Berita  

Mahfud Md Turut Komentari Pernyataan Budi Santosa Purwokartiko

Mahfud Md Budi Santosa

Ngelmu.co – Akibat pernyataannya sendiri, Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Budi Santosa Purwokartiko, harus menerima berbagai kritik dan protes.

Pada Ahad (1/5/2022) lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md, sudah bicara.

Ia merespons pernyataan Budi, sembari membagikan artikel berjudul ‘Sebut Mahasiswi Menutup Kepala ala Manusia Gurun, Guru Besar UMS: Rektor ITK Rasialis dan Anti-Pancasila’.

Berikut tanggapan Mahfud, yang Ngelmu kutip dari akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd:

Memuji mahasiswa/mahasiswi hebat, hanya karena mereka tidak memakai kata-kata agamis [Insya Allah, Qadarallah, Syiar], sebagaimana ditulis oleh Rektor ITK, itu juga tidak bijaksana.

[Insya Allah, Qadarallah, Syiar, dan sebagainya] adalah kata-kata baik bagi orang beriman. Sama dengan ucapan Puji Tuhan, Haleluya, Kersaning Allah, dan lain-lain.

Sejak tahun 1990-an, banyak sekali profesor di kampus besar seperti UI, ITB, UGM, IPB, dan lain-lain, yang tadinya tidak berjilbab, menjadi berjilbab.

Ibu Dirut Pertamina dan Kepala Badan POM, juga berjilbab.

Mereka juga pandai-pandai, tetapi tetap toleran. Meramu keislaman dan keindonesiaan, dalam nasionalisme yang ramah.

Pakaian yang Islami itu adalah niat menutup aurat dan sopan; modelnya bisa beragam, dan tidak harus pakai cadar atau gamis.

Model pakaian adalah produk budaya. Maka itu menuduh orang pakai penutup kepala seperti jilbab ala Indonesia, Melayu, Jawa, dan lain-lain; sebagai manusia gurun, adalah salah besar.

Sebelumnya, pada Rabu (27/4/2022) lalu, Budi menulis status di akun Facebook pribadinya.

Pilihan kalimat pada status tersebut-lah yang kemudian memicu protes keras dari berbagai pihak; khususnya umat Islam.

Sebab, Budi bilang, “Mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun.”

Baca tulisan lengkap yang bersangkutan di sini:

Tulisan itulah yang membuat banyak kepala geram, sekaligus menyayangkan.

Mengapa seorang profesor, rektor pula, bisa asyik dengan pilihan kata yang begitu memicu perpecahan.

Baca Juga: