Berita  

Kritik New Normal, Peneliti UI: Ekonomi Ambruk, Kesehatan Tambah Terpuruk

Kritik New Normal

Ngelmu.co – Direktur Eksekutif Center for Clinical Epidemiology & Evidence-Based Medicine, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Tifauzia Tyassuma, mengomentari soal new normal, di tengah pandemi COVID-19 di Tanah Air.

Menurutnya, pemerintah tak melihat masalah wabah virus Corona, pada duduk perkara yang semestinya.

Dilansir Kumparan, Tifauzia, menilai pemerintah dalam hal ini gagal mengidentifikasi sumber, dari masalah ekonomi yang terjadi selama pandemi.

Seharusnya, pemerintah menyelesaikan terlebih dulu masalah kesehatan masyarakat, sebelum mulai kembali membangun ekonomi.

Sebab, jika tidak, wacana new normal, justru dapat membuat ekonomi ambruk, begitupun kesehatan masyarakat, semakin memburuk.

“Dari awal sudah saya sampaikan, ini ‘kan persoalan bagaimana memandang masalah. Persoalannya ‘kan, bagaimana sikap kita memandang masalah itu gimana sih?” tutur Tifauzia.

“Saya menggunakan suatu konsep, yang itu sudah teruji, namanya horizon scanning. Jadi, kita buat garis lurus dari kiri ke kanan, kita buat identifikasi mana sebab, mana masalah, mana dampak,” sambungnya.

“Sekarang, kalau kita pakai horizon scanning itu, ini masalahnya apa sih? Ini ‘kan masalahnya kesehatan. Sebabnya apa? Karena virus, pandemi. Nah, berarti, dampaknya terjadi apa?” lanjut Tifauziah.

“Ya, akan terjadi kematian dan kesakitan, karena pandemi sifatnya, berarti kematian dan kesakitan dalam jumlah besar,” imbuhnya lagi.

“Sekarang, masalahnya kenapa? Masalahnya ‘kan karena ketidaksiapan fasilitas kesehatan, ketidaksiapan pengetahuan dari masyarakat, kebijakan-kebijakan yang belum tepat,” kata Tifauziah.

Maka dari masalah itu, pemerintah harusnya bisa mengambil intervensi, demi menyelesaikan masalah kesehatan, yakni dengan memperkuat fasilitas kesehatan, serta mengedukasi masyarakat.

Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan, karena masyarakat Indonesia, punya kecenderungan i-literasi, di mana mereka tak begitu paham risiko yang dibawa virus Corona.

Namun, sayangnya, kata Tifauziah, pemerintah justru berlaku sebaliknya.

“Sama sekali (tidak tepat sasaran),” tegas Tifauzia.

Dengan narasi new normal yang dipromosikan pemerintah dan merebaknya hoaks di media sosial, menurutnya, masyarakat malah semakin tak disiplin, dalam menjaga kesehatan.

Pasalnya, mereka menganggap bahaya COVID-19, sudah selesai.

Harus disadari, hal ini justru bisa menjadi bumerang, karena bukan tidak mungkin menyebabkan kasus kembali melonjak.

“Nah, itu yang kemudian hasilnya, ini beberapa hari ‘kan coba kita pantau ya, jadi tampaknya itu pemerintah seakan-akan seperti orang yang terburu-buru,” kata Tifauzia.

“Tidak jelas, untuk segera menerapkan pembebasan PSBB, new normal, dan sebagainya,” sambungnya.

“Padahal kita tahu, pemerintah tidak tahu sepenuhnya apa yang dimaksud new normal, dan bagaimana langkah berikutnya kalau PSBB itu dicabut ‘kan?” lanjut Tifauzia.

Setidaknya, berdasarkan catatan, pada Rabu (10/6), terdapat sembilan provinsi dengan jumlah kenaikan kasus baru tertinggi, yakni:

  1. Jawa Timur, bertambah 273 kasus, sehingga total menjadi 6.806 kasus, dengan pasien sembuh 1.681 orang, dan meninggal dunia 530 orang;
  2. Sulawesi Selatan, bertambah 189 kasus, sehingga total menjadi 2.383 kasus, dengan pasien sembuh 757 orang, dan meninggal dunia 98 orang;
  3. DKI Jakarta, bertambah 157 kasus, sehingga total menjadi 8.503 kasus, dengan pasien sembuh 3.517 orang, dan meninggal dunia 535 orang;
  4. Jawa Tengah, bertambah 139 kasus, sehingga total menjadi 1.813 kasus, dengan pasien sembuh 626 orang, dan meninggal dunia 103 orang;
  5. Kalimantan Selatan, bertambah 127 kasus, sehingga total menjadi 1.565 kasus, dengan pasien sembuh 128 orang, dan meninggal dunia 108 orang.
  6. Jawa Barat, bertambah 50 kasus, sehingga total menjadi 2.506 kasus, dengan pasien sembuh 995 orang, dan meninggal dunia 161 orang;
  7. Sumatra Selatan, bertambah 41 kasus, sehingga total menjadi 1.229 kasus, dengan pasien sembuh 450 orang, dan meninggal dunia 46 orang;
  8. Banten, bertambah 35 kasus, sehingga total menjadi 1.096 kasus, dengan pasien sembuh 401 orang, dan meninggal dunia 73 orang; dan
  9. Bali, bertambah 32 kasus, sehingga total menjadi 640 kasus, dengan pasien sembuh 412 orang, dan meninggal dunia 5 orang.

Tifauzia menilai, lonjakan itu juga diakibatkan arus mudik Lebaran, yang tak terbendung, serta penambahan tes PCR (Polymerase Chain Reaction) yang mulai masif.

Namun, ia menegaskan, bahwa pemerintah perlu menyelesaikan masalah kesehatan lebih dulu, sebelum beralih ke masalah ekonomi.

“Negara-negara yang telah menerapkan new normal itu, semua gagal. Sebut saja, mana negara yang menerapkan new normal dan berhasil? Enggak ada satu pun,” tegas Tifauzia.

“Kita lihat saja nanti, sekian bulan, ekonomi kita ambruk, kesehatan tambah terpuruk. Itu sudah pasti, kalau langkah yang diambil pemerintah seperti ini,” imbuhnya mengingatkan.

Baca Juga: Fadjroel Sebut Jokowi Sukses Atasi COVID-19, Lembaga Survei Hong Kong Tempatkan Indonesia Posisi Buncit

Tifauzia, bukan orang pertama yang mengingatkan pemerintah, jika pelonggaran PSBB dilakukan secara prematur, dapat menyebabkan kelumpuhan ekonomi semakin buruk di kemudian hari.

Pasalnya, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, juga menyampaikan hal serupa.

Menurutnya, pelonggaran yang diambil pemerintah, justru akan membuat pemulihan ekonomi nasional semakin lama.

Sebab, penanganan COVID-19 belum maksimal. Kondisi itulah yang akan membuat pengusaha, ragu membuka bisnisnya, dan membuat masyarakat menahan diri di rumah.

“Kalau kebijakannya setengah-setengah, dengan melonggarkan seperti ini, dikhawatirkan dari sisi konsumen dan pengusaha,” kata Bhima.

“Daripada nanti kena virus yang biaya pengobatannya lebih mahal, mending enggak usah keluar dulu,” sambungnya, memprediksi.

“Nah, situasi yang serba nanggung ini, justru akan memperlama pemulihan ekonominya,” pungkas Bhima.