Berita  

Muhammadiyah Meminta Pengesahan RUU Pesantren Ditunda

Pengesahan RUU Pesantren

Ngelmu.co – Sejumlah ormas Islam dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta pengesahan RUU Pesantren ditunda. Keberatan muncul, karena definisi pesantren dalam peraturan yang dibuat tersebut.

Muhammadiyah Meminta Pengesahan RUU Pesantren Ditunda

“Muhammadiyah berkeberatan dengan definisi pesantren yang ada dalam UU. Selain itu, ada banyak pasal lain yang harus diubah, sebagai turunan dari definisi pesantren tersebut,” jelas Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, seperti dilansir Detik, Kamis (19/9).

Permintaan pengesahan RUU Pesantren ditunda itu, disampaikan Muhammadiyah melalui surat yang dikirimkan kepada Ketua DPR, Bambang Soesatyo.

Surat ditandatangani oleh Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas dan Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, 17 September 2019 lalu.

Pendapat Ormas Islam Terkait Pengesahan RUU Pesantren

Ormas Islam lain pun satu suara dengan Muhammadiyah.

Aisyiyah, Al Wasliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Persatuan Islam (PERSIS), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Nahdlatul Wathan (NW), Mathla’ul Anwar, Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI), dan Pondok Pesantren Darunnajah, semua meminta penundaan pengesahan RUU Pesantren.

Semua pihak menilai, RUU Pesantren tidak mengakomodasi aspirasi seluruh ormas Islam.

Berikut penjelasan lengkapnya:

Setelah mengkaji secara mendalam terhadap RUU Pesantren, memperhatikan aspek filosofis, yuridis, sosiologis, antropologis, dan perkembangan serta pertumbuhan pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kami berpendapat RUU tersebut sebagai berikut:

1. Bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara, Falsafah Hidup dan Instrumen Pemersatu Bangsa yang hidup dalam kebhinekaan, perlu kita pertahankan melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Sehingga semua yang dibangun di negeri ini perlu menghargai keberagaman yang ada sebagai keunikan bangsa yang kita miliki bersama.

2. Bahwa Pasal 31 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) mengatur bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang “.

3. Bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai undang-undang organik dari Pasal 31 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut di atas, telah mengatur secara komprehensif mengenai sistem pendidikan nasional yang mencakup dan memadai untuk pengembangan pesantren, antara lain seperti yang diatur dalam pasal-pasal berikut:

a. Pasal 13 Ayat (1): “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya “;

b. Pasal 30 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5):

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dan pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama;

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal;

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis;

(5) Ketentuan mengenai pendidiiaturkan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

4. Bahwa nomenklatur dan substansi yang diatur dalam RUU Pesantren tidak mencerminkan dinamika pertumbuhan dan perkembangan Pesantren saat ini sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

5. Bahwa RUU Pesantren ini apabila disahkan menjadi UU, berpotensi memunculkan tuntutan peraturan perundang-undangan yang sejenis dari pemeluk agama selain Islam.

Dan apabila tidak dipenuhi dapat menimbulkan pertentangan dan perpecahan dalam kehidupan masyarakat, yang dapat berujung pada terjadi disintegrasi bangsa.

6. Bahwa ketentuan yang diatur dalam RUU Pesantren hanya mengakomodir dan mengatur pesantren yang berbasis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.

Dan belum mengakomodir keberagaman pesantren sesuai dengan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan pesantren.

Berdasarkan hasil kajian di atas, kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Kami berpendapat bahwa RUU Pesantren tidak dapat dipisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dengan demikian pengaturan yang lebih tepat.

Apabila diperlukan pengaturan lebih terperinci, maka dilakukan dengan memasukkan materi muatan RUU Pesantren dengan revisi Undang-Undang fiistem Pendidikan Nasional.

2. Rancangan Undang-Undang Pesantren yang dibahas di DPR RI berawal dari RUU inisatif DPR RI dengan nama Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Hal ini menunjukkan perbedaan nomenklatur RUU Pesantren yang dibahas saat ini.

Adanya perubahan nomenklatur, menunjukkan perbedaan antara yang diusulkan DPR RI dan yang di usulkan Pemerintah.

Kami berpendapat ada persoalan mendasar akibat perbedaan pandangan terhadap Rancangan Undang-Undang ini.

Perubahan nomenklatur dan penghapusan ratusan pasal dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, mengakibatkan RUU Pesantren kehilangan pijakan Naskah Akademik yang disusun untuk menghasilkan naskah RUU Pesantren.

3. RUU Pesantren perlu dilakukan kajian menyeluruh untuk dapat dilakukan pembahasan, dengan menyusun ulang Naskah Akademik RUU Pesantren.

Salah satunya mengkaji pemisahan antara pengaturan Pendidikan Keagamaan Islam dengan Pendidikan Keagamaan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu.

4. Kami berpendapat materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama (No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam; No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu’adalah; dan No. 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly) sudah memberikan ruang bagi berkembangnya Pesantren.

5. Kami mencermati naskah Rancangan Undang-Undang Pesantren yang saat int tengah dibahas, sebagaimana terlampir bersama Undangan Rapat Dengar Pendapat Umum.

RUU Pesantren Perlu Dikaji Lebih dalam dan Menyeluruh

a. Tentang Judul perlu pengkajian mendalam merubah Judul menjadi RUU Pesantren, karena belum ada dasar Filosofis, Sosiologis dan Yuridis terkait pemisahan dalam peraturan yang berbeda antara pendidikan keagamaan.

Hal ini dapat menimbulkan persoalan disintegrasi serta diskriminatif dalam pelaksanaannya karena ada pendidikan keagamaan yang disuboordinatkan.

Pendidikan keagamaan Islam bahkan berada dalam dua Undang-Undang yaitu Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Pesantren.

Sedangkan Pendidikan Keagamaan selain Islam diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, dan merupakan turunan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. DIM No 1.

b. Terkait DIM 144-148, penyetaraan pendidikan pesantren nonformal, Muhammadiyah memandang penyetaraan diperlukan dan diatur sesuai dengan pendidikan lanjutan yang akan ditempuh setidak tidaknya dalam bentuk matrikulasi.

c. Terkait DIM 144-148, terhadap pertanyaan apakah Akreditasi bagi seluruh pesantren muadalah dan non formal diperlukan, Muhammadiyah berpandangan Akreditasi perlu dilaksanakan sebagai bagian dari proses penjaminan mutu.

d. Kami memandang esensi Pasal 16 terkait dengan DIM 195, khusus Pasal 16 ayat (1) dapat dipertahankan, sehingga menjadi Pasal 16 saja.

e. Terkait DIM 976-984, Pengaturan tentang Pendanaan, Muhammadiyah menyetujui masukan dari Kementerian Keuangan yang menyatakan penormaan harus menghindari limitasi dan penyebutan prosentase.

Bahwa pesantren dinyatakan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional sehingga pesantren memiliki hak dalam 20% APBN, menegaskan bahwa pesantren berada dalam ranah Pendidikan sehingga pembahasan terhadap Pesantren perlu melibatkan Komisi X DPR RI.

Pembagian anggaran APBN pendidikan perlu diperhatikan agar tidak terjadi diskriminasi, disintegratif dan subordinat, mengingat dipisahkannya pendidikan keagamaan Islam dengan pendidikan keagamaan non Islam, kemudian antara pendidikan keagamaan Islam dan Pendidikan Keagamaan Negeri.

f. Hasil kajian kami terhadap RUU Pesantren di luar DIM yang dikirimkan Sekretariat DPR RI hal-hal yang perlu dilakukan perbaikan dan penyempurnaan pada RUU Pesantren antara lain:

Pasal 1 angka 1, 2, 4, 5, 7; Pasal 3 huruf a, Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 5 ayat (3) huruf b, Pasal 7 ayat (2), Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, yang terkait dengan pola pesantren yang terintegrasi antara pendidikan umum dan pendidikan keagamaan, pola pesantren yang didirikan oleh Perguruan Tinggi Umum atau Perguruan Tinggi Keagamaan.

Hal ini perlu diatur sebagai bentuk akomodasi terhadap perkembangan pesantren yang telah berkembang dn melakukan penyesuaian dengan pola pendidikan saat ini.

Pesantren dan Ma’had Aly sebagaimana diatur dalam RUU Pesantren ini belum mengakomodasi keberadaan Pesantren dan Ma’had Aly yang dikembangkan.

Baik oleh Muhammadiyah maupun Ormas atau Lembaga atau Yayasan atau bentuk lainnya, dalam hal pengembangan Pesantren yang terintegrasi baik pendidikan keagamaan maupun pendidikan umum, serta bentuk Pesantren yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal.

Untuk itu dalam Pengertian Pesantren perlu ditegaskan, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pendidikan pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai ke-khasan pesantren.

Dengan berbasis kitab kuning, dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin, atau pola lainnya yaitu pesantren yang mengembangkan kurikulum berbasis dirasah.