Berita  

Riset Ungkap Media Barat Kerap Mengaitkan Islam dengan Teroris

Media Barat Kaitkan Islam dengan Teror
Ikon Images/Eva Bee/Getty Creative Images

Ngelmu.co – Berdasarkan laporan Centre For Media Monitoring (CfMM), berjudul ‘How The British Media Report Terrorism’, terungkap fakta jika media barat kerap mengaitkan istilah teroris, terorisme, atau teror, dengan Islam pun Muslim.

Bahkan, perbedaannya hingga sembilan kali lebih banyak, jika dibanding dengan cara mereka mengidentifikasi kelompok sayap kanan, Neo-Nazi, hingga supremasi kulit putih.

CfMM, dalam penelitian ini, sudah menganalisis lebih dari 230 ribu artikel yang diterbitkan 31 media online nasional.

Hasilnya menunjukkan, inkonsistensi dalam pemberitaan serangan teroris, yakni tergantung pada latar belakang pelaku.

Contoh nampak jelas pada perbandingan statistik serangan teror yang terjadi dalam 18 bulan terakhir.

Media nampak enggak melabeli serangan supremasi kulit putih sebagai teror.

Penelitian juga menunjukkan, bagaimana sikap presenter dan reporter di seluruh saluran terestrial.

Mereka kerap gagal menantang supremasi kulit putih dan retorika anti-Muslim, selama meliput serangan Christchurch, Selandia Baru.

“Situs berita online, khususnya Mail Online, telah menggunakan frase ‘Allahu Akbar’, di headline sebagai singkatan dari terorisme yang dilakukan oleh individu berlatar belakang Muslim.”

Demikian bunyi pernyataan dalam penelitian tersebut, seperti dilansir 5pillarsuk.com, Rabu (26/8).

Meski demikian, nampak upaya perbaikan dalam setahun terakhir.

Dengan pengakuan lebih besar terhadap teror supremasi kulit putih, yang merupakan dalang dari serangan besar di Christchurch dan El Paso.

“BBC, ITV, dan Sky, telah menjelajahi masalah terorisme ‘supremasi kulit putih’, dengan ketelitian yang jauh lebih besar dalam liputan langsung mereka dengan beberapa contoh terbaru yang luar biasa,” beber Direktur Pusat Pemantauan Media, Rizwana Hamid.

Baca Juga: Sebut Teroris Beragama Islam, IKAMI Polisikan Abu Janda

Meskipun kini nampak ada pengakuan akan pentingnya konsistensi dan skala ancaman sayap kanan di antara penyiar, dan sebagian besar pers.

Namun, Hamid menilai, inkonsistensi masih tetap ada. Di mana fokus media masih tidak proporsional terhadap Muslim.

“Inkonsistensi tetap ada, dengan fokus yang tidak proporsional pada Muslim,” ujarnya.

“Paling parah, tajuk berita yang menggunakan istilah-istilah agama seperti ‘Allahu Akbar’, menyiratkan bahwa agama selalu menjadi motivator, mengabaikan faktor-faktor lain seperti sejarah kriminal dan masalah kesehatan mental yang mungkin berperan, dan yang sering disebutkan ketika pelakunya bukan Muslim,” sambung Hamid.

“Tetapi dalam interaksi kami dengan direktur editorial, editor pengelola, koresponden keamanan, dan produser senior, pada umumnya ada kemauan untuk berefleksi, dan kami berharap rekomendasi kami membantu meningkatkan standar bagi kita semua,” lanjutnya lagi.

Para peneliti CfMM, juga menyarankan penggiat media agar mengadopsi definisi terorisme yang transparan, serta menerapkannya dengan konsisten; menyertakan fakta relevan.

“Hindari pernyataan saksi yang tidak kompeten, hubungan palsu antara terorisme dan praktik Islam normatif, yakni seseorang yang pergi ke masjid, tidak boleh melibatkan masjid dalam kejahatan individu,” tegas Hamid.

“Judul dengan istilah ‘Allahu Akbar’, sebagai singkatan dari motif, juga harus dihindari; termasuk platform suara supremasi sayap kanan dan kulit putih, kecuali dalam keadaan di mana pandangan mereka di-kontekstualisasi-kan, dan dapat cukup ditantang,” pungkasnya.