempuan
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati

Ngelmu.co – Pemilihan umum (pemilu) akan berlangsung dalam hitungan bulan. Tepatnya pada Rabu, 14 Februari 2024.

Namun, hingga kini disampaikan jika cuma satu partai politik (parpol) yang memenuhi keterwakilan 30 persen kandidat perempuan dalam daftar pencalonan di semua daerah pemilihan (dapil).

Itu mengapa, Komisi Pemilihan Umum (KPU), diminta untuk bertindak tegas terhadap semua parpol yang tidak memenuhi hal tersebut.

Pada 4 November 2023, KPU telah menetapkan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR Pemilu 2024.

Dari 18 parpol peserta pemilu untuk 84 dapil anggota DPR, hanya satu yang memenuhi persyaratan kuota minimum 30 persen kandidat perempuan dalam daftar pencalonan.

Ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 245.

Di sana tercantum jika syarat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen, harus terpenuhi di tiap dapil.

Bukan akumulasi total secara nasional.

Cuma PKS yang Penuhi Syarat

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay, buka suara.

Ia menyampaikan bahwa, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memenuhi syarat minimum 30 persen keterwakilan perempuan di semua DCT.

“PKS di 84 dapil, itu semua memenuhi, sekurang-kurangnya calon perempuannya mencapai 30 persen.”

“Jadi, kita perlu respek. Partai ini betul-betul mematuhi pasal yang memang mengharuskan 30 persen calon perempuan ada di tiap daftar calon yang mereka ajukan.”

Menurut Hadar, 17 parpol lainnya tidak mencapai kuota minimum calon perempuan sesuai syarat, seperti yang dipenuhi oleh PKS.

Beberapa parpol yang tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan di banyak dapil adalah:

  • PKB atau Partai Kebangkitan Bangsa di 29 dapil;
  • PDIP atau Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di 26 dapil;
  • PD atau Partai Demokrat di 24 dapil;
  • Partai Golkar di 22 dapil;
  • Partai Gerindra di 22 dapil.

Baca juga:

Hadar pun menegaskan ini sebagai bentuk pelanggaran yang sangat nyata dan serius.

Bahkan, sejak afirmasi tentang aturan keterwakilan perempuan minimal 30 persen disepakati, belum pernah terjadi seburuk ini.

Hadar yakin, pelanggaran serupa juga terjadi dalam DCT pemilihan anggota DPRD Provinsi ataupun Kabupaten/Kota.

Menurutnya, hal itu terjadi karena penyelenggara pemilu menoleransi pelanggaran yang dilakukan oleh 17 partai tersebut.

Hal ini juga berpotensi, mengakibatkan kualitas pemilu di Indonesia, makin hancur.

Implikasi ke Depan

Pengajar Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini juga bicara.

Ia menilai, KPU seharusnya tidak menerima parpol yang mengajukan DCT dengan keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen di semua dapil.

Terlebih karena Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dalam keputusan terakhir menyatakan bahwa kebijakan keterwakilan perempuan [paling sedikit] 30 persen di tiap dapil adalah agenda demokrasi yang harus dijaga dan ditegakkan bersama.

Menurut Titi, implikasi dari pelanggaran aturan keterwakilan perempuan ini, KPU tidak menjaga dan menegakkan agenda demokrasi negara.

Hal ini juga jelas merupakan bentuk pelanggaran administratif pemilu.

Meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam tiap tahapan penyelenggaraannya.

“Implikasi berikutnya, pencalonan menjadi tidak sah, dan jika tidak dikoreksi, maka pemilu, dalam konteks daftar calonnya, terancam inkonstitusional.”

“Ini bisa berbuntut gugatan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.”

“Mestinya bisa dikoreksi oleh Bawaslu, karena punya peran pengawasan dan pencegahan. Tidak harus menunggu laporan dulu dari masyarakat,” tegas Titi.

Ia juga menggarisbawahi implikasi terakhir secara nasional.

Bahwa, pelanggaran aturan keterwakilan minimum 30 persen perempuan dalam DCT di tiap dapil ini bisa menurunkan Indeks demokrasi Indonesia.

Harus ditindak, karena pemilu menopang skor Indeks Demokrasi Indonesia.

Diskualifikasi

Lebih lanjut, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan pun bergerak.

Pihaknya menyikapi pelanggaran ini dengan mendesak KPU untuk mendiskualifikasi parpol.

Tepatnya di tiap dapil yang tidak memenuhi syarat minimal 30 persen kandidat perempuan dalam DCT.

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan juga menjelaskan, mengapa pihaknya mendesak Bawaslu.

Sebab, salah satu peran utama Bawaslu adalah mengawasi seluruh pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu.

Bukan hanya itu, tetapi juga menangani pelanggaran dengan segera bergerak, tanpa menunggu laporan dari masyarakat.

Tidak Ada Sanksi

Terpisah, Ketua KPU Hasyim Asy’ari, mengatakan, tidak akan ada sanksi bagi parpol yang daftar calon di tiap dapilnya tidak memenuhi syarat 30 persen perempuan.

Menurutnya, UU Pemilu hanya mengatur ketentuan, dan tidak memuat sanksi bagi yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut.

“Sepanjang saya ketahui, di UU Pemilu, tidak ada sanksi, ketika ada publikasi, sama dengan KPU menginformasikan kepada publik tentang partai politik mana yang memenuhi keterwakilannya 30 persen di daftar calon.”

“Jadi, masyarakat bisa membuat penilaian tentang komitmen masing-masing partai politik tersebut,” kata Hasyim.