Berita  

Sudah Penuhi Standar WHO, Mengapa Kemenkes Enggan Gunakan APD Lokal?

Standar WHO Kemenkes APD Lokal

Ngelmu.co – Mengapa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, disebut enggan menggunakan alat pelindung diri (APD) buatan lokal, yang telah memenuhi standar hazmat and gown dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)?

Fakta ini diungkap oleh perusahaan tekstil dalam negeri, yang memprotes kebijakan Kemenkes, soal APD produksi lokal.

Pasalnya, produk industri tekstil Indonesia, menjadi tertahan karena dianggap tak memenuhi standar.

Sebagaimana disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta.

Ia menyebut, Kemenkes mengharuskan APD menggunakan serat spunbond non woven (sekali pakai).

Sementara industri lokal menggunakan serat woven, dapat dicuci, pun digunakan berulang.

Padahal, pemilihan bahan woven, kata Redma, sudah sesuai arahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebagai koordinator dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.

Woven dipilih, karena spunbond non woven, sulit dicari di dlaam negeri.

Maka BNPB meminta, agar industri tekstil membuat kain yang standar efektifnya sama, dan mudah didapat di Tanah Air.

“Kami sudah bikin, ternyata Kemenkes itu malah ubah persyaratannya jadi spunbond. Jadi (produk kami) enggak masuk,” ungkap Redma, seperti dilansir Tirto, Rabu (3/6) lalu.

Redma semakin jengkel, karena APD buatan mereka, sudah dites di laboratorium uji Balai Besar Tekstil (BBT) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Bahkan sebagian anggota asosiasi, telah dapat membuat APD, berstandar biosafety level (BSL) 4 (standar tertinggi).

Namun, akibat kebijakan ini, APSyFI dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), perkiraan Redma, hanya bisa memasok sekitar 1.000 pcs APD kepada pemerintah.

Selain dua asosiasi tersebut, sambng Redma, ada yang berhasil membuat hingga jutaan pesanan.

Misalnya, satu perusahaan konsorsium di Tangerang, Banten, yang menerima pesanan hingga 5 juta pcs, dari Kemenkes.

Tetapi belakangan, konsorsium itu dikabarkan terlambat menerima dari Kemenkes, hingga mengakibatkan ribuan buruh terancam PHK.

Maka jika ada pabrik yang sanggup memenuhi pesanan dari Kemenkes, menurut Redma, kemungkinan besar mayoritas bahannya berasal dari impor.

Pasalnya, spunbond non woven, langka di Indonesia.

Kenyataan ini juga bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Mei lalu.

Jokowi menyatakan, ingin mengurangi impor alat kesehatan, yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri.

“Kemarin sudah diingatkan, jangan impor-impor lagi. Tapi tetap saja impor lagi,” kritik Redma.

Selain Redma, Sekretaris Jenderal API, Rizal Tanzil Rakhman, juga mengeluhkan hal senada.

Ia kecewa, karena impor APD di Indonesia, terus terjadi.

Padahal menurutnya, produksi APD di dalam negeri sudah bisa memenuhi kebutuhan, dengan kapasitas 16 juta pcs per bulan, untuk kebutuhan yang hanya 3-4 juta pcs.

Ketika dunia usaha mengalami rintangan di tengah pandemi, kata Rizal, seharusnya pemerintah bisa mengutamakan penyerapan produk dalam negeri.

Apalagi yang dibutuhkan secara massal dalam penanganan COVID-19.

Penyerapan ini, lanjut Rizal, akan membantu kondisi keuangan perusahaan, termasuk pembayaran gaji karyawan, yang meski hanya setara 3-5 persen dari total produksi.

“Karena seharusnya prioritas penggunaan produk dalam negeri itu, harus terimplementasi, bukan sekadar lip service saja” tegasnya, Rabu (3/6).

Baca Juga: Klarifikasi Kepala BPKH soal Dana Haji yang Disebut untuk Memperkuat Rupiah

Sementara mengutip data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), per Jumat (29/5) lalu, sudah ada 6 juta pekerja yang dirumahkan dan di-PHK.

Di mana 2,1 juta orang di antaranya merupakan pekerja tekstil.

Dengan kata lain, jumlah itu setara 80 persen pekerja tekstil, yang totalnya mencapai 2,7 juta orang.

Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI), Suharno Rusdi pun sempat berkomentar.

Ia mengatakan, kapasitas produksi non-woven nasional yang bisa disuplai ke APD hanya sekitar 1 juta potong per bulan.

Sedangkan bahan woven yang dimiliki produsen lokal, mampu memasok lebih dari 375 juta potong APD, per bulan.

“Kalau ada produsen lokal klaim bisa suplai APD dari non-woven lebih dari 1 juta per bulan, harus diteliti lagi, pasti campur dengan APD impor,” kata Rusdi, Jumat (15/5).

Di sisi lain, Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, Arianti Anaya, menampik kabar ini.

Ia tak sepakat, jika Kemenkes, disebut tidak menerima APD lokal karena perkara pemilihan bahan baku.

Arianti menegaskan, bahan APD yang diterima tidak dibatasi dibuat dari spundbond saja.

Kemenkes dan BNPB, lanjutnya, mengatur adanya beberapa bahan yang dibolehkan, dengan syarat mampu mencegah droplet darah dan cairan.

Sementara Sekjen Kemenkes, Oscar Primadi, justru memastikan jika APD untuk COVID-19 berasal dari produsen lokal.

Meski ia tak menampik, jika sebagian bahan bakunya didapat secara impor.

“APD semua dalam negeri. Mungkin bahan bakunya ada lokal, ada impor,” jawab Oscar, melalui pesan singkat.