Berita  

Sederet Ahli Kesehatan Sebut Rapid Test Tak Efektif

Pandu Riono Rapid Test Tak Efektif
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, menunjukkan RI-GHA, di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (9/7). Foto: Liputan6.com/Faizal Fanani.

Ngelmu.co – Sederet ahli kesehatan menyebut rapid test [tes cepat] tak efektif mendeteksi COVID-19. Sebab, sensitivitas dari mengecek antibodi lewat darah tidak tinggi, sehingga banyak kemungkinan, hasilnya—baik negatif pun positif—palsu.

Salah satunya ditegaskan oleh Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono.

Menurutnya, rapid test yang kurang efektif itu akan lebih baik jika ditiadakan.

“Memang tidak perlu ada [rapid test], dan sekalipun gratis, juga tidak perlu,” tutur Pandu, seperti dilansir Tirto, Senin (13/7).

“Tapi Kemenkes, malah bikin surat edaran harga, kayak harga eceran, seperti barang,” sambungnya.

Kebijakan itu, bagi Pandu, hanya mempertegas jika pada akhirnya, rapid test hanya jadi ladang bisnis, entah oleh rumah sakit pun maskapai penerbangan.

Bahkan, kini sudah ada beberapa perusahaan yang menyediakan fasilitas rapid test sendiri.

“Ini sudah melampaui batas-batas kepatutan. Sangat tidak etis kalau sampai orang mencari uang di tengah kepanikan semacam ini,” tegas Pandu.

Senada dengan penilaian Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn), Aryati.

Ia juga mengatakan, jika rapid test memang tidak efektif.

“Harus ada pemeriksaan yang lain, seperti pemeriksaan cek darah lengkap,” ujar Aryati.

Dalam panduan rapid test, ketika seseorang mendapatkan hasil non reaktif, 10 hari kemudian, yang bersangkutan masih harus di-tes lagi.

“Tapi kenyataannya, di lapangan banyak tidak dilakukan,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu.

Maka menurutnya, akan lebih tepat jika rapid test digunakan kepada mereka yang sudah dinyatakan sembuh dari COVID-19.

PDS PatKLIn, pun sudah mengirim surat ke Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Senin (6/7), yang ditandatangani langsung oleh Aryati.

Di mana isinya, menyarankan agar gugus tugas membatalkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 tahun 2020 tentang kriteria dan persyaratan perjalanan.

SE itu mengatur pelaku perjalanan umum darat, perkeretaapian, laut, dan udara, harus menunjukkan surat keterangan non-reaktif rapid test, atau uji tes PCR dengan hasil negatif.

Surat tersebut dikeluarkan oleh lembaga kesehatan, dan berlaku 14 hari setelah dikeluarkan.

Baca Juga: Rapid Test: Ilmiah Sering Kalah dengan Bisnis

Terlepas dari itu, kembali ke aturan syarat perjalanan tadi, seorang warga bernama Muhammad Sholeh, menggugatnya ke Mahkamah Agung (MA), akhir Juni lalu.

Alasannya, ia menilai, hanya orang mampu yang bisa melakukan tes tersebut, karena mahalnya biaya. Kebijakan itu dinilai diskriminatif.

Sholeh juga menganggap, peraturan tersebut sia-sia. Mengapa demikian?

Sebab, jika mengacu pada protokol kesehatan, orang dengan suhu tubuh di atas 38 derajat celcius, tidak boleh bepergian, sekalipun mengantongi surat bebas COVID-19; hasil rapid test.

“Pertanyaannya, yang menjadikan calon penumpang bisa bepergian, hasil rapid test atau tes suhu badan?” kritik Sholeh.

Sayangnya, sampai hari ini, pemerintah masih tetap mempertahankan tes tersebut.

Sebagaimana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, yang menetapkan hasil non-reaktif rapid test, sebagai salah satu syarat perjalanan.

Seseorang tidak boleh bepergian ke luar kota; terutama lewat jalur udara, jika tanpa menyertakan dokumen itu.

Maka itulah, banyak pihak yang menduga rapid test, hanya digunakan untuk keperluan komersial.

Sebelumnya, lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pemerintah menetapkan batas tarif tertinggi rapid test, yakni Rp150 ribu.

Sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020, ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Bambang Wibowo, Senin (6/7).